PADANG, Peraturan Rektor Universitas Andalas (Unand) yang dibuat pada Juli memicu kontroversi. Dari enam belas poin, poin ke-12 dinilai sebagai penghalangan terhadap kebebasan berpendapat.
Peraturan itu berisi tentang larangan merokok, berambut panjang, dan sebagainya. Sementara poin ke-12 ditulis, “Mahasiswa dilarang melakukan unjuk rasa atau demonstrasi serta mengeluarkan pendapat di depan umum di dalam kampus untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan tanpa pemberitahuan secara tertulis ke universitas, fakultas, jurusan dan atau bagian terlebih dahulu.”
Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unand Efri Yuneldi mengatakan, peraturan baru itu sedang dibahas di selingkungan BEM. “Ada memang beberapa poin yang perlu ditinjau kembali,” ujarnya. Rencananya, katanya, BEM akan menemui rektor untuk meminta penjelasan.
Efri menduga, peraturan tersebut dibuat terkait dengan beberapa aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa beberapa bulan yang lalu. Katanya, peraturan itu dibuat pasca demonstrasi yaitu pada Juli.
Aktivis mahasiswa Yogi Yolanda menilai kampus mengalami kemunduran karena hadirnya aturan-aturan itu. Ia menekankan kepada poin ke-12, yang menurutnya bertentangan dengan UU No. 9 tahun 1998 tentang hak berpendapat.
“Peraturannya tak masuk logika. Logika hukum, soal izin demo diberikan polisi, tidak pihak kampus,” ujarnya. Logika lain, bila diibaratkan rektor adalah orang tua, ketika akan melakukan demo, kenapa minta izin dulu? “Ini lucu,” tambahnya.
Menurut Yogi, peraturan yang katanya bertentangan dengan nilai-nilai yang diemban demokrasi dan merupakan bentuk pembungkaman terhadap mahasiswa itu juga sedang didalami dan dibahas bersama aktivis lainnya. “Kita akan pertanyakan kenapa muncul aturan seperti itu,” ujarnya.
Aktivis di Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Masyarakat (LAM & PK) Fakultas Hukum Unand Parwira Agustia menilai aturan itu bertentangan dengan semangat demokrasi, yang notabene diusung dari kampus.
Ia mengkuatirkan—masih terkait poin ke-12—ada semacam upaya pimpinan untuk menghalangi setiap aksi lebih awal. Indikasi ini diperkuatnya, dalam setiap aksi yang dilakukan di Unand, aktivis mahasiswa selalu dipanggil pihak rektorat.
Parwira tidak menjelaskan lebih rinci bentuk pemanggilan tersebut. Tapi, katanya, kampus sebaiknya dijadikan mimbar bebas untuk berpendapat. Soal peraturan tersebut, seperti aktivis mahasiswa yang lain, mereka belum merumuskan sebuah gerakan, masih dalam tahap pengkajian-pengkajian materi.
Peraturan yang dikeluarkan pada Juli itu, dalam pantauan Haluan Selasa (15/11), telah ditempelkan di beberapa fakultas dan ada yang ditempelkan di ruang kelas. Sempat terjadi aksi berupa tempelen poster-poster yang dibuat mahasiswa, tapi buru-buru ditanggalkan, entah oleh siapa. Poster-poster itu berisi kecaman atas peraturan baru tersebut. Kata-katanya terlihat masif seperti, “Unand=TK”.
Plt. Rektor Unand Febrin Anas mengatakan, aturan No.53 a/XIII/A/Unand/2011, Bab V Pasal 7 itu merupakan hasil keputusan yang matang dan dikaji dengan senat. Peraturan tersebut, katanya, tak pantas disebut sebagai penghalangan kebebasan berpendapat.
“Tujuannya untuk pembinaan, bukan mematikan kreatifitas mahasiswa,” ujarnya. Soal demo, ia mengemukakan logika bahwa tak hanya mementingkan kebebasan, tapi juga memikirkan orang-orang yang tak berdemo, yang bisa saja terganggu karena aktivitas demo.
Secara keseluruhan, tanpa merincinya, Febrin menyebutkan peraturan itu sifatnya ke dalam, tidak keluar. Artinya, ia hanya mengatur aktivitas mahasiswa di dalam kampus saja. Lebih tegas ia menyebutkan, aturan itu merangkum seluruh pihak, tidak hanya satu pihak. (h/adk)HALUAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar