Minangkabau tak pernah kering menginspirasi siapapun. Adat dan budayanya yang unik dengan menganut sistem kekerabatan matrilineal, seolah menyihir, terutama bangsa dari belahan Eropa dan Amerika, berlama-lama mendalami Minangkabau.
Maka, jangan heran, tak sedikit buku lahir dari peneliti asing tentang Minangkabau yang menjadi rujukan dan bukubaboon untuk studi Minangkabau. Sebut saja Christine Dobbin, menulis buku Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. Buku ini menguraikan secara tepat, sejarah ekonomi Minangkabau pedalaman pada pada 18, yang memang masih terbatas diketahui. Faktor ekonomis itu dikesankan mendorong proses reformasi Islam di pedalaman Minangkabau, yang tercermin dalam gerakan Padri, yang sebagian pakar menilai masih konroversial hingga kini.
Itu hanya sekadar contoh bagaimana Minangkabau dengan segenap isi di dalamnya masih menjadi kajian yang menarik bagi orang lain.
Beberapa waktu lalu, wartawan Haluan, Meidella Syahni selama sepekan, bersama dua jurnalis asing menelisik secara saksama tentang adat dan budaya Minangkabau dengan mewawancari beberapa sumber yang berkompeten dengan budaya Minangkabau.
Jurnalis itu adalah Daniella Saphiro, seorang jurnalis lepas asal New York City, Amerika Serikat dan Susan Schulman yang biasa berdomisili di London, Inggris, sengaja datang ke ranah Minang untuk meneliti kebudayaan, bahasa dan sistem adat istiadat Minang yang selanjutnya menjadi bahan liputannya.
Keduanya bekerja sebagai jurnalis dan kameramen untuk The Daily Beast dan News Week. Kedua media yang berbasis di Negeri Paman Sam ini mengutus mereka untuk mempelajari keunikan budaya Minang, terutama yang berkaitan dengan sistem matrilineal yang dianut masyarakat Minangkabau.
“Sebagai satu etnik besar yang ada di dunia, kami ingin mengetahui bagaimana sistem matrilineal diterapkan di sini. Selain itu kami juga ingin mengetahui keunikan apa saja yang dimiliki Minangkabau sehingga bisa menjadi suku bangsa yang cukup dikenal di dunia internasional,” ujar Danielle ketika Haluan menanyakan alasannya datang yang ranah Minang ini.
Bagi mereka, sistem matrilineal Minangkabau merupakan sesuatu yang sangat menarik karena memberikan porsi yang besar dan penting terhadap kaum perempuan dalam masyarakat Minangkabau.
“Sangat berbeda dengan kebanyakan sistem yang ada di Barat, ketika laki-laki dan perempuan cenderung berkompetisi untuk mendapatkan kesetaraan, ternyata di Minangkabau justru perempuan diberikan penghargaan lebih dalam semua aspek kehidupan. Kami ingin mengetahui bagaimana penerapannya,” tambah Susan.
Dijelaskannya, mengetahui berbagai budaya dan tradisi yang ada di Minangkabau akan menjadi magnet bagi masyarakat di luar Minang untuk datang. Yang justru sangat menarik lagi, adalah perpaduan adat Minangkabau dengan Islam sebagai agama yang melandasinya.
“Ya, dengan berbagai konflik dan pencitraan yang dialami Islam saat ini kami ingin mengetahui bagaimana Islam dan budaya Minang bisa dijalankan di sini,” ujar Susan lagi.
Filosofi adat bersendi syarak., syarak bersendi Kitabullah, merupakan simpul penting mengtegrasikan adat dan Islam. “Dari titik dan pemahaman ini, kami ingin tahu tingkat operasionalnya dalam kehidupan sehari-hari orang Minang,” kata Daniella Saphiro.
Dalam perjalanan penelitian sejak Selasa (19/7) lalu hingga Senin (25/7), kedua wartawan ini telah melakukan wawancara dengan beberapa tokoh adat, penghulu, datuak, bundo kanduang, perempuan-perempuan Minang. Beberapa di antaranya adalah Ketua Lembaga Kerapatan Adat Minangkabau (LKAAM) Kota Padang, Prof Zainuddin Dt Rajo Lenggang, Ketua Umum Bundo Kanduang Sumbar, Prof Dr Rhauda Thaib, dan beberapa ahli kesenian dan budayawan Minangkabau lainnya.
Perjalanan mereka juga diselingi dengan berkeliling di berbagai tempat bernilai adat dan sejarah Minangkabau seperti kawasan pusat Songket, Pandai Sikek, daerah Kerajaan Pagaruyung, Batu Sangkar, dan beberapa daerah lain seperti Payakumbuh, Bukittinggi dan Pariaman. (h/cw16)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar