Natuna adalah sebuah gugusan kepulauan di bagian paling utara Provinsi Kepri dengan total luas wilayah 141.901 km2 atau lebih tiga kali luas Provinsi Sumatera Barat. Tapi dari total luas kabupaten tersebut, 138.666 km2 (97,6%) merupakan lautan dan hanya 3.232,2 km (2,4%) saja berupa daratan dari 271 pulau besar dan kecil di kawasan itu.
Pulau yang terbesar di Natuna adalah Pulau Bunguran. Pulau-pulau lainnya yang lebih kecil di antaranya Pulau Jemaja, Pulau Serasan, Pulau Midai,
Pulau Bintang dan Pulau Sedanau di bagian Selatan, serta Pulau Laut di Utara yang lebih dekat ke Vietnam daripada ke Batam. Jadi, seperti Mentawai di Sumbar, Natuna adalah nama gugusa kepulauan, bukan nama pulau karena tidak ada pulau yang bernama Natuna di daerah ini. Sejarah Natuna tidak dapat dipisahkan dari sejarah Kabupaten Kepulauan Riau yang pada awal kemerdekaan dulu merupakan bagian Provinsi Sumatera Tengah yang berpusat di Bukittinggi. Berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia Propinsi Sumatera Tengah, tanggal 18 Mei 1956, yang menggabungkan Kepulauan Riau ke dalam Wilayah Republik Indonesia, Kepulauan Riau diberi status Daerah Otonomi Tingkat II yang dikepalai Bupati sebagai kepala daerah yang membawahi 4 kewedanaan. Salah satu kewedanaan itu bernama Kewedanaan Pulau Tujuh yang tak lain adalah wilayah Kabupaten Natuna sekarang, meliputi Kecamatan Jemaja, Siantan, Midai, Serasan, Tembelan, Bunguran Barat dan Bunguran Timur.
Kabupaten Natuna sendiri baru berumur 12 tahun, dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 53 Tahun 1999, sebagai hasil pemekaran Kabupaten Kepulauan Riau (Kepri). Awalnya Kabupaten Natuna terdiri dari 6 kecamatan, setelah dua kali pemekaran, kini terdiri dari 12 kecamatan. Jumlah penduduknya menurut Sensus 2010 sekitar 69.000 jiwa.
Meskipun baru berumur setahun jagung, namun Kabupaten Natuna kini tercatat sebagai kabupaten terkaya di Provinsi Kepulauan Riau, bahkan salah satu yang terkaya di Indonesia. Kekayaan terbesarnya adalah minyak dan gas. Karena itu, dana bagi hasil minyak dan gas bumi (migas) menjadi tulang punggung APBD Kabupaten Natuna. Dari Rp 1,15 triliun total nilai APBD tahun 2011, lebih 90 persen berasal dari dana bagi hasil migas, antara lain dari produksi migas di cekungan (blok) Natuna Barat dengan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Conoco Phillips, Star Energy, Premier Oil, TAC Pertamina PT PAN.
Dewasa ini juga sedang dalam persiapan pengelolaan migas di Blok Natuna Timur, yang bila sudah dilakukan dipastikan akan membuat APBD Natuna makin meroket. Menurut perkiraan Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Natuna, Basri, bila Blok Natuna Timur sudah berproduksi, tambahan bagi hasil migas tersebut akan membuat APBD Natuna akan membengkak menjadi sekitar Rp2 triliun per tahun (setara APBD Provinsi Sumbar sekarang).
Perhitungan itu didasarkan atas besarnya cadangan gas bumi di Blok Natuna Timur. Menurut Basri, cadangan gas bumi bersih di blok tersebut besarnya mencapai 46 triliun kaki kubik atau trillion cubic feet (TCF). Volume tersebut hampir mencapai sepertiga total cadangan gas bumi di Indonesia yang sebesar 157 TCF sekaligus cadangan terbesar se-Asia-Pasifik.
Kaya dengan sumber daya alam (SDA), namun Natuna masih miskin sumber daya manusia (SDM). Ini diakui sendiri oleh Bupati Ilyas Sabli. “Natuna masih ketinggalan di bidang SDM, rata-rata pendidikan masyarakat kami masih rendah,” katanya. Selain itu, angka kemiskinan penduduk pun masih tinggi, mencapai 30 persen dari jumlah penduduk. Sebagian besar perekonomian penduduk Natuna ditopang oleh nelayan dan perkebunan kelapa serta cengkeh. Namun kegiatan perekonomian daerah sangat bergantung kepada APBD atau proyek pemerintah.
Kondisi nyata Natuna mungkin bisa kita potret dari keadaan Ranai, ibukota kabupaten. Keadaannya masih jauh di bawah kondisi ibu kecamatan di Sumatera Barat, misalnya. Tidak banyak ditemukan bangunan-bangunan bagus milik masyarakat. Insfrastruktur juga masih minim. Bangunan termegah di Ranai adalah Masjid Agung Natuna yang dibangun sejak tahun 2007 dan diresmikan bulan April 2009, menelan biaya Rp400 miliar. Masjid yang terletak tak jauh dari Pantai Kencana itu kini menjadi maskot dan kebanggaan masyarakat Ranai khususnya dan Natuna umumnya.
Perhubungan dengan daerah luar juga masih minim. Untuk mencapai Ranai ada beberapa jalur dan moda transportasi dari luar. Lewat jalur udara dari Batam, lima kali sepekan dilayani maskapai Lion/Wing serta Sky menggunakan pesawat berbaling-baling dengan waktu tempuh 1,5 jam. Transportasi kapal laut tersedia dari Batam dan Tanjung Pinang, sekali sepekan, dengan waktu sempuh 24 sampai 48 jam, tergantung kapalnya. Sementara kalau dari Pontianak, Kalbar, Natuna bisa ditempuh dalam tempo separuh itu, karena lebih dekat.
Meskipun merupakan bagian dari Provinsi Kepri, namun letak geografis orientasi ekonomi dan sosial masyarakat Natuna lebih dekat ke Kalimantan Barat. Karena itu, putra-putri Natuna yang telah menamatkan SMA, banyak yang melanjutkan ke perguruan tinggi di Pontianak. Maka tak heran, bila kita baca riwayat hidup Bupati Ilyas Sabli dan wakilnya Imalko, keduanya adalah alumni Universitas Tanjung Pura, Pontianak. (h/hc)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar