KRISTIANTO PURNOMO/KOMPAS IMAGESIlustrasi
Penyelenggaraan sekolah rumah (homeschooling) sebagai salah satu bentuk pendidikan informal masih belum banyak dipahami masyarakat, termasuk dinas pendidikan. Akibatnya, anak-anak sekolah rumah yang umumnya anak-anak usia sekolah terhambat untuk mendapatkan layanan pendidikan yang baik dan sesuai kebutuhannya.
Erlina VF Ratu, Pimpinan Komunitas Sekolah Rumah Pelangi di Jakarta, mengemukakan bahwa perlakuan pada anak-anak sekolah rumah dalam ujian nasional, misalnya, bergantung pada siapa pejabat di dinas pendidikan di daerah. Jika pejabat dinas pendidikan paham soal sekolah rumah, dukungan untuk ujian nasional (UN) kesetaraan maupun bergabung di UN sekolah formal dipermudah birokrasinya.
"Sebaliknya, kalau diganti dengan yang tidak paham, anak-anak sekolah rumah justru dipersulit. Ini merugikan hak anak-anak dalam hak belajar mereka," kata Erlina, Rabu (4/4/2012).
Budi Trikorayanto, Wakil Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (AsahPena) mengatakan, sebenarnya tiga jalur pendidikan yang diakui pemerintah, yakni pendidikan formal, nonformal, dan informal, pada prinsipnya saling melengkapi. Jika terjadi perpindahahan jalur, semestinya tidak saling menghambat.
"Anak-anak sekolah rumah tentunya dapat dikatakan memenuhi standar kompetensi formal atau nonformal pada waktu mereka mampu lulus UN. Bahwa mereka tidak mengikuti standar proses sesuai pendidikan formal dan nonformal, hal ini bukan berarti proses yang mereka lakukan tidak lebih baik," kata Budi.
Parameter keberhasilan pendidikan, menurut Budi, seharusnya bisa dilihat dari output anak didik, apakah proses yang dilalui mampu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Budi mengatakan, semakin jelas bahwa politik pendidikan pemerintah adalah sekolah formal semata. Sebaliknya, pendidikan nonformal dan informal hanyalah pelengkap penderita belaka. "Hal ini jelas menyalahi amanat UU Sisdiknas. Walaupun anak-anak sekolah rumah yang usia sekolah akan dimasukkan dalam pendidikan formal, tapi pendidikan nonformal dan informal haruslah tetap diperhatikan untuk saling melengkapi dengan pendidikan formal," papar Budi.
Seto Mulyadi, Ketua Umum AsahPena, mengatakan anak-anak sekolah rumah ini menganut belajar kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja. Apa yang dipelajari anak-anak sesuai dengan syarat yang dibuat pemerintah mulai dari kompetensi, materi, dan standar isi.
Namun demikian, ketentuan yang ada secara sempit mensyaratkan anak-anak sekolah rumah yang bisa mengalami percepatan belajar harus ber-IQ 130. "Padahal, kemampuan belajar tidak sepenuhnya tergantung IQ. Asal anak belajar rajin, fokus, dan konsentrasi, proses belajar bisa lebih cepat," kata Seto.
TERKAIT:
Erlina VF Ratu, Pimpinan Komunitas Sekolah Rumah Pelangi di Jakarta, mengemukakan bahwa perlakuan pada anak-anak sekolah rumah dalam ujian nasional, misalnya, bergantung pada siapa pejabat di dinas pendidikan di daerah. Jika pejabat dinas pendidikan paham soal sekolah rumah, dukungan untuk ujian nasional (UN) kesetaraan maupun bergabung di UN sekolah formal dipermudah birokrasinya.
"Sebaliknya, kalau diganti dengan yang tidak paham, anak-anak sekolah rumah justru dipersulit. Ini merugikan hak anak-anak dalam hak belajar mereka," kata Erlina, Rabu (4/4/2012).
Budi Trikorayanto, Wakil Ketua Umum Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (AsahPena) mengatakan, sebenarnya tiga jalur pendidikan yang diakui pemerintah, yakni pendidikan formal, nonformal, dan informal, pada prinsipnya saling melengkapi. Jika terjadi perpindahahan jalur, semestinya tidak saling menghambat.
"Anak-anak sekolah rumah tentunya dapat dikatakan memenuhi standar kompetensi formal atau nonformal pada waktu mereka mampu lulus UN. Bahwa mereka tidak mengikuti standar proses sesuai pendidikan formal dan nonformal, hal ini bukan berarti proses yang mereka lakukan tidak lebih baik," kata Budi.
Parameter keberhasilan pendidikan, menurut Budi, seharusnya bisa dilihat dari output anak didik, apakah proses yang dilalui mampu mencapai tujuan pendidikan sebagaimana diamanatkan undang-undang.
Budi mengatakan, semakin jelas bahwa politik pendidikan pemerintah adalah sekolah formal semata. Sebaliknya, pendidikan nonformal dan informal hanyalah pelengkap penderita belaka. "Hal ini jelas menyalahi amanat UU Sisdiknas. Walaupun anak-anak sekolah rumah yang usia sekolah akan dimasukkan dalam pendidikan formal, tapi pendidikan nonformal dan informal haruslah tetap diperhatikan untuk saling melengkapi dengan pendidikan formal," papar Budi.
Seto Mulyadi, Ketua Umum AsahPena, mengatakan anak-anak sekolah rumah ini menganut belajar kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja. Apa yang dipelajari anak-anak sesuai dengan syarat yang dibuat pemerintah mulai dari kompetensi, materi, dan standar isi.
Namun demikian, ketentuan yang ada secara sempit mensyaratkan anak-anak sekolah rumah yang bisa mengalami percepatan belajar harus ber-IQ 130. "Padahal, kemampuan belajar tidak sepenuhnya tergantung IQ. Asal anak belajar rajin, fokus, dan konsentrasi, proses belajar bisa lebih cepat," kata Seto.
TERKAIT:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar