Oleh: Amanda Putri
Kesal mengantre di kasir sebuah pusat perbelanjaan, Muhammad Muhlas Abror (15) dan Fadhil Imam Kurnia (14) mendapat ide cemerlang. Mereka membuat perangkat lunak yang jika dipadukan dengan teknologi Radio Frequency Identification bisa mempercepat proses pembayaran di kasir.
Kesal mengantre di kasir sebuah pusat perbelanjaan, Muhammad Muhlas Abror (15) dan Fadhil Imam Kurnia (14) mendapat ide cemerlang. Mereka membuat perangkat lunak yang jika dipadukan dengan teknologi Radio Frequency Identification bisa mempercepat proses pembayaran di kasir.
”Waktu itu kami hanya beli dua wafer, tetapi antrenya hampir satu jam karena banyaknya belanjaan orang lain yang harus dipindai satu per satu,” kata Muhlas akhir Mei lalu.
Muhlas dan Fadhil yang bersekolah di SMA Negeri 3 Semarang, Jawa Tengah, kemudian membuat peranti lunak yang mereka namakan Faster System. Sistem ini memungkinkan sejumlah barang belanjaan dipindai dalam hitungan detik dan dihitung harganya dengan cepat.
Dengan temuan itu, keduanya menyabet emas di ajang Infomatrix, Romania, 16-20 Mei 2013. Para juri menyebut inovasi mereka sebagai gambaran supermarket masa depan.
Radio Frequency Identification (RFID) merupakan teknologi nirkabel yang sudah lama, tapi belum banyak diterapkan di Indonesia. Teknologi ini akan digunakan untuk membatasi konsumsi BBM bersubsidi, dengan memasang cip di mulut tangki kendaraan. Sistem ini menggunakan gelombang radio yang menangkap sinyal dalam cip, kemudian membacanya.
Kekuatan sensor pembaca RFID bervariasi, mulai dari jarak 10 sentimeter hingga 10 meter. Pada radius tertentu, cip memancarkan sinyal yang ditangkap pembaca RFID. Barang-barang yang disisipi cip dapat dibaca dalam waktu bersamaan.
Teknologi RFID disandingkan dengan Faster System, program kasir untuk menghitung jumlah belanjaan di supermarket yang dibuat Muhlas dan Fadhil. Mereka memanfaatkan Visual Basic dan Microsoft Access untuk membuat program dan menghubungkan dengan RFID yang berfungsi sebagai sensor.
Semua barang yang disisipi cip dapat dideteksi RFID. Cip berfungsi seperti kode batang (barcode). Bedanya, kode batang hanya dapat dibaca alat sensor jika didekatkan satu per satu. Adapun barang yang diberi cip bisa dideteksi RFID secara bersamaan.
Dalam simulasi, barang-barang yang diberi cip dan ditaruh dalam keranjang belanjaan, dilewatkan alat sensor pada jarak tertentu. Dalam waktu satu detik, lima macam barang terkalkulasi di Faster System. Radius antara barang dan alat sensor bervariasi, bergantung besar-kecilnya RFID.
”Kasir tinggal menerima uang dan memberi uang kembalian. Belanja satu barang dengan belanja satu keranjang penuh, waktunya sama, tidak ada lagi antrean panjang,” ujar Muhlas.
Saat ini, kata Fadhil, harga cip masih mahal jika dibeli eceran. Harga sebuah kartu yang mengandung cip Rp 12.500. ”Jika diproduksi massal, harganya bisa sangat murah, Rp 5. Bentuknya seperti stiker, mirip barcode,” kata Fadhil.
Sama seperti saat menghitung belanjaan, saat memasukkan data harga, barang melalui proses sama, dipindai dengan RFID. Setiap barang memiliki kode yang dilengkapi dengan harga per satuan dan dimasukkan dalam Faster System.
Aplikasi interaktif
Inovasi dalam bidang teknologi informasi juga dilakukan oleh Taufiq Adi Wijoyo (16) dan Naufa Hanif (17), yang juga siswa SMA Negeri 3 Semarang. Mereka membuat aplikasi interaktif mengenai kegiatan sekolah yang diberi nama Aplikasi Data Akademik Ganesha (Adegan). Aplikasi itu mengantar mereka mendapatkan medali perak dalam E-biko di Turki, 12-13 Mei.
Naufa mengatakan, ide berawal dari banyaknya pengguna ponsel pintar. Di SMA Negeri 3 Semarang, misalnya, setidaknya 70 persen siswa dan guru menggunakan ponsel pintar. Namun, banyak yang belum memanfaatkan kecanggihan ponsel pintar itu untuk dunia pendidikan.
Di sisi lain, kegiatan di sekolah sangat banyak sehingga kesibukan guru dan siswa luar biasa. Karena itu, dibutuhkan sarana komunikasi yang dapat menunjang seluruh kegiatan belajar-mengajar, penyebaran informasi, serta diskusi interaktif yang dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja.
Adegan dibuat dengan memanfaatkan program Apps Builder, sistem untuk membuat aplikasi di ponsel pintar dengan basis Android. Setelah itu, aplikasi dipublikasikan di Apps store dan dapat digunakan di ponsel dengan sistem operasi Android, iOS, dan Windows Live. Naufa dan Taufiq pernah mencoba untuk BlackBerry, tetapi tidak bisa. BlackBerry memiliki jaringan tersendiri dan membutuhkan lisensi tertentu.
Ada beberapa fitur dalam Adegan, mulai dari edu chat yang memungkinkan komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua, info jadwal pelajaran, materi pelajaran, tugas sekolah, hingga latihan soal. ”Kami akan mengembangkan aplikasi ini agar bisa diterapkan,” ujarnya.
Guru pengajar Teknologi Informasi SMA Negeri 3 Semarang Sri Mulyani mengatakan, para siswa membutuhkan pendampingan setiap saat sehingga guru harus selalu siap ketika dibutuhkan. ”Anak-anak usia remaja kalau sedang punya ide tetapi tidak bisa mengutarakannya, bisa hilang begitu saja. Karena itu, saat mereka punya ide, guru harus masuk dan memberi pendampingan mengenai apa saja yang mereka butuhkan,” ujarnya.
Belanja Lebih Cepat dengan Teknologi RFID s
Edi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar