Ilustrasi (Ist.)
Menurut saya, dunia telematika Indonesia kembali dirundung duka atas rencana pemblokiran atas yang dikatakan sebagai 'situs penyedia lagu ilegal' dan tindakan tersebut didukung oleh anggota DPR, khususnya yang musisi.
Ini bisa dimaklumi karena memang yang dirugikan adalah kalangan yang meminta Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk melakukan itu, yakni para stakeholder yang menggalang gerakan yang dinamakan 'Heal Our Music'. Stakeholder itu adalah pencipta lagu, penyanyi, pembuat CD, produser, distributor, penjual kaset/CD dan lainnya.
Wajar langkah tersebut menjadi harapan para profesional, namun sebenarnya imbas keuntungan yang diperoleh para stakeholder tersebut atas ditutupnya situs-situs tersebut tidak akan signifikan bahkan mungkin tidak berpengaruh sama sekali. Kenapa demikian?
Ngomong-ngomong, apa betul hanya mereka itu saja para stakeholder-nya? Jawabannya, tidak! Stakeholder yang paling merasa dirugikan dengan adanya situs ilegal adalah Telkom. Tapi dalam berbagai berita, sama sekali Telkom tidak disinggung padahal bagi yang tahu ada situs Telkom yang juga memberikan unduh lagu gratis. Jadi sekali lagi memang hukum di negeri ini berpihak pada yang kuat dan berpihak pada negara.
Jadi para praktisi musik merasa seolah mereka terselamatkan, padahal tidak sedemikian, yang terselamatkan atas kiprah Kominfo adalah perusahaan unduh lain seperti Telkom dan lainnya.
Saya tidak dapat menampilkan ke 20 situs tersebut karena belum ada klarifikasi dari Kominfo. Saya, sebagai praktisi telematika -- yang juga sama-sama sangat mengandalkan HAKI dalam melindungi karya saya -- tentu di satu sisi memang prihatin atas maraknya situs yang begitu mudah menyediakan konten gratis akan tetapi melakukan penutupan atau pemblokiran situs benar-benar bukanlah suatu solusi yang smart bagi negeri yang sedang berkembang seperti Indonesia.
Bahkan bila untuk memutuskan tindakan tersebut pihak Kominfo telah berpikir keras dan melalui hasil rapat internal pejabat yang berwenang. Namun bila hasilnya sekadar menutup situsnya itu tidak bedanya dengan berpikir 10 detik saja, 'ada melanggar lalu tutup semua'.
Sama saja bila di dalam mall ada counter yang menjual DVD bajakan lalu satu mall ditutup. Saya tidak bisa membayangkan dengan cara berfikir Kominfo yang seperti ini bila mereka menjadi pejabat kepolisian/penegak keadilan maka saya khawatir Kominfo bisa menjadi seperti tukang tembak jalanan yang lalu membabi buta menembak sana-sini atas nama kebenaran. Betulkah atas nama kebenaran? Ataukah pembenaran?
Alasannya sebagai berikut:
1. Belum tentu semua pemusik/pencipta lagu tidak ingin lagunya disebar gratis bukan? Ada beberapa musisi contoh (kalau tidak salah) Naif yang kiat bisnisnya sangat menarik karena mereka membiarkan lagunya diunduh gratis dan mereka mencari revenue dari show/konser. Begitu pula mungkin beberapa band ternama lainnya.
2. Kita ketahui bahwa musik indie adalah bagian dari karya seni bangsa namun karena hanya mereka kalah bersaing secara bisnis maka karya mereka tidak akan dipasarkan oleh jaringan pemasaran musik berlabel. Padahal lagu-lagu dari musik Indie ini juga banyak peminatnya, lalu kini bagaimana karya musik Indie dengan karya lagu-lagu yang juga bagus tersebut dapat sampai ke penggemarnya.
3. Bagaimana dengan lagu daerah, apakah salah bila disebarkan secara gratis dan bukankah ini justru melestarikan budaya.
4. Kita tahu dengan semakin tingginya mobilitas dan semakin bagusnya perangkat pemutar MP3 player maka lebih banyak orang yang mendengar lagu dari MP3 player daripada CD (yang biasanya hanya didengar di rumah atau mobil). Bahkan banyak sekali sound system mobil yang kini difasilitasi player MP3 karena bisa memuat lebih banyak lagu sehingga MP3 lebih efektif (sampai ribuan lagu).
Peminat MP3 tersebut kini lebih sering mendengarkannya pada ponsel, bahkan pada ponsel China seharga Rp 400 ribuan fasilitas MP3 playernya sangat mengasyikkan dan sudah bisa dinikmati. Dan kita tahu untuk mengisi lagu ke ponsel bukan hanya dengan mengunduh dari internet tetapi bisa beli di counter-counter ponsel yang banyak menjual lagu tersebut, copy dari PC atau saling bertukar dengan sesama pengguna ponsel melalui media yg paling lazim yakni wireless (email, Bluetooth, USB cable dll).
5. Seperti kita ketahui masyarakat kita masih banyak yang gaptek, daripada mereka repot-repot ke situs untuk mencari lagu dan bayar untuk warnetnya juga sekitar Rp 5.000 per jam maka mereka lebih baik mengunduh dari penjual konten yang banyak di mall atau saling bertukar dengan temannya.
6. Kita tahu bahwa pengguna ponsel sekitar 180 juta dan saya meyakini dengan gaya hidup masyarakat kota dan pedesaaan kita maka lebih dari 100 juta ponsel yang digunakan memiliki fitur MP3 player dan diatas 50 juta ponsel memiliki fitur video player dan akses ke internet. Itu berarti setidaknya ada lebih dari 100.000.000 ponsel yang berpotensi untuk digunakan saling bertukar lagu.
7. Walau 20 situs tersebut ditutup semua faktanya masih banyak kesempatan bagi pelaku penyebar konten untuk menaruh file lagu di layanan situs peer-to-peer dan itu tidak bisa dibendung, bahkan lebih parah lagi pelaku bisa saja menaruh file dengan judul/nama file yang disamarkan dan itu tidak berpengaruh. Sebab sejatinya dalam hal konten lagu, publik bukan mementingkan judul melainkan isi lagu itu sendiri.
Bahkan dari situs popular semacam YouTube ada fasilitas untuk mendownload kontennya menjadi file dengan ragam pilihan WAV, FLV, MP4 dll, bahkan dengan pilihan resolusi (rendah atau tinggi).
8. Dunia internet itu adalah dunia tanpa negara, publik dapat dengan mudah mengunggah lagu ke situs unduh dunia, lalu tinggal memberikan URL-nya kepada rekannya di Indonesia dan publik bisa terus menikmati unduh lagu gratis. Tapi yang rugi adalah bangsa ini karena bandwidth international terpakai hanya untuk hal seperti ini dimana seharusnya ini bisa menggunakan bandwidth domestik,imbasnya membuat situs-situs luar negeri menjadi lebih lambat.
9. Apa yang dilakukan Kemkominfo seolah menjadi kontra produktif terhadap potensi start-up/pelaku bisnis pemula. Dimana menyediakan situs download ini menjadi salah satu langkah awal bagi mereka untuk memulai usahanya.
Dari contoh tersebut itu semua maka cukup jelas bahwa penyebab utama turunnya penjualan lagu bukan mutlak disebabkan situs unduh lagu melainkan lebih karena memang berbagai fitur telematika saat ini memungkinkan hal itu, dan sebagai praktisi saya mengacungi jempol akan hal tersebut karena berarti teknologi semakin berkembang dan akan membuka banyak peluang.
Unduh Lagu vs Software
Saya beri contoh begini, para pembuat software -- yang juga sesama penjual karya yang intangible seperti lagu -- mereka bisa melakukan proteksi agar tidak mudah disalin orang bahkan bisa membuat beberapa batasan agar user yang memanfaatkannya adalah sesuai yang dia bayarkan.
Contoh yang bayar Rp 10 juta dapat 10 fitur, tapi kalau bayar Rp 20 juta dapat 30 fitur yang tidak tersedia pada paket Rp 10 juta. Atau penggunaan bisa dibatasi dengan waktu, jumlah user dan lainnya.
Dalam dunia multimedia ada yang mirip dengan hal itu yakni DRM (Digital Right Management) sehingga pembayaran lagu bisa lebih realistik, misal pengguna cukup bayar Rp 3000 untuk 10 kali mendengarkan lagu tersebut, setelah itu lagu tidak dapat dimainkan lagi sampai penikmat membayar Rp 3000 untuk 10 kali dengar berikutnya. Cara ini sebenarnya bisa menjadi solusi di berbagai negara akan tetapi di sini tidak dapat diterapkan karena:
1.Penindakan HaKI saja belum terlaksana dengan maksimal dan hanya mengena level korporasi padahal pembajakan lagu terjadinya justru pada level grass root.
2. Masih banyak sekali perangkat ponsel yang tidak dilengkapi dengan DRM sehingga mengkopi konten menjadi sangat bebas karena DRM adalah fitur proprietary milik Sony, Amazon, Apple Inc, Microsoft dan lainnya, sehingga perangkat yang non Sony tidak ada opsi lain selain memberikan fitur ala 'bebas merdeka' tersebut.
Selain itu DRM masih menimbulkan kontroversi karena banyak yang berpendapat proteksi sebaiknya hanya terhadap kepenggunaan yang tidak semestinya/tidak berwenang, bukan terhadap pembatasan jumlah penggunaan.
Kendala & Solusi
Saat ini alat bayar transaksi online masih sangat njelimet dan publik masih disibukan untuk melakukan pembayaran. Belum lagi maraknya hacking akan membuat trauma para peminat transaksi online.
padahal kalau saja bank bisa membuat suatu fungsi saldo pembayaran online (semacam saldo bayangan) sehingga publik bisa mengalokasikan (transfer) sebagian dana ke saldo online tersebut, maka bila suatu saat dananya dihack orang setidaknya yang hilang maksimal sebatas saldo bayangan tersebut, tidak seluruh rekening amblas.
Solusi yang memungkinkan:
1. Masalahnya Kominfo belum sangat serius menindak para pelaku pembajak konten dengan memberi efek jera sehingga pembajak masih berleha-leha merasa tidak akan tersentuh hukum.
2. Situs pengunduh tersebut jangan ditutup melainkan lebih ditertibkan agar hanya menayangkan konten yang tidak dilarang penciptanya.
3. Apabila pemerintah bisa memberikan solusi alat bayar digital yang lebih mudah, lebih aman dan disosialisasikan dengan baik maka publik tidak hanya menjadi lebih mudah berbelanja tetapi bangsa kita mempunyai cara bayar alternatif yang lebih simple dan aman. Ketahuillah apabila publik Indonesia dimudahkan dalam bertransaksi maka pasti transaksi digital akan marak dan semua pihak diuntungkan.
Setelah semua itu lalu apa yang akan terjadi?
1. Berhubung fitur penyalinan konten antar perangkat seperti via USB, Bluetooth dll akan tetap menjadi suatu fitur yang tidak terelakan, maka perilaku saling copy antar pengguna gadget akan tetap terjadi, bahkan dimasa mendatang cara penyalinannyapun semakin mudah, cukup dengan menggeser konten pada touch screen atau bahkan menempelkan antar 2 devices yg akan digunakan untuk kirim-terima konten.
2.Situs download di berbagai negara lain semakin merajarela karena mereka akan mempunyai banyak konten lagu Indonesia.
3. Telkom akan menjadi raja penyedia layanan unduh lagu dan kata 'persaingan sehat' pupus sudah.
4. Kominfo setelah memblokir situs porno, kini situs lagu, kelak juga (bukan tidak mungkin) akan membungkam situs yang kritis kepada pemerintah. Eh... apakah ini langkah untuk kembali ke era Orde Baru? Bedanya yang sekarang diterapkan Kominfo lebih gaya, yaitu secara digital.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar