KOMPAS/RENY SRI AYUInilah sandal jepit yang diakui milik anggota Brimob Polda Sulteng, Briptu Anwar Rusdi Harahap. Seorang siswa SMK dituduh mencuri sandal ini dan akhirnya diseret ke pengadilan.
KOMPAS.com - AAL (15), siswa SMK Negeri 3 Kota Palu, Sulawesi Tengah, tak pernah menyangka bahwa sepasang sandal jepit butut warna putih kusam yang ditemukannya di pinggir jalan di Jalan Zebra, Kota Palu, akan menyeretnya ke meja hijau. Adalah Briptu Anwar Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah, yang mengaku sebagai pemilik sandal butut merek Ando itu, yang memperkarakan kasus ini hingga ke pengadilan.
Sidang perdana kasus ini digelar di Pengadilan Negeri Palu, Selasa (20/12), dipimpin hakim tunggal Rommel F Tampubolon dengan jaksa penuntut umum Naseh. Setidaknya ada 15 pengacara yang mendampingi AAL, di antaranya Syahrir Zakaria, Elvis DJ Katuwu, dan Johannes Budiman Napat. Untuk PN Palu, inilah sidang pertama dengan kasus sandal jepit. Jaksa mendakwa AAL dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Kasus sandal butut ini bermula pada November 2010, saat AAL, yang ketika itu masih berusia 14 tahun, dan dua temannya pulang dari sekolah di SMPN 9 Palu. Sehari-hari, AAL dan teman-temannya melewati rumah kos di Jalan Zebra IA, di mana Briptu Rusdi menyewa salah satu kamar. Rumah orangtua AAL di Jalan Kijang II Utara, terpaut sekitar 200 meter dengan rumah kos yang ditempati Briptu Rusdi.
Saat itu, AAL melihat sepasang sandal jepit di pinggir jalan, tetapi bukan di depan kamar Rusdi dan juga bukan di dalam pagar. Setidaknya, gambaran ini tampak saat wartawan meminta AAL menunjukkan tempat penemuan sandal. Lokasi penemuan sandal dengan kamar Rusdi terpaut jarak sekitar 25 meter.
Setelah penemuan sandal itu, AAL kembali ke aktivitasnya sehari-hari, dan sudah lupa soal sandal itu. Hingga 27 Mei 2011 sekitar pukul 19.00 Wita, dia dan dua temannya kembali melewati jalan depan rumah kos Rusdi.
”Kira-kira sudah 15 meter melewati rumahnya pak polisi itu, torang dipanggil. Dia tanya soal sandalnya merek Eiger yang katanya hilang, lalu kami jawab tidak tahu,” tutur AAL.
Menurut AAL, walau tak mengaku, Rusdi tetap mencecar pertanyaan soal sandal itu, bahkan disertai pemukulan. Tak puas hanya mendapat jawaban tidak tahu, Rusdi menelepon temannya di Polda, yakni Simson dan Zul, dan meminta mereka datang dan ikut mencecar pertanyaan.
”Karena terdesak dan merasa tidak kuat dipukul, saya akhirnya bilang pernah dapat sandal Ando di pinggir jalan,” kata AAL.
Singkat cerita, AAL diminta mengambil sandal Ando tersebut di rumahnya sekaligus melapor kepada kedua orangtuanya. Tentu saja pasangan Ebert Nicolas Lagaronda dan Rosmin Landegawa, orangtua AAL, panik saat anaknya yang tidak biasanya pulang tengah malam tiba-tiba datang diantar polisi dengan tuduhan mencuri.
”Karena anak saya mau dibawa ke kantor polisi, dan saya sudah panik, saya bilang, mau anak saya yang ambil atau bukan, saya tetap akan mengganti sandal yang mereka cari. Saat itu, saya diminta mengganti tiga pasang sandal Eiger seharga Rp 85.000 per pasang. Saat mau pulang, saya tanya, bagaimana dengan sandal Ando itu. Dijawab Rusdi, itu bukan miliknya, tetapi dia minta tetap disimpan dengan alasan akan dicari siapa pemiliknya,” kata Ebert.
Janggal
Untuk malam itu, persoalan usai, dengan perjanjian Ebert akan membawa tiga pasang sandal keesokan harinya. Namun, saat tiba di rumah, barulah Ebert dan Rosmin melihat bahwa kaki anaknya berdarah dan sebagian tubuhnya lebam. Saat itulah AAL baru mengaku bahwa dia dipukuli. Niat damai untuk mengganti sandal yang belum jelas dicuri anaknya atau bukan seketika berubah. Esok hari, Ebert—pegawai Kesbang Linmas Provinsi Sulteng—tak membeli sandal, tetapi membawa anaknya untuk divisum dan selanjutnya melapor ke Propam Polda Sulteng.
Mengetahui Ebert melapor ke Propam, Rusdi sempat meminta laporan itu dicabut. Namun, Ebert mempertahankan sikap. Diduga, laporan itu yang membuat Rusdi membawa kasus ini ke meja hijau. Dia sudah menjalani beberapa kali sidang untuk kasus penganiayaan anak di bawah umur yang salah satu sidangnya menghadirkan Ebert dan AAL sebagai saksi. Hingga kini, belum ada putusan untuk kasus ini.
Dalam fakta persidangan, ada beberapa kejanggalan soal sandal jepit yang menyeret AAL ke meja hijau. Kendati pada awalnya mencari sandal merek Eiger yang hilang dan meminta diganti dengan sandal bermerek sama, bernomor 43, toh yang jadi barang bukti di pengadilan adalah sandal merek Ando bernomor 9,5. Tak ada satu pun saksi yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Dalam sidang, saat hakim Rommel F Tampubolon dan sejumlah pengacara AAL bertanya, bagaimana Rusdi yakin itu sandal miliknya, Rusdi menjawab, ”Saya ada kontak batin saat melihat sandal itu.” Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
”Kami sangat prihatin dengan kasus ini. Kami sedih mengapa kasus sandal jepit yang harganya tidak seberapa dan melibatkan anak di bawah umur yang belum tentu bersalah harus sampai ke pengadilan. Kami juga akan memperkarakan ke pengadilan umum soal penganiayaan yang dialami klien kami,” kata Syahrir Zakaria, salah seorang pengacara AAL.
(Reny Sri Ayu)
Sumber :
Sidang perdana kasus ini digelar di Pengadilan Negeri Palu, Selasa (20/12), dipimpin hakim tunggal Rommel F Tampubolon dengan jaksa penuntut umum Naseh. Setidaknya ada 15 pengacara yang mendampingi AAL, di antaranya Syahrir Zakaria, Elvis DJ Katuwu, dan Johannes Budiman Napat. Untuk PN Palu, inilah sidang pertama dengan kasus sandal jepit. Jaksa mendakwa AAL dengan Pasal 362 KUHP dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.
Kasus sandal butut ini bermula pada November 2010, saat AAL, yang ketika itu masih berusia 14 tahun, dan dua temannya pulang dari sekolah di SMPN 9 Palu. Sehari-hari, AAL dan teman-temannya melewati rumah kos di Jalan Zebra IA, di mana Briptu Rusdi menyewa salah satu kamar. Rumah orangtua AAL di Jalan Kijang II Utara, terpaut sekitar 200 meter dengan rumah kos yang ditempati Briptu Rusdi.
Saat itu, AAL melihat sepasang sandal jepit di pinggir jalan, tetapi bukan di depan kamar Rusdi dan juga bukan di dalam pagar. Setidaknya, gambaran ini tampak saat wartawan meminta AAL menunjukkan tempat penemuan sandal. Lokasi penemuan sandal dengan kamar Rusdi terpaut jarak sekitar 25 meter.
Setelah penemuan sandal itu, AAL kembali ke aktivitasnya sehari-hari, dan sudah lupa soal sandal itu. Hingga 27 Mei 2011 sekitar pukul 19.00 Wita, dia dan dua temannya kembali melewati jalan depan rumah kos Rusdi.
”Kira-kira sudah 15 meter melewati rumahnya pak polisi itu, torang dipanggil. Dia tanya soal sandalnya merek Eiger yang katanya hilang, lalu kami jawab tidak tahu,” tutur AAL.
Menurut AAL, walau tak mengaku, Rusdi tetap mencecar pertanyaan soal sandal itu, bahkan disertai pemukulan. Tak puas hanya mendapat jawaban tidak tahu, Rusdi menelepon temannya di Polda, yakni Simson dan Zul, dan meminta mereka datang dan ikut mencecar pertanyaan.
”Karena terdesak dan merasa tidak kuat dipukul, saya akhirnya bilang pernah dapat sandal Ando di pinggir jalan,” kata AAL.
Singkat cerita, AAL diminta mengambil sandal Ando tersebut di rumahnya sekaligus melapor kepada kedua orangtuanya. Tentu saja pasangan Ebert Nicolas Lagaronda dan Rosmin Landegawa, orangtua AAL, panik saat anaknya yang tidak biasanya pulang tengah malam tiba-tiba datang diantar polisi dengan tuduhan mencuri.
”Karena anak saya mau dibawa ke kantor polisi, dan saya sudah panik, saya bilang, mau anak saya yang ambil atau bukan, saya tetap akan mengganti sandal yang mereka cari. Saat itu, saya diminta mengganti tiga pasang sandal Eiger seharga Rp 85.000 per pasang. Saat mau pulang, saya tanya, bagaimana dengan sandal Ando itu. Dijawab Rusdi, itu bukan miliknya, tetapi dia minta tetap disimpan dengan alasan akan dicari siapa pemiliknya,” kata Ebert.
Janggal
Untuk malam itu, persoalan usai, dengan perjanjian Ebert akan membawa tiga pasang sandal keesokan harinya. Namun, saat tiba di rumah, barulah Ebert dan Rosmin melihat bahwa kaki anaknya berdarah dan sebagian tubuhnya lebam. Saat itulah AAL baru mengaku bahwa dia dipukuli. Niat damai untuk mengganti sandal yang belum jelas dicuri anaknya atau bukan seketika berubah. Esok hari, Ebert—pegawai Kesbang Linmas Provinsi Sulteng—tak membeli sandal, tetapi membawa anaknya untuk divisum dan selanjutnya melapor ke Propam Polda Sulteng.
Mengetahui Ebert melapor ke Propam, Rusdi sempat meminta laporan itu dicabut. Namun, Ebert mempertahankan sikap. Diduga, laporan itu yang membuat Rusdi membawa kasus ini ke meja hijau. Dia sudah menjalani beberapa kali sidang untuk kasus penganiayaan anak di bawah umur yang salah satu sidangnya menghadirkan Ebert dan AAL sebagai saksi. Hingga kini, belum ada putusan untuk kasus ini.
Dalam fakta persidangan, ada beberapa kejanggalan soal sandal jepit yang menyeret AAL ke meja hijau. Kendati pada awalnya mencari sandal merek Eiger yang hilang dan meminta diganti dengan sandal bermerek sama, bernomor 43, toh yang jadi barang bukti di pengadilan adalah sandal merek Ando bernomor 9,5. Tak ada satu pun saksi yang melihat langsung apakah sandal merek Ando itu memang diambil AAL di depan kamar Rusdi.
Dalam sidang, saat hakim Rommel F Tampubolon dan sejumlah pengacara AAL bertanya, bagaimana Rusdi yakin itu sandal miliknya, Rusdi menjawab, ”Saya ada kontak batin saat melihat sandal itu.” Saat hakim meminta mencoba, tampak jelas sandal Ando itu kekecilan untuk kaki Rusdi yang besar.
”Kami sangat prihatin dengan kasus ini. Kami sedih mengapa kasus sandal jepit yang harganya tidak seberapa dan melibatkan anak di bawah umur yang belum tentu bersalah harus sampai ke pengadilan. Kami juga akan memperkarakan ke pengadilan umum soal penganiayaan yang dialami klien kami,” kata Syahrir Zakaria, salah seorang pengacara AAL.
(Reny Sri Ayu)
Sumber :
Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar