Soesilo Abadi Piliang
Sepertinya, kecantikan sedang terperangkap di
Mentawai dan singgah pada anak-anak gadis di sana.
“Duh cantiknya,” kata sejumlah tamu yang datang dari Bali, Jakarta saat acara pemilihan Duta Wisata Mentawai 2011 di Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara, akhir pekan lalu.
Kecantikan gadis-gadis Mentawai memang terkenal sejak dulu, melampaui sejarah suku bangsa itu sendiri. Mereka memiliki rambut hitam yang lebat, berkulit putih dan bersih, mata sipit, dan memiliki tubuh tinggi semampai. Wajah mereka yang oriental benar-benar menggambarkan perpaduan wajah orang Cina dan Melayu.
Tak hanya para penari yang memiliki wajah cantik saat tampil di pesta budaya itu, para finalis dan pemenang yang malam itu mengenakan balutan busana tradisional Mentawai hasil rancangan desainer Indonesia yang sudah go international, Merdy Sihombing, juga tampil cantik, anggun. Para lelakinya atletis dan tampan.
“Tanpa dirias mereka juga sudah cantik dan sangat natural kecantikannya,” aku Merdy.
Selain cantik, mereka juga punya inner beauty (kecantikan lahiriah dengan budaya senyum yang selama ini diajarkan nenek moyang mereka. “Kecantikan dan ketampanan orang Mentawai memang unik dan tidak kalah dengan suku bangsa lainnya. Budaya senyum sudah mentradisi dalam budaya nenek moyang kami. Mereka harus senyum kepada tamu dan pendatang,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda & Olahraga Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Masyarakat Mentawai telah berakulturasi. Mereka yang tinggal dekat wilayah pesisir atau kota, seperti di Tuapejat, Sikakap, menerima budaya suku bangsa lainnya, melalui tali perkawinan pemuda-pemudi Mentawai dengan suku lain, seperti Minang, Jawa, Batak, Nias.
Bahkan ada yang menikah dengan bangsa Belanda dan ras kulit putih lainnya dari Eropa.
Dari perkawinan antar suku bangsa lain itu, maka wajah masyarakat Mentawai tidak hanya oriental, tapi punya satu kekuatan budaya yang luar biasa dari hasil perkawinan campur tersebut.
Seperti halnya suku bangsa lain, anak-anak Mentawai dari hasil perkawinan campur maupun yang orisinil masih menggunakan bahasa Mentawai dalam kehidupan sehari-hari, dan senyum masih mereka berikan kepada para pendatang dan komunitas mereka.
Kawasan eksotis
Selama ini Mentawai digambarkan bangsa asing sebagai kawasan yang eksotis, tak hanya punya potensi pariwisatanya (wisata bahari, budaya tato, wisata alam/hutan, tarian-trainnya yang magis), tapi juga dikenal dengan penduduknya yang ramah dan polos.
Menurut sejumlah sumber tentang sejarah Mentawai, bangsa barat sudah tertarik terhadap manusia yang terletak di kawasan yang menghadap di Samudera Hindia ini sejak abad ke 18.
Rafles pun, Letnan Gubernur, Hindia Belanda, pernah memberikan pujian terhadap orang Mentawai. Rafles menulis,”Saya semula ingin menulis buku untuk membuktikan bahwa orang Nias merupakan suku bangsa yang paling berbahagia dan paling baik di muka bumi ini. Namun sekarang, saya dapati bahwa penduduk pulau - pulau Nassau dan Pagai, ternyata lebih ramah dan kemungkinan paling polos lagi”.
Suku Mentawai asli secara antrpologis digolongkan dalam kelompok bangsa proto Melayu tua. Namun, hingga saat ini masih diperdebatkan asal-usul mereka. Walaupun ada di antara mereka mengenal beberapa mitologi yang kadang agak kabur. Masyarakat setempat menyebut negeri mereka dengan nama Bumi Sikerei. (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar