Ilustrasi
Oleh: Dr Muhammad Hariyadi, MA
Sebagian Masyarakat Muslim memiliki pandangan bahwa menikah di bulan Muharam hukumnya haram atau makruh.
Sebagian Masyarakat Muslim memiliki pandangan bahwa menikah di bulan Muharam hukumnya haram atau makruh.
Mereka yang menghindari prosesi pernikahan di bulan tersebut berkeyakinan bahwa Muharam adalah bulan kesedihan, mengingat banyaknya musibah besar di dunia yang terjadi pada bulan tersebut.
Bahkan, bukan hanya Muharam saja, sebagaian masyarakat yang lain juga memiliki anggapan serupa dengan bulan Syawal dan Shafar.
Padahal pandangan dan anggapan tersebut keliru karena hanya didasarkan pada perangkaian beberapa peristiwa sedih, tidak memasukkan peristiwa bahagia dan tidak didasarkan pada dalil Alquran dan sunah.
Pandangan seperti ini biasanya disebut dengan istilah tahayul atau khurafat. Jika ditelusuri secara ilmiah, maka pandangan tersebut tidak memiliki asal muasal yang jelas dan menyebar dari generasi ke generasi tanpa ada sikap kritis dan upaya mengkritisi terhadap kebenaran anggapan dimaksud.
Jika kita kembalikan pada Alquran dan sunah, maka kita akan mendapati pengetahuan yang 180 derajat bertolak belakang dengan pandangan tersebut.
Pertama, Muharam bukanlah bulan kesedihan, melainkan justru bulan kegembiraan. Buktinya, Allah SWT mengagungkan bulan tersebut dan memasukkannya sebagai salah satu bulan yang di dalamnya kita diharamkan melakukan peperangan.
Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram." (QS. At-Taubah: 36).
Kedua, Rasulullah SAW menjadikan tanggal ke-9 dan 10 Muharam sebagai hari bersyukur kepada Allah SWT dengan diawali kegiatan berpuasa di kedua hari tersebut.
Rasulullah SAW menyatakan kaum Muslimin lebih berhak mensyukuri peristiwa diselamatkannya Musa AS oleh Allah SWT dibanding kaum Yahudi karena kedekatan akidah, sehingga Rasulullah SAW memerintahkan kaum Muslimin berpuasa tanggal 9 dan 10 Muharam untuk membedakannya dari tradisi puasa kaum Yahudi.
Ketiga, pernikahan merupakan sunah para Rasul dan barang siapa yang telah menikah berarti telah menyempurnakan separuh dari urusan agamanya. Maka bagaimana mungkin ada hari tertentu yang di dalamnya diharamkan atau dimakruhkan melakukan pernikahan?
Yang akan berarti kontradiktif dengan sunah para Rasul tersebut. Sementara semua hari dan bulan adalah milik Allah (QS. At-Taubah: 36) dan tidak ada satu ayat pun yang menegaskan pelarangan nikah pada hari tertentu.
Keempat, peristiwa Aisyah yang dinikahi Rasulullah SAW pada bulan Syawal menegaskan tidak ada kekhawatiran menikah di bulan tersebut. Demikian pula Ali bin Abu Thalib dengan Fathimah yang disinyalir terjadi pada bulan Shafar. Dari Aisyah RA, ia berkata, "Rasulullah SAW menikahiku dan membangun rumah tangga denganku pada bulan Syawal." (HR. Bukhari).
Kelima, dewasa ini dengan jumlah penduduk yang sangat besar, maka jumlah mereka yang menyelenggarakan resepsi pernikahan sangatlah banyak. Bahkan untuk memesan tempat pernikahan diperlukan waktu dua sampai tiga bulan sebelum pelaksanaan.
Bayangkan jika terdapat hari-hari yang tidak diperbolehkan nikah di dalamnya, betapa akan bertambah sulit menentukan hari pernikahan. Padahal prinsip Islam senantiasa memberikan jalan kemudahan dan bukan kesulitan. Allah SWT berfirman, "Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu." (QS. Al-Baqarah: 185).
Demikianlah, Allah SWT menciptakan hari-hari dalam setahun agar kita dapat memanfaatkannya dengan baik dan maksimal untuk kebajikan demi melestarikan sunah Rasul yang sekaligus merupakan sunah-Nya dan perintah-Nya. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar