KOMPAS/HENDRA A SETYAWANSpanduk hukuman mati bagi koruptor terpasang di Jalan Panglima Polim, Jakarta, Minggu (4/3/2012). Desakan penerapan hukuman mati untuk koruptor banyak disuarakan berbagai kalangan termasuk Ketua Mahkamah Agung, Hatta Ali.
JAKARTA, Pemiskinan koruptor dianggap sebagai cara efektif untuk menimbulkan efek jera melakukan tindak pidana korupsi. Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Teten Masduki, mengatakan, agar lebih berefek, seluruh kekayaan pelaku tindak pidana korupsi harus disita negara, bukan hanya harta hasil tindak pidananya.
"Kekayaan seluruhnya yang disita, jangan yang hasil tindak pidana korupsinya saja. Kalau ini dilakukan, tidak ada yang berani korupsi," kata Teten saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/3/2012).
Hal tersebut, kata Teten, tidak melanggar hak asasi manusia. Penyitaan seluruh harta koruptor telah diterapkan di negara lebih maju, seperti di Amerika Serikat. Sementara di Indonesia, lanjut Teten, belum ada undang-undang yang mengatur penyitaan seluruh harta koruptor.
"Harus ada undang-undangnya dulu yang mengatur aparat untuk bisa ambil semua harta koruptor," ucapnya. Teten juga menilai, pemiskinan koruptor lebih rasional ketimbang menerapkan hukuman mati bagi para terpidana korupsi.
Hal lain yang perlu dilakukan, lanjutnya, menerapkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Dengan demikian, bukan hanya si pelaku yang dapat dijerat melainkan juga pihak lain yang menerima uang hasil korupsi si pelaku. "Bukan pada dirinya sendiri, tapi anak, istrinya, partai politik," tambah Teten.
Dia menambahkan, selama ini pelaku tindak pidana korupsi masih dapat bernapas lega meskipun telah divonis. Karena masih memiliki harta, mereka masih dapat melakukan kegiatan-kegiatan sosial, menyumbang dana ke partai politik, maupun membangun citra baru di media.
"Bisa bayar lawyer yang mahal, pencitraan di media. Kalau dimiskinkan, dia enggak akan punya biaya untuk bangun image baru," ucap Teten. "Jadi, dimiskinkan saja. Kalau mau berantas korupsi, jangan tanggung-tanggung," tegasnya.http://nasional.kompas.com
"Kekayaan seluruhnya yang disita, jangan yang hasil tindak pidana korupsinya saja. Kalau ini dilakukan, tidak ada yang berani korupsi," kata Teten saat dihubungi Kompas.com, Senin (5/3/2012).
Hal tersebut, kata Teten, tidak melanggar hak asasi manusia. Penyitaan seluruh harta koruptor telah diterapkan di negara lebih maju, seperti di Amerika Serikat. Sementara di Indonesia, lanjut Teten, belum ada undang-undang yang mengatur penyitaan seluruh harta koruptor.
"Harus ada undang-undangnya dulu yang mengatur aparat untuk bisa ambil semua harta koruptor," ucapnya. Teten juga menilai, pemiskinan koruptor lebih rasional ketimbang menerapkan hukuman mati bagi para terpidana korupsi.
Hal lain yang perlu dilakukan, lanjutnya, menerapkan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Dengan demikian, bukan hanya si pelaku yang dapat dijerat melainkan juga pihak lain yang menerima uang hasil korupsi si pelaku. "Bukan pada dirinya sendiri, tapi anak, istrinya, partai politik," tambah Teten.
Dia menambahkan, selama ini pelaku tindak pidana korupsi masih dapat bernapas lega meskipun telah divonis. Karena masih memiliki harta, mereka masih dapat melakukan kegiatan-kegiatan sosial, menyumbang dana ke partai politik, maupun membangun citra baru di media.
"Bisa bayar lawyer yang mahal, pencitraan di media. Kalau dimiskinkan, dia enggak akan punya biaya untuk bangun image baru," ucap Teten. "Jadi, dimiskinkan saja. Kalau mau berantas korupsi, jangan tanggung-tanggung," tegasnya.http://nasional.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar