Banyak pengusaha mengajukan kuota impor karena kuota bisa dijual.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia, Thomas Sembiring, mengaku iklim bisnis saat ini lebih menyenangkan bagi importir daging ketimbang masa-masa sebelum reformasi.
"Cukup besar keuntungan sekarang ini. Kalau dulu, keuntungan belum tentu, sebab harga bersaing dengan daging lokal," ujar Thomas dalam perbincangan dengan VIVAnews, Jumat 1 Februari 2013.
Thomas menuturkan, dulu tidak banyak importir daging. Jumlah pengimpor hanya sekitar 20 pengusaha. Tapi saat ini, jumlah importir semakin banyak. Pemerintah membiarkan jumlah importir terus bertambah. "Sepertinya semua perusahaan baru dikasih izin asal memenuhi syarat. Jadi makin ramai," kata Thomas.
Meski jumlah importir terus bertambah, pemerintah justru mengurangi kuota impor. Tahun ini saja, kuota impor daging sapi berkurang 5 ribu ton. Kuota impor daging untuk tahun 2013 dibatasi hanya 80 ribu ton, sedangkan tahun 2012 batas kuota impor 85 ribu ton.
"Dalam keadaan kuota terbatas, makin gampang jualan asal dapat kuota. Bisa juga menjual saja kuota itu. Makanya banyak orang mau mengajukan, minta kuota impor, karena kuotanya bisa dijual," kata Thomas.
Pembelian daging dari luar negeri pun, lanjut Thomas, memberikan keistimewaan kepada pelanggan atau importir yang lebih berpengalaman. Biasanya, kata Thomas, importir yang baru akan ditawari harga tinggi saat melakukan pembelian daging di luar negeri. "Maka membeli partai besar dan tidak, itu beda harganya cukup jauh," kata Thomas.
Meski pasokan daging berkurang, pemerintah melarang daging impor dijual di pasar umum. Pengusaha hanya boleh menjual daging impor kepada kalangan industri perhotelan, restoran, katerinng dan pengolahan makanan.
Ditengarai pula bahwa perkembangan industri hilir seperti pengolahan makanan yang sangat pesat ini tidak diimbangi peningkatan industri hulunya. Populasi ternak sapi menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang terakhir jumlahnya sekitar 14,8 juta ekor dengan perkiraan jumlah peternak kurang lebih 4,8 juta. Jumlah itu menurut BPS masih belum bisa mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat yang per tahunnya sebanyak 448 ribu ton. Impor daging yang dibatasi hanya 80ribu ton itu hanya memasok khusus bagi kebutuhan industri pengolahan makanan dan horeka.
Thomas mengatakan bahwa konsumsi daging di Indonesia 1,9 perkapita (2012) akan naik menjadi 2,2 kg per kapita (2013). Ini mencerminkan tren permintaan industri olahan dan horeka akan meningkat. Lagi-lagi ini menjadi keuntungan bagi importir daging. Dengan suplai atau kuota daging impor yang makin berkurang, ada tren permintaan industri yang meningkat. Daging impor selalu habis diserap industri dengan harga tinggi.
"Makanya sekarang berapa pun harga belinya kami relatif tak akan rugi. Istilahnya, bisnis ini nggak ada matinya. Kalau dulu, kita bisa bangkrut," kata Thomas.
Berapa keuntungan yang dinikmati dari bisnis impor daging ini? Thomas enggan menjelaskan secara rinci. Namun, kata dia, presentasenya lebih dari 20 persen modal. "Bisa 30 sampai 40 persen. Dulu tidak jelas dan membuat importir berpikir dua kali. Makanya dulu ,yang bermain hanya berapa orang lah," kata Thomas.
Thomas menambahkan, saat ini, ada kurang lebih 67 perusahaan importir yang direkomendasikan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kuota impor daging 80 ribu ton yang telah ditetapkan. "Aspidi beranggotakan 31 perusahaan. Kami selalu diberi jatah untuk alokasi impor itu," tuturnya.
Langka, Harga Daging TinggiDeputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono, menjelaskan masih besarnya impor daging yang dilakukan itu, karena pemerintah, khususnya pada 2011-2012, masih belum memiliki pendataan produksi dalam negeri yang lengkap.
Namun, dia mengatakan, dengan diadakannya sensus sapi pada tahun lalu, impor daging seharusnya sudah bisa mulai dikurangi pemerintah tahun ini. "Mestinya kita sudah tidak impor sebanyak ini sekarang," ujar Adi saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat 1 Februari 2013.
Adi menuturkan, permasalahan baru timbul pada saat pemetaan sentra-sentra produksi sapi telah selesai. Berdasarkan hasil sensus, lokasi sentra produksi besar itu mayoritas di daerah timur Indonesia, sedangkan konsumsi terbesar berada di daerah barat.
Sementara itu, masalah minimnya sarana dan prasarana distribusi diperparah dengan konektivitas yang belum memadai timbul ke permukaan.
"Masalahnya ada kelangkaan daging. Kenapa, karena persoalan distribusi. Jadi, sapi ini kan banyak yang ada di daerah timur, NTT dan sekitarnya. Kemudian sampai di Jakarta, memerlukan waktu dan alat angkut yang memadai, itu belum ada," tambahnya.
Pemerintah, menurut Adi, telah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, antara lain menyediakan angkutan khusus melalui jalur kereta api dan laut. Langkah itu diharapkan dapat mempercepat distribusi yang selama ini kebanyakan masih diantar melalui jalur darat.
"Kemarin, Dirjen Peternakan sudah mengundang Pelni. Perusahaan itu diminta membuat ruangan yang didesain khusus sapi. Kemudian PTKA, mereka juga sudah mencoba untuk membuat tempat khusus untuk sapi. Bahkan, kalau tidak salah, April ini itu semua harus sudah ada," ungkapnya.
Selain itu, upaya lain yang dilakukan adalah membangun tempat pemotongan sapi di sentra-sentra produksi tersebut. Nantinya, yang didistribusikan itu sudah tidak dalam keadaan hidup, melainkan berbentuk potongan-potongan daging beku dan siap disalurkan ke masyarakat.
"Jadi, di sentra-sentra peternakan ada tempat pemotongan sapi, sehingga nantinya yang datang ke kota-kota itu bukan sapi hidup, tetapi yang sudah terpotong-potong," tutur Adi.
Adi menegaskan, ketergantungan Indonesia terhadap impor tidak bisa dihilangkan. Sebab, permintaan daging impor akan selalu ada selama masih banyaknya ekspatriat- ekspatriat dan wisatawan asing yang menetap ataupun berkunjung di Indonesia.
Terkait hal ini, Thomas menyatakan bahwa hal itu memang kesalahan pemerintah dalam membuat perkiraan konsumsi daging. Sebab, menurutnya pemerintah hanya menghitung kebutuhan konsumsi daging masyarakat berdasarkan data penduduk.
"Tapi dia (Pemerintah) tidak menghitung bagaimana menyediakan daging untuk ekspatriat, turis, diplomat asing, dan lain sebagainya. Sehingga masalahnya terus muncul kembali, harus impor lagi. Karena tidak tercukupi kebutuhan para ekspatriat dan turis asing," kata Thomas.
Apalagi konsumsi daging para ekspatriat sangat tinggi. "Australia itu konsumsi daging 32 kilogram perkapita pertahun, Amerika bahkan 35 kilogram. Bandingkan dengan konsumsi daging masyarakat Indonesia, kan jauh sekali," kata Thomas.
"Cukup besar keuntungan sekarang ini. Kalau dulu, keuntungan belum tentu, sebab harga bersaing dengan daging lokal," ujar Thomas dalam perbincangan dengan VIVAnews, Jumat 1 Februari 2013.
Thomas menuturkan, dulu tidak banyak importir daging. Jumlah pengimpor hanya sekitar 20 pengusaha. Tapi saat ini, jumlah importir semakin banyak. Pemerintah membiarkan jumlah importir terus bertambah. "Sepertinya semua perusahaan baru dikasih izin asal memenuhi syarat. Jadi makin ramai," kata Thomas.
Meski jumlah importir terus bertambah, pemerintah justru mengurangi kuota impor. Tahun ini saja, kuota impor daging sapi berkurang 5 ribu ton. Kuota impor daging untuk tahun 2013 dibatasi hanya 80 ribu ton, sedangkan tahun 2012 batas kuota impor 85 ribu ton.
"Dalam keadaan kuota terbatas, makin gampang jualan asal dapat kuota. Bisa juga menjual saja kuota itu. Makanya banyak orang mau mengajukan, minta kuota impor, karena kuotanya bisa dijual," kata Thomas.
Pembelian daging dari luar negeri pun, lanjut Thomas, memberikan keistimewaan kepada pelanggan atau importir yang lebih berpengalaman. Biasanya, kata Thomas, importir yang baru akan ditawari harga tinggi saat melakukan pembelian daging di luar negeri. "Maka membeli partai besar dan tidak, itu beda harganya cukup jauh," kata Thomas.
Meski pasokan daging berkurang, pemerintah melarang daging impor dijual di pasar umum. Pengusaha hanya boleh menjual daging impor kepada kalangan industri perhotelan, restoran, katerinng dan pengolahan makanan.
Ditengarai pula bahwa perkembangan industri hilir seperti pengolahan makanan yang sangat pesat ini tidak diimbangi peningkatan industri hulunya. Populasi ternak sapi menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang terakhir jumlahnya sekitar 14,8 juta ekor dengan perkiraan jumlah peternak kurang lebih 4,8 juta. Jumlah itu menurut BPS masih belum bisa mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat yang per tahunnya sebanyak 448 ribu ton. Impor daging yang dibatasi hanya 80ribu ton itu hanya memasok khusus bagi kebutuhan industri pengolahan makanan dan horeka.
Thomas mengatakan bahwa konsumsi daging di Indonesia 1,9 perkapita (2012) akan naik menjadi 2,2 kg per kapita (2013). Ini mencerminkan tren permintaan industri olahan dan horeka akan meningkat. Lagi-lagi ini menjadi keuntungan bagi importir daging. Dengan suplai atau kuota daging impor yang makin berkurang, ada tren permintaan industri yang meningkat. Daging impor selalu habis diserap industri dengan harga tinggi.
"Makanya sekarang berapa pun harga belinya kami relatif tak akan rugi. Istilahnya, bisnis ini nggak ada matinya. Kalau dulu, kita bisa bangkrut," kata Thomas.
Berapa keuntungan yang dinikmati dari bisnis impor daging ini? Thomas enggan menjelaskan secara rinci. Namun, kata dia, presentasenya lebih dari 20 persen modal. "Bisa 30 sampai 40 persen. Dulu tidak jelas dan membuat importir berpikir dua kali. Makanya dulu ,yang bermain hanya berapa orang lah," kata Thomas.
Thomas menambahkan, saat ini, ada kurang lebih 67 perusahaan importir yang direkomendasikan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan kuota impor daging 80 ribu ton yang telah ditetapkan. "Aspidi beranggotakan 31 perusahaan. Kami selalu diberi jatah untuk alokasi impor itu," tuturnya.
Langka, Harga Daging TinggiDeputi Bidang Statistik Produksi BPS, Adi Lumaksono, menjelaskan masih besarnya impor daging yang dilakukan itu, karena pemerintah, khususnya pada 2011-2012, masih belum memiliki pendataan produksi dalam negeri yang lengkap.
Namun, dia mengatakan, dengan diadakannya sensus sapi pada tahun lalu, impor daging seharusnya sudah bisa mulai dikurangi pemerintah tahun ini. "Mestinya kita sudah tidak impor sebanyak ini sekarang," ujar Adi saat ditemui di kantornya, Jakarta, Jumat 1 Februari 2013.
Adi menuturkan, permasalahan baru timbul pada saat pemetaan sentra-sentra produksi sapi telah selesai. Berdasarkan hasil sensus, lokasi sentra produksi besar itu mayoritas di daerah timur Indonesia, sedangkan konsumsi terbesar berada di daerah barat.
Sementara itu, masalah minimnya sarana dan prasarana distribusi diperparah dengan konektivitas yang belum memadai timbul ke permukaan.
"Masalahnya ada kelangkaan daging. Kenapa, karena persoalan distribusi. Jadi, sapi ini kan banyak yang ada di daerah timur, NTT dan sekitarnya. Kemudian sampai di Jakarta, memerlukan waktu dan alat angkut yang memadai, itu belum ada," tambahnya.
Pemerintah, menurut Adi, telah melakukan beberapa upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, antara lain menyediakan angkutan khusus melalui jalur kereta api dan laut. Langkah itu diharapkan dapat mempercepat distribusi yang selama ini kebanyakan masih diantar melalui jalur darat.
"Kemarin, Dirjen Peternakan sudah mengundang Pelni. Perusahaan itu diminta membuat ruangan yang didesain khusus sapi. Kemudian PTKA, mereka juga sudah mencoba untuk membuat tempat khusus untuk sapi. Bahkan, kalau tidak salah, April ini itu semua harus sudah ada," ungkapnya.
Selain itu, upaya lain yang dilakukan adalah membangun tempat pemotongan sapi di sentra-sentra produksi tersebut. Nantinya, yang didistribusikan itu sudah tidak dalam keadaan hidup, melainkan berbentuk potongan-potongan daging beku dan siap disalurkan ke masyarakat.
"Jadi, di sentra-sentra peternakan ada tempat pemotongan sapi, sehingga nantinya yang datang ke kota-kota itu bukan sapi hidup, tetapi yang sudah terpotong-potong," tutur Adi.
Adi menegaskan, ketergantungan Indonesia terhadap impor tidak bisa dihilangkan. Sebab, permintaan daging impor akan selalu ada selama masih banyaknya ekspatriat- ekspatriat dan wisatawan asing yang menetap ataupun berkunjung di Indonesia.
Terkait hal ini, Thomas menyatakan bahwa hal itu memang kesalahan pemerintah dalam membuat perkiraan konsumsi daging. Sebab, menurutnya pemerintah hanya menghitung kebutuhan konsumsi daging masyarakat berdasarkan data penduduk.
"Tapi dia (Pemerintah) tidak menghitung bagaimana menyediakan daging untuk ekspatriat, turis, diplomat asing, dan lain sebagainya. Sehingga masalahnya terus muncul kembali, harus impor lagi. Karena tidak tercukupi kebutuhan para ekspatriat dan turis asing," kata Thomas.
Apalagi konsumsi daging para ekspatriat sangat tinggi. "Australia itu konsumsi daging 32 kilogram perkapita pertahun, Amerika bahkan 35 kilogram. Bandingkan dengan konsumsi daging masyarakat Indonesia, kan jauh sekali," kata Thomas.
s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar