Negeriku, negeri para penipu
Terkenal ke segala penjuru
Tentu saja bagi yang tak tahu malu
Inilah sorga, sorganya sorga
Negeriku, ngeriku
Potongan lirik refrain lagu Negeriku yang dikumandangkan oleh Iwan Fals membuat saya yang tengah membaca berbagai berita tentang korupsi, kolusi, selingkuh dan narkoba, seakan tersadarkan. Ini dia kata kunci yang sedang saya cari. Malu!
Ya, seharusnya saya tidak melupakan bahwa budaya malu itu dulu begitu melekat dalam diri dan menjadi ciri khas bangsa ini, berdampingan dengan sifat ramah. Tapi ada yang berkilah, masa lalu toh sudah lewat. Kini kita hidup di era modern yang serba instan dan pragmatis. Hal ini konon membuat nilai-nilai dan norma yang melekat dalam diri anak bangsa secara perlahan mulai tergerus oleh zaman.
Media cetak dan media elektronik setiap hari menyuguhkan aneka berita yang membuat kita terheran-heran, yang sulit diterima akal sehat. Anda boleh terpana dan geleng-geleng kepala melihat betapa tokoh-tokoh politik, selebritas dan bahkan tokoh agama diberitakan terlibat kasus semisal korupsi, kolusi, narkoba dan bahkan tindakan asusila. Keheranan kita semakin menjadi-jadi ketika menyaksikan bahwa para pelakunya ternyata masih mampu berhadapan dengan publik tanpa rasa bersalah dan sama sekali tidak menyiratkan rasa malu.
Yang tampak kasat mata belakangan ini adalah perilaku sejumlah tokoh politik dan pemerintah yang ucapannya bertolak belakang dengan kenyataan, aparat penegak hukum yang justru menabrak rambu-rambu hukum serta debat kusir antara sesama mereka. Kelompok masyarakat pun tidak mau kalah. Alih-alih mematuhi aturan hukum, mereka lebih memilih amuk massa sebagai solusi penyaluran aspirasi. Negeri pun jadi gonjang-ganjing sementara pemimpin negeri ini biasanya selalu terlambat dalam menyikapinya.
Dewasa ini uang telah menjadi raja dalam arti yang sesungguhnya. Uang terbukti efektif sebagai pemersatu kelompok-kelompok yang tadinya berseberangan. Inilah potret negeri yang kebablasan, seperti sindiran Iwan Fals dalam lagunya sebagai negeri para penipu yang tidak punya rasa malu.
Sebagian kita boleh saja menyalahkan zaman, menuding modernisasi sebagai biang keladi perubahan budaya anak bangsa. Tapi asumsi ini mudah dibantah karena negara lain yang jauh lebih modern dari kita seperti Jepang dan Korea ternyata masih memegang teguh budaya malu itu.
Di sana, seorang pemimpin yang gagal menjalankan tugas atau melakukan kesalahan fatal, termasuk korupsi dan berbuat asusila, yang bersangkutan biasanya akan mengundurkan diri dari kursinya. Dalam kasus yang ekstrem, ada yang bahkan sampai memilih bunuh diri saking tak tahan menanggung malu. Memang yang terakhir ini tidak patut kita tiru karena agama Samawi melarang keras tindakan bunuh diri. Namun andaikata agama tidak mengharamkan bunuh diri, saya hampir 100% yakin bahwa pemimpin kita yang berbuat salah atau terbukti menyeleweng tidak akan bunuh diri. Soalnya rasa malu itu sudah lama kita tinggalkan.
Menyontek, Sejak Kapan?
Baru-baru ini kita dikejutkan oleh berita tentang nyontek massal yang ditengarai terjadi di salah satu SD Kota Surabaya. Masyarakat menjadi heboh karena orangtua siswa yang melaporkan tindakan tidak tercela itu justru menerima hukuman pahit dari lingkungannya, diusir. Pihak-pihak terkait langsung bereaksi dan menyikapi. Klimaksnya (atau antiklimaksnya?), Menteri Pendidikan Nasional mengeluarkan “sabda” bijaknya yang menyimpulkan bahwa nyontek massal itu sesungguhnya tidak terjadi. Alasannya sederhana, dari telusuran hasil ujian anak-anak SD tersebut, nilai ujian mereka tidak sama. Sebuah kesimpulan dangkal yang bisa membuat kita manggut-manggut atau tersenyum sinis, tergantung di mana posisi duduk kita.
Perilaku menyontek sebetulnya bukanlah soal baru. Sejak awal kehidupan manusia, perilaku curang telah ada. Pada hakekatnya yang berbuat curang adalah mereka yang mencoba untuk menghindari aturan dan mengambil jalan pintas dengan menabrak aturan, demi untuk mencapai tujuannya. Menyontek bisa dikatakan sebagai perilaku curang dalam dunia pendidikan.
Pada bulan November 1999, US News & World Report menurunkan berita utama tentang Academic Cheating (Menyontek) yang menyebut “Everyone’s doing it, from grade school to graduate school.”
Artikel ini menyebutkan bahwa sekitar 75%-98% dari pelajar dan mahasiswa pernah menyontek setidaknya satu kali. Tetapi permasalahan kita di sini bukanlah semata-mata tentang perilaku nyontek individu, namun kegiatan nyontek massal yang dilakukan secara sistemik dengan arahan sang pendidik, guru kelas.
Saya tidak berkompeten untuk berdebat kusir tentang sebab musabab terjadinya fenomena nyontek massal ini. Lagi pula, kambing hitamnya sudah cukup banyak dan tidak akan hengkang ke luar negeri. Momok ujian nasional, prestise sekolah yang diukur dari tingkat kelulusan serta persepsi bahwa anak yang pintar itu hanya dilihat dari tingginya nilai akademisnya, boleh jadi akan dituding sebagai kambing hitam. Sementara itu tidak banyak lagi yang mengutak-atik aspek moral dan kejujuran dalam tatanan kehidupan masyarakat saat ini.
Memberantas Nyontek
Akan terlalu naif kalau kita berharap bahwa perilaku menyontek bisa dilenyapkan. Yang paling mungkin adalah berupaya meminimalisir (mengurangi) kemungkinan terjadinya.
Ada contoh menarik yang ingin saya paparkan di sini seputar perilaku menyontek. Sekitar dua bulan yang lalu, dalam satu kesempatan saya dan beberapa rekan kerja melakukan studi banding ke salah satu universitas swasta di Lubuk Begalung, Padang. Ini memang langkah yang tidak terlalu populer, universitas di ibukota melakukan studi banding ke universitas di daerah.
Satu hal menyolok yang menjadi perhatian kami adalah bagaimana pengelola pendidikan di institusi tersebut memerangi percontekan mahasiswa. Kami nyaris tidak percaya melihat kenyataan betapa universitas bisa menerapkan aturan yang tegas dan tanpa kompromi terhadap mahasiswa yang menyontek.
Setiap mahasiswa baru di universitas tersebut diwajibkan untuk menandatangani surat kesepakatan bersama bahwa jika sewaktu ujian melakukan pelanggaran dengan menyontek, ia akan dikenai sanksi berat. Hukumannya tidak main-main, nilai semua mata kuliahnya di semester tersebut dibatalkan. Belum cukup sampai di situ. Mahasiswa pelaku nyontek akan diberi gelar sebagai pakar jimat dan identitasnya dipajang pada papan pengumuman kampus.
Kepada kami dijelaskan bahwa aturan keras ini dimaksudkan untuk memberikan efek jera kepada si pelaku agar tidak mengulangi tindakan yang sangat tidak terpuji itu. Pengelola universitas ini meyakini bahwa malu adalah penangkal jitu terhadap perilaku menyimpang, seperti sifat tidak jujur hingga korupsi.
Mengembalikan Rasa Malu
Awalnya sempat terjadi perang batin dalam diri saya, apakah memang perlu menerapkan hukuman seberat itu bagi mahasiswa yang tertangkap nyontek. Tetapi setelah menyadari betapa banyaknya kasus penyuapan, korupsi, kebohongan publik yang menerpa aktor politik, pengusaha dan penegak hukum serta merebaknya kasusnyontek massal yang melibatkan kepala sekolah dan guru, saya akhirnya berubah pikiran.
Situasi di negeri ini ternyata sudah sedemikian parahnya. Adanya hukuman tegas yang memberikan efek jera bagi mereka yang menyontek memang diperlukan. Anak didik harus diberikan pemahaman agar punya rasa malu jika melakukan tindakan yang salah dan tidak terpuji. Kalau untuk menyontek saja si anak sudah tidak punya rasa malu dan tidak merasa bersalah, sungguh sulit membayangkan bagaimana perilakunya di lapangan pekerjaan dan kehidupannya kelak.
Upaya keras untuk mengembalikan rasa malu bukan menjadi tanggung jawab satu atau dua pihak saja, melainkan tanggung jawab semua lapisan masyarakat dan pemerintah. Sistem pendidikan jelas harus dibenahi, tetapi lebih esensial lagi adalah bagaimana membudayakan rasa malu dan jujur sejak dini.
Di sinilah pentingnya peran keluarga untuk memupuk nilai-nilai luhur di dalam diri seorang anak. Saya jadi teringat akan pepatah lama Minangkabau, “Abih gali dek galitiak, ilang biso karano biaso, abih miang dek bagisiak” (rasa geli akan sirna jika sering terkena gelitik). Terlalu sering berbohong dan berbuat tidak benar, akan mengikis habis rasa malu yang ada di dalam diri.
Marilah kita mulai dari lingkaran terkecil (keluarga), untuk menanamkan kembali budaya malu dan nilai-nilai luhur dalam diri anak-anak kita, generasi masa depan Indonesia tercinta.
ASWIL NAZIR
(Penulis dan pengamat kebudayaan kontemporer, pernah bekerja di IBM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar