Wacana Islam dan negara telah berlangsung berabad-abad. Dengan berbagai argumentasinya, maka secara kategoristik, paling tidak terdapat tiga pendapat dan praktek tentang bagaimana konsep umum yang berhubungan dengan eksistensi keberadaan sebuah negara.
Pertama, Islam dan negara merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Negara Madinah, merupakan city-state ideal. Nabi Muhammad adalah Rasulullah pembawa wahyu sekaligus pemimpin negara. Rasulullah, di samping tugas pokok misi kerasulannya yang sakral, juga kepala pemerintahan dan panglima militer bahkan juga menjadi pengatur kehidupan sehari hari, politik, ekonomi, inspirator, mediator dan katalisator penyatu antar golongan, suku, pemeluk agama yang berbeda.
Semua pedoman normatif, strategi, konstitusi, dasar hukum, manajemen negara-bangsa dapat digali dari Alquran.
Bila isyarat Alquran belum dapat dipahami lebih jelas maka tilik dalam sunnah shahihah atai sirah nabawiyah. Begitu pula dapat dirujuk, praktik sejarah zaman sahabat al Rasyidun dan bahkan juga khalifah yg lebih berorientasi duniawi (sekuler) sesudahnya. Baik pemerintahan Umaiyah, Abbasiyah, sampai ke Daulat Bani Usmani sampai pertengahan dekade ke 3 abad lalu.Kedua, adalah pemisahan yang bertolak belakang antara agama (Islam) dan negara. Agama hanya urusan keimanan individual, gambaran syorga dan negara yang berhubungan dengan kehidupan setelah kiamat. Dan negara adalah urusan publik dan bersifat duniawi semata-mata.
Pada th 1925 oleh Ali Abdul Raziq, dibuat kerangka teori bahwa Nabi Muhammad tidak mempunyai misi kenegaraan, politik, pemerintahan dan militer. Nabi Muhammad diutus hanyalah pembawa misi kerasulannya. Kalaupun Nabi dianggap sebagai pemimpin, itu hanyalah tugas dan misi kemanusiaannya sebagai manusia umumnya. Akibatnya pemikiran ini memicu kontroversi yang bahkan berakibat buruk ke ulama ini.
Pemikiran Ali Abdul Raziq ini, sebenarnya pada awalnya berasal dari sistem pemikiran Romawi yang tidak senang dengan intervensi gereja terhadap urusan negara dan pemerintahannya. Maka lahirlah slogan urusan negara dan pemerintahan berikan kepada kaisar atau raja dan urusan agama serahkan kepada gereja atau pastor dan pendeta.
Belakangan, pemikiran dan praktek inilah yang disebut konsepsi negara sekuler. Segala hal normatif, filsafat, konstitusi, pemerintahan, hukum, peraturan dan undang-undang, semuanya mesti merupakan produk dan otoritas pemikiran manusia semata-mata. Intervensi wahyu ditolak. Agama bebas dari urusan publik, negara, bangsa dan pemerintahan.
Ketiga, rangkuman dari dua pemikiran yang bertolak belakang tadi. Yang terbaik dari agama (Islam), wahyu, praktik normatif dan faktual dirajut secara seksama dengan nilai-nilai politik demokrasi dan praktek pemerintahan produk pemikiran manusia.
Dari mana pun datangnya yang tidak bertentangan dengan Al Quran dan Sunnah Shahihah, semua dapat dirakit dan disinkronisasi untuk menjalankan urusan kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.
Pemikiran yang ke-3 inilah, pada dasarnya yang mengilhami lahirnya negara-bangsa di dunia Islam abad modern. Setelah Perang Dunia I (1914-1918) , akibat Turki Usmani berpihak dengan Jerman yang kalah, maka bekas dinasti yg juga memang sudah tak terkontrol itu menjadi protektorat Inggris . Yang lain berdiri sebagai kesultanan sendiri-sendiri dengan Amir-Amir dalam sistem kerajaan sendiri sendiri.
Baru setelah Perang Dunia II (1942-1945), maka konkrititasi dunia Islam menjadi negara merdeka satu persatu terwujud. Sejak itu terjadi perdebatan panjang soal keberadaan negara-negara mayoritas berpenduduk muslim. Mereka merumuskan konstitusi, bentuk negara dan pemerintahan yang mereka merdekakan, mereka proklamirkan, direbut dengan peperangan fisik dan ada pula yang diberi tanpa keringat, darah dan nyawa.
Sejarah panjang 60 tahun terakhir ini telah mempertontonkan pasang naik dan surutnya dunia Islam. Satu hal yang tak dapat ditolak adalah pengaruh pemikiran Barat dalam praktek kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan.
Demokratisasi, hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi dalam kehidupan negara, bangsa dan pemerintahan yang diserakkan Barat ke seluruh dunia, ibarat pisau bermata dua.
Di satu sisi “virus” Barat tadi mengangkat harkat dan derajat sehingga negara-negara muslim berhak duduk sejajar di Perserikatan Bangsa Bangsa dengan semua negara berdaulat lainnya di duniaa. Di sisi lain mereka menjadi korban demokritasasi, HAM dan liberalisasi ekonomi itu.
Puncaknya adalah sekarang ini. Terutama di dunia Islam Timur Tengah dan Afrika. Di satu pihak dengan alasan membangun negara kesejahteraan memerlukan stabilitas, maka dipertahankan kekuasaan yang panjang.
Di pihak lain, kekuasaan tanpa kontrol, korup, tiranik dan diktator telah memicu pergolakan, reformasi dan bahkan revolusi.
Itulah yang kini sedang terjadi di Tunisia, Mesir, Aljazair, Libiya, Syiria, Bahrain,dan Yaman. Paling aktual dan versi lain tetapi sama tercabik cabiknya adalah Sudan. Setelah pergolakan dan konflik berkepanjangan maka Sudan Selatan telah memisahkan diri dengan Sudan dan menyatakan sebagai negara merdeka sendiri.
Sementara konflik internal dalam variasi yg sedikit berbeda, umat Islam di Thailand Selatan, di Moro Filipina Selatan serta satu dua provinsi di China, sedang memeras nasib mereka. Jangan lupa pula keadaan yang masih traumatis pada beberapa bekas Sovyet dan sisa-sisa negara Balkan lainnya.
Akan halnya Malaysia dan Indonesia rasanya sudah melewati krisis dunia Islam di atas tadi. Telah melewati revolusi dan reformasi. Meskipun dalam dinamikanya sendiri, kedua negara bertetangga terakhir ini sedang bergulat sesama elitnya sendiri. ***
SHOFWAN KARIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar