Inilah akses jalan yang mereka lalui setiap hari
untuk mengantarkan anak anak mereka kesekolah
Berbasah basah kesekolah
Dunia pendidikan di Sumatera Barat gempar. Akhir-akhir ini berbagai media dalam dan luar negeri memberitakan persoalan siswa yang harus menantang maut untuk dapat pergi dan pulang bersekolah. Umumnya, yang menjadi sorotan adalah jembatan kawat yang menghubungkan perkampungan Pintu Gabang, Kelurahan Lambuang Bukik, Kecamatan Pauh, Padang. Sementara dunia pendidikan heboh, pemerintahan Padang dan Sumbar seperti adem-ayem, seakan tidak mengetahui pemberitaan tersebut telah beredar.
The Sun (6/11) Inggris membahasakan siswa-siswi tersebut dengan daredevil kids (anak-anak pemberani), dengan narasi yang membahasakan anak-anak tersebut terpaksa bergaya Indiana Jones setelah jembatan yang merupakan akses perkampungan tersebut hancur.
Sementara itu Daily Mail (7/11) menulis, “Jika Anda berpikir bahwa anak-anak ke sekolah adalah tugas. Tatapi orang tua dari anak-anak ini harus berpikir bahwa anak-anaknya harus menjaga keseimbangannya pada kawat setinggi 30 meter di atas sungai yang mengalir agar tidak terlambat masuk kelas,” tentang foto-foto tersebut.
Bahkan, ketika foto tersebut beredar beberapa warga luar negeri tersentuh hatinya dan ingin membantu merealisasikan pembangunan jembatan itu kembali. Hal tersebut diungkapkan Fitra Yogi, salah seorang fotografer yang fotonya sempat beredar di media luar negeri. “Saya kirimkan foto cerita tentag jembatan itu lewat rekan saya di Kediri, Arief Priyono, di Panjalu Images yang bekerjasama dengan media Inggris, Cina, dan Jerman. Ternyata foto itu dikutip media-media di tiga negara itu dan telah mengundang berbagai opini masyarakat dunia,” katanya.
Fitra juga mengungkapkan bahwa setelah pemberitaan tersebut beredar, seorang Australia mengirimkan surat elektrik bahkan menelfonnya, dengan niat ingin membantu merealisasikan pembangunan jembatan tersebut. “Dia ingin kontak pemerintahan daerah, atau petinggi warga di sana, dan mempertanyakan berapa biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan jembatan itu kembali,” terang Fitra yang menyatakan bahwa pihak tersebut tersentuh karena melihat kondisi sulitnya akses untuk menempuh pendidikan.
Dari data yang dihimpun Haluan, hampir 30 orang siswa dan mahasiswa yang setiap hari melintasi jembatan kawat yang hampir putus tersebut, bahkan ada di antara siswa yang digendong orang-tuanya melintasi jembatan tersebut. Jika air sungai susut, sebagian akan melintasi sungai. Luciana (11), siswa kelas 6 SD Bustanul Ulum Semen Padang, yang tiap hari melintasi jembatan tersebut mangatakan bahwa orangtuanya pernah melarang untuk tidak meniti, namun karena keadaan membuatnya terpaksa meniti jembatan agar tepat waktu sampai ke sekolah. Para pelajar ini terpaksa menantang maut. “Dulu memang pernah ada kakak kelas kami yang jatuh dari jembatan ini, untung cepat diketahui keluarganya, yang kebetulan ikut mengiringi. Saya juga pernah hampir jatuh dan diselamatkan oleh dua orang warga,” katanya kepadaHaluan beberapa waktu lalu.
Begitu juga dengan Faras Hanafi (11), bocah yang seiringan dan sama sekolah dengan Luciana tersebut mengatakan bahawa dirinya telah terbiasa menghadapi bahaya tersebut. “Saya sudah terbiasa melintasi kawat baja itu, tapi kalo hujan lebat, terpaksa libur sekolah,” ungkapnya dalam bahasa Minang tentang kawat jembatan yang ketinggiannya hamper tujuh meter dari dasar sungai.
Salah seorang warga, Juarmi (29) mengatakan bahwa kondisi tersebut sudah terbiasa dialami siswa di kampung tersebut selama dua tahun belakangan. “Akses satu-satunya terdekat ke sekolah cuma itu,” terangnya. Ia juga mengatakan bahwa anaknya yang sedang bersekolah di Paud harus melintasi sungai setiap harinya. “Saya menggendongnya melintasi sungai, kalau air besar dia tidak sekolah, dia takut kalau saya menggendong meniti jembatan,” terangnya, Selasa (13/11).
Simpang-siur Pembangunan
Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Padang Harmen Peri ketika dihubungi menyatakan bahwa pembangunan jembatan yang sudah tidal layak digunakan sudah dialihkan ke PU Provinsi dikarenakan anggaranya terlalu besar. “Anggarnya terlalu besar, karna itu dalam dialihkan ke PU Provinsi dan direncanakan tahun depan pembangunannya,” katanya ketika dihubungi, Selasa (13/11) sore.
Akan tetapi Kabid Binamarga PU Padang, Rusdi, menyatakan bahwa dikarenakan wilayah tersebut termasuk binaan PT. Semen Padang, tanggung jawab pembangunannya berada pada pihak tersebut. “Jembatan tersebut akan dibangun lagi oleh PT Semen Padang, karna perencanaannya sudah ada pada pihak tersebut,” terangnya ketika dihubungi (13/11)
Rusdi mengakui bahwa pihak PU Padang sudah tiga kali berusaha memutus jembatan tersebut agar tidak terjadi korban jiwa akibat penggunaan tersebut, namun tetap terkendala. “Memang pihak PU sudah tiga kali akan memutuskan, karena banyaknya berita dan foto yang beredar,” katanya.
Rencana pembangunan oleh pihak Semen Padang tersebut sebelumnya juga sempat diungkapkan beberapa waktu lalu oleh Lurah Lambung Bukik, Yanuswar SE. ”Untuk saat ini warga yang mempunyai hasil buminya terpaksa berjalan melintasi sungai, agar bisa menjual hasil kebun ke pusat Kota Padang,” tuturnya.
”Dari pihak PT Semen Padang mengatakan, pengerjaan pembangunan jembatan yang baru akan di bangun 1-2 bulan lagi, dengan ukuran yang besar sehingga mobil sejenis L300 bisa masuk untuk mengangkut hasil bumi warga,” jelas Yanuswar sekitar bulan Juli lalu.
Tidak Hanya di Padang
Dari data yang dihimpun Haluan, kondisi siwa menempuh medan yang sulit ketika harus sekolah tidak hanya di Padang. Di kampung Aie Kalam Lakitan Tengah, Kecamatan Lengayang, Pesisir Selatan, siswa di nagari tersebut menyisiri jalan setapak di pinggir rumah warga yang berakhir di tebing sungai lalu melintasi sungai. Mereka adalah siswa dan sisiwi Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 5 Lengayang di mana hampir setiap hari siswa tersebut berpegangan tangan untuk menahan derasnya arus air.
SMPN 5 Lengayang terletak nyaris di hulu Batang Lakitan, tepatnya di Kampung Aie Kalam, Nagari Lakitan Tengah. SMP ini baru berdiri beberapa tahun lalu. Sebelumnya ia merupakan SLTP Satu Atap. Siswanya berasal dari kampung yang ada di Nagari Lakitan Tengah. Misalnya Koto Lamo, Lubuak Tanah, Tanjung Durian, Pulai dan beberapa orang berasal dari kampung di hilir Lakitan.
Menyeberang sungai adalah tantangan paling besar untuk dapat mengikuti pelajaran yang harus dihadapi siswa/sisiwi yang berasal dari Koto Lamo dan Lubuak Tanah itu. Pasalnya, Kampung tersebut dipisahklan oleh Batang Lakitan. Posisi Koto Lamo dan Aie Kalam sebagai pusat nagari sesungguhnya kampung bertetangga. Namun tidak ada akses untuk ke sana. Tidak ada jembatan untuk bisa dititi.
Oleh:
ESHA TEGAR PUTRA, RIVO ANDRIES, ENI RAMADANI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar