Langgai barangkali tidak banyak yang mengenalnya. Konon kabarnya, bagi orang baru yang memasuki kawasan ini akan dihadiahi “guyuran hujan”. Langgai sebuah kampung tersuruk di Nagari Surantiah, Pesisir Selatan, posisinya di sisi timur Nagari Surantiah persis di pinggang Bukit Barisan. Perempuan-perempuan perkasa, laki- laki penuh dedikasi dan remaja serta anak anak berdiam di sini.
Telah lama kampung berpenduduk 1.500 jiwa, 900 perempuan dan 600-an laki-laki ini hidup terkungkung dalam TNKS (Taman Nasional Kerinci Sebelat).
“Sajak nagari dibuka,” kata Relwahyudi Kepala Kampung Langgai.
Tidak hanya terkungkung, kemudian jalan buruk dari arah Pasar Surantiah menuju Langgai melengkapi penderitaan warga di sini. Jalan selain tidak bagus menanjak, rawan longsor pula. Panjang jalan yang memprihatinkan tidak kurang dari 20 Km, tepatnya selepas Ampalu.
Di dalam kampug rumah-rumah sederhana menghiasinya, umumnya terdiri dari rumah kayu dan setengah tiang. Di rumah sederhana tersebut bila musim panen tiba produk pertanian warga disimpan.
“Umumnya pekerjaan masyarakat bertani dan berladang. Produk utamanya adalah beras, gambir, kopi dan rempah rempah lainnya,” ujar Relwahyudi lagi.
Pada prinsipnya, Langgai memiliki potensi cukup besar, misalnya pertanian dan perkebunan. Namun potensi itu harus berbenturan dengan kondisi wilayah. “Sudahlah terkungkung TNKS, jauh pula dari Pasar Nagari. Produk pertanian dan perkebunan tidak bisa dijual dengan harga maksimal akibat biaya transportasi sangat tinggi,” katanya.
Sementara Nurdin (50), warga yang baru selesai panen menyebutkan, buruknya kondisi jalan terpaksa ia harus memanggul padi atau barang apa saja sepanjang puluhan kilo. “Jika harga ingin tinggi yah terpaksa dipikul sendiri, bila menggunakan ojek atau angkutan lainnya maka berat diongkos saja,” kata Nurdin.
Telah sering warga mengusulkan peningkatan jalan ke pemerintah kabupaten. Bahkan lewat Anggota DPRD sekalipun, namun tak satu juapun yang terkabul. “Tampaknya kami harus terima kenyataan seperti ini,” ujar Nurdin mengeluh.
Lahan pertanian dan perkebunan warga nyaris tidak terjadi pertambahan. Penambahan lahan pertanian dan perkebunan terkendala dengan status hutan yang mengelilingi kampung Langgai. “Penambahan lahan berarti merusak TNKS. Masyarakat disini masih setia menjaga hutan yang mengelilingi kampungnya,” ujar Yespi, Camat Sutera.
Karena terkungkung dan terjebak TNKS, kegiatan masyarkat di Kampung Langgai saban hari monoton. Pagi keladadang atau kesawah, kemudian malamnya menjelang tidur kaum laki laki menghabiskan waktu dikedai kedai kopi. Bercengkrama, bebagi cerita soal hidup ini.
Sesekali kampung akan menjadi ramai bila ada kegiatan pesta perhelatan atau acara yang diabuat pemuda. Bila ada kegiatan biasanya Langgai akan hidup hingga tengah malam dan akhirnya kembali kerumah masing. Warga Langgai untuk sementara melupakan keterkungkungan dan ketertinggalannya dan terlelap hingga pagi datang lagi menyinsing. Hari hari penuh kesederhanaan terus dilalui warga Langgai hingga kini. (laporan haridman kambang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar