Ikhtilath atau berbaur antara laki-laki dan perempuan. Kata ikhtilath sendiri merujuk leksikologi Lisan al-Arab, berasal dari kata khalatha yang bermakna tercampur.
Sementara, pengertian ikhtilath dalam definisi syariah ialah berbaurnya lelaki dan perempuan yang nonmahram dalam satu tempat yang memungkinkan munculnya dampak negatif.
Maka, apakah hukum berikhtilath tersebut? Apakah larangan berbaurnya perempuan dengan laki-laki itu bersifat mutlak dan umum?
Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashhal fi-Ahkam al-Mar’ati wa al-Bait al-Muslim berusaha mencoba menguraikan persoalan ini.
Ia menjelaskan hukum dasar dari ikhtilath ialah haram dan tidak diperbolehkan. Pelarangan ini disepakati oleh ulama. Merujuk pada sejumlah dalil.
Dalil yang pertama ialah Hadis riwayat Bukhari yang menyatakan Rasulullah SAW melarang seseorang berada di satu tempat, kecuali didampingi oleh mahramnya.
Imam an-Nawawi berkomentar, menurut para ulama, larangan itu berlaku tidak hanya di luar shalat, tetapi juga ketika shalat.
Kecuali, dalam kondisi darurat, misalnya, mendapati seorang perempuan yang tengah tersesat dan menjadi korban kejahatan. Kondisi seperti ini membuka dispensasi untuk percampuran antarkedua lawan jenis tersebut.
Salah satu dalil tidak diperbolehkannya berbaur antara laki-laki dan perempuan itu, yakni tidak adanya kewajiban menunaikan shalat Jumat bagi perempuan, seperti konsensus ulama.
Ini dikuatkan oleh analisis para ulama Mazhab Hanafi bahwa keikutsertaan perempuan dalam shalat jamaah ataupun shalat Jumat bersama kaum Adam bisa menimbulkan fitnah. Karena itu, kedua perkara tersebut tidak diwajibkan atas perempuan.
Pertanyaan pun muncul, apakah larangan berbaur tersebut berlaku di ragam situasi dan kondisi? Prof Abdul Karim menegaskan ketentuan itu bisa tidak diindahkan atas dasar dispensasi menyusul sejumlah kondisi darurat. Perempuan dan laki-laki diperbolehkan berbaur dalam beberapa kondisi.
Kondisi pertama, misalnya, seperti yang disebutkan oleh Imam an-Nanawi di atas. Yakni, seseorang terpaksa berbaur dengan lawan jenis yang bukan mahram untuk menyelamatkan hidupnya dari bahaya, seperti perampokan ataupun pembunuhan.
Sedangkan, kondisi yang kedua, ikhtilath diperbolehkan untuk menjalankan transaksi tertentu. Seperti, berbelanja sehari-hari atau keperluan bertransaksi di bank, kantor pos, ataupun pusat-pusat keramaian dan pelayan publik lainnya.
Termasuk, bagian ikhtilath di kategori ini ialah bolehnya bercampur laki-laki dan perempuan kala berada di transportasi umum, contohnya, kala naik kereta ataupun bus kota.
Sebab, dalam konteks transaksi seperti ini, menuntut kehadiran kedua belah pihak agar akad yang dijalankan dinyatakan sah menurut hukum atau syariah.
Ini tetap dengan catatan, hendaknya tetap menjaga etika syar’i, seperti tidak bersolek mencolok atau mengenakan pakaian yang tak pantas.
Selanjutnya ialah ikhtilath dalam rangka keperluan peradilan, seperti memberikan saksi atau keterlibatan perempuan sebagai pengacara, hakim, dan lainnya. Dalam konteks hakim, Mazhab Hanafi memperbolehkan perempuan menangani kasus selain permasalahan hudud.
Sedangkan, terkait saksi perempuan, persaksiannya diperkenankan terkait sengketa harta. Ini seperti penegasan surah al-Baqarah ayat 282. “Jika tak ada dua oang lelaki maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”
Berikutnya, bentuk ikhtilath yang diperbolehkan ialah ketika memuliakan dan menjamu tamu. Ini dengan syarat, suami perempuan yang bersangkutan berada di rumah.
Ini seperti kisah yang tertuang di riwayat Muslim saat seorang sahabat dari Anshar meminta izin istrinya untuk menjamu sahabat.
Contoh kasus diperbolehkan ikhtilath ialah perbauran laki-laki dan perempuan dalam rangka mencari ilmu, seperti majelis taklim atau pengajian akbar.
Ini seperti ditegaskan Hadis riwayat Bukhari dan Ibn Abbas. Dikisahkan, Rasulullah SAW, saat Idul Fitri, beranjak memberikan nasihat bagi sekumpulan kaum hawa. Rasul disertai Bilal dan sejumlah sahabat.
Terakhir kali, ikhtilath boleh dalam konteks kebiasaan atau adat yang telah berlaku di masyarakat selama tetap dalam etika syar’i. Ini seperti disebutkan Mazhab Maliki, semisal, resepsi pernikahan dan lain sebagainya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar