Kamis, 09 Juni 2011 02:48 | |
Ternyata, sampai sekarang, kasus gizi buruk masih seperti fenomena ‘gunung es’ di Indonesia, termasuk di Sumatera Barat ini. Masalah yang naik ke permukaan hanya sebagian kecil, tapi di dalam masyarakat sesungguhnya sangat banyak muncul kasusnya. Beberapa waktu lalu, masalah itu sempat menghentakkan keprihatinan kita karena banyak muncul kasusnya di Pasaman Barat. Kali ini, masalah itu terungkap lagi, tapi kasusnya di Solok Selatan. Ega, 10, salah seorang bocah yang diduga menderita gizi buruk, saat ini masih menunggu sentuhan paramedis. Anak ketiga pasangan Erma Wati, 45, dan Uwan, 48, ini terlihat seperti anak usia lima tahun. Badannya kurus, tulang-tulang di bagian dadanya terlihat jelas. Kasus-kasus di atas menunjukkan, sebetulnya kasus gizi buruk membutuhkan perhatian dan kepedulian dari kita semua, termasuk pemerintah daerah. Apalagi, jamak diketahui, di negara ini terjadi peningkatan jumlah anak balita (di bawah usia lima tahun) penderita gizi buruk dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2003 baru tercatat 3.670 anak yang mengalami gizi buruk, setahun kemudian berubah menjadi 7.813 anak. Kemudian meningkat drastis menjadi 14.273 anak pada 2005. Hal itu makin meningkat drastis di tahun-tahun berikutnya. Pada akhir 2008, DPR misalnya menduga 30% dari 110 juta balita di Indonesia menderita gizi buruk. Menurut data terbaru UNICEF, jumlah anak balita penderita gizi buruk (sebagai kandidat busung lapar) di Indonesia telah mencapai 2,3 juta jiwa. Ini berarti naik sekitar 500 ribu jiwa dibandingkan data 2005 sejumlah 1,8 juta jiwa. Peningkatan ini layak diwaspadai karena hal itu bisa menyebabkan hilangnya satu generasi. Penderita gizi buruk dikhawatirkan mengalami kerusakan otak yang tak mungkin diperbaiki sehingga anak akan bodoh permanen. Perkembangan jumlah yang sedemikian pesat ini tentu sangat memprihatinkan. Yang terjadi bukan angka penderita yang menurun, melainkan sebaliknya. Tentu saja tak sekadar diprihatinkan, tapi harus pula diupayakan agar angka itu terus mengecil setiap tahunnya. Bila tak dilakukan tindakan signifikan, dikhawatirkan akan meledak jumlahnya. Kekhawatiran itu tentu perlu disadari dan diantisipasi. Kita jangan sampai terlena sehingga mengulangi peristiwa pada 2005. Tragedi kemanusian busung lapar pada 2005 sempat menghebohkan, sebab tadinya marasmus (busung lapar karena kekurangan kalori) dan kwashiorkor (busung lapar karena kekurangan protein) sudah amat jarang dijumpai. Sesudah krisis ekonomi, anak dengan gangguan gizi itu kian banyak ditemukan. Kasusnya mencapai angka 8 persen dari total anak balita yang ada di negeri ini dan masyarakat dunia pun menyebut Indonesia sebagai negeri busung lapar. Sayangnya, sampai kini penanganan gizi buruk belum tuntas dilakukan sehingga secara sporadis penyakit malnutrisi yang menggerogoti kualitas kecerdasan anak ini masih terjadi secara masif. Berbagai upaya memang sudah dilakukan pemerintah untuk mencegah bertambahnya jumlah kasus gizi buruk (P Sibuea, 2007). Tapi, di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini masih terus ditemukan anak balita yang mengalami gizi buruk, misalnya di Pasaman Barat dan Solok Selatan tersebut. Inilah keprihatinan kita. Terus bermunculannya kasus-kasus gizi buruk di beberapa daerah (baik di desa maupun di kota besar) itu menunjukkan pemerintah sudah gagal memberi perlindungan terhadap warga yang kelaparan. Pemerintah betul-betul tak berdaya mengelola kebutuhan masyarakat. Fenomena ini terjadi di tengah klaim peme-rintah mengenai penurunan angka kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Data terbaru BPS yang menyebutkan jumlah penduduk miskin berkurang menjadi 2,13 juta orang, menjadi kontradiktif dengan jatuhnya korban gizi buruk di beberapa daerah. Korban gizi buruk yang banyak meninggal adalah puncak ‘gunung es’ yang menggambarkan besaran masalah yang tersembunyi kalau kasus gizi buruk muncul. Jika ratusan balita menderita gizi buruk, bisa diduga ribuan anak lain mengalami penderitaan yang sama tapi tak muncul ke permukaan akibat kurangnya pemberitaan atau rasa malu yang ditanggung kalau seseorang disebut mengalami gizi buruk. Akibat keadaan ini mudah sekali diduga: terlahirlah anak-anak yang tak punya kesehatan fisik dan mental memadai, tercipta generasi baru yang tak sehat, dan akhirnya mempertinggi angka kematian. Kalau gizi buruk melanda para ibu yang sedang hamil, sulit dipastikan lahirnya generasi yang sehat. Keadaan itu tentu harus dihentikan atau segera dikurangi. Sistem pemantauan kesehatan masyarakat terutama yang menyangkut kondisi aktual anak-anak balita perlu diintensifkan. Masyarakat perlu membentuk kembali kelompok-kelompok kecil di tingkat RT, RW, kelurahan, dengan tugas utama memantau kesehatan ibu dan anak. Pada tingkatan kebijakan, perlu diambil langkah terencana dan komprehensif menyangkut kesehatan masyarakat dan harus diakomodasi dalam politik angggaran pemerintah daerah. Pemerintah daerah perlu mengambil posisi paling depan menyangkut berapa angka kemiskinan, gizi buruk, fasilitas kesehatan tingkat desa dan kecamatan yang harus diakomodasi dalam perencanaan anggaran di APBD. Perlu pula dibangun sebuah sistem informasi komprehensif menyangkut data-data ibu hamil, melahirkan, berapa jumlah anak balita yang harus dipantau tingkat kesehatannya. Dari jumlah itu akan diketahui persis kuantitas dan kualitasnya dan berapa kekuatan anggaran yang di-break down pada setiap pos pengeluaran untuk mengamankan keadaan itu. Pemerintah daerah, termasuk di Pasaman Barat dan Solok Selatan, penting memiliki sikap politik yang jelas untuk bidang-bidang mendasar seperti kesehatan dan fasilitas umum. Program kesehatan bukan sekadar menggratiskan berobat di puskesmas, tapi apakah program tersebut benar-benar mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat luas. Semua itu perlu disadari bersama! HENDRIZAL COMMENTS (1) WRITE COMMENT
Older news items:
|
Kamis, 09 Juni 2011
Gizi buruk
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Namun, ditengah keterbatasan angggaran banyak daerah yang justru disibukkan oleh rutinitas belaka. Sehingga program yang lebih tajam terabaikan. Kreativitas daerah diperlukan sehingga senyampang ada program yang lebih spesifik dan khas bagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Beberapa daerah yang peduli justru membuktikan kepada rakyatnya bahwa pemerintah bekerja dengan sungguh-sungguh. Beberapa daerah kabupaten yang bisa dijadikan contoh, Solo, dengan program revitasliasi pasar sehingga Joko Widodo dikenal sebagai Bapak PKL, karena sukses melahirkan program relokasi pasar. Jika selama ini Solo dikenal sebagai daerah rawan konflik namun akibat tangan dingin Jakowi, panggilan akrabnya, dapat menelurkan program yang diapresiasi rakyat.
Purbalingga, memalui program Pemugaran Rumah Miskin, melalui dana stimulan 2 juta, namun mampu menggerakkan partisipasi rakyat untuk bergotong royong, Swadaya masyarakat akhirnya mampu mengangkat kehidupan rakyat dan program 14.600 bedah rumah dinailai sukses dan jadi acuan nasional. Sementara program membeli pangan petani juga mendapat pujian.
Lantas, Kabupaten dan kota di Sumatera Barat, kecuali Kabupaten Solok melalui Perda Transparansinya, belum ada yang dapat dibanggakan. Kita berharap, gizi buruk, dsbnya, merupakan tanggungjawab pemda dalam menyelesaikannya.