Ditulis oleh Teguh
CATATAN IVEN PANGGUNG PUBLIK SUMATERA 2012
Kesadaran untuk menciptakan ruang kehidupan kesenian di luar tembok lembaga pendidikan yang berangkat dari kesadaran kepada betapa terbatasnya ruang ruang kelas, dan pada sisi lainnya menjawab tantangan atas tudingan sejumlah kalangan masyarakat terhadap lembaga, dalam hal ini Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang (PP) yang dianggap hanya menciptakan produk dan karya yang hanya dinikmatinya sendiri. Tentu saja berbagai tudingan itu tak sepenuhnya benar.
Tak sedikit karya yang bisa kita anggap produk yang bisa kita anggap mengisi khasanah kontemporer di dalam seni pertunjukan, musik dan tari sepanjang beberapa dekade terakhir menjadi tolok ukur perkembangan seni panggung di tanah air. Mungkin yang ditudingkan oleh sejumlah kalangan terhadap ISI-PP adalah, posisi ISI-PP di lingkungan terdekatnya: bagaimana kontribusi lembaga pendidikan tinggi kesenian yang bergengsi itu kepada masyarakat sekitarnya.
Di antara silang sengkarut opini itulah sejumlah aktivis teater di Padang Panjang yang dimotori oleh Teater Sakata dan dengan dukungan Jurusan Teater ISI-PP dan Wawalkot Padang Panjang menyusun rencana kerja untuk memasuki berbagai ruang-ruang publik, menghadapkan teater dengan warga di lingkungannya. Acara yang diselenggarakan pada tanggal 26-27 Maret itu, berkaitan dengan World Theatre Day 2012 (Hari Raya Teater se Dunia), dengan tema Panggung Publik Sumatera.
Rencana disusun sejak berbulan-bulan yang lalu, dengan prinsip, bagaimana memasuki dan menguak ruang-ruang publik. Kesadaran untuk memasuki dan berdialog dengan publik terasa begitu menggetarkan, sebagai otokritik terhadap dunia teater itu sendiri dan sekaligus sistem pendidikan kesenian yang dianggap telah memasuki kotak-kotak yang membuat dirinya dan anak didiknya bagaikan ikan-ikan hias di dalam akuarium: suatu kondisi yang mengingkari posisi kesenian di dalam sejarah sosial di lingkungannya.
Namun, nampaknya upaya untuk menggugat dan menguak ruang-ruang publik yang didasarkan kepada kesadaran kultural itu, nampaknya tak sepenuhnya mendapatkan sambutan yang semestinya. Sejarah sosial politik yang disisakan oleh rejim Orba melalui birokrasi dan politik perijinan sebagai alat kontrol terhadap warga, sampai kini masih mengungkung. Di balik kungkungan itu, juga terdapat sejenis pat gulipat yang sudah menjadi bagian dari pembusukan birokrasi: “amplop”, agar perijinan dan ruang dapat terbuka bagi warga untuk mengisi ruang publik itu. Di sini kita menemukan realitas, bahwa komodifikasi ruang publik bukan hanya dalam bentuk bagaimana pengelola kota melakukan politik ekonomi dengan menggusur dan menjual lahan kepada pemilik kapital kelas kakap, misalnya untuk mall atau real estate. Tapi juga bagaimana politik dan birokrasi perijinan menerapkan kekuasaannya untuk memeras warga.
Ruang Publik yang Berbayar
“Amplop” itulah yang dihadapi oleh panitia Panggung Publik Sumatera: pengelola Stasiun Padang Panjang meminta tiga juta rupiah jika panitia ingin menggunakan halaman dan ruang stasiun sebagai ruang pertunjukan. Sementara itu, lapangan di dekat Koramil Padang Panjang, secara tak langsung dengan dalih birokrasi perijinan, ujung-ujungnya “amplop” pula yang diminta. Ironi dari politik birokrasi perijinan keramaian di ruang publik ini, nampaknya pihak pengelola instansi sipil-polisi-militer tak mengetahui dan memahami Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri Tahun 1995, yang menyatakan bahwa kegiatan warga di bidang apapun khususnya senibudaya di ruang publik, tak diperlukan perijinan. Yang dibutuhkan hanya pemberitahuan, dan instansi berwewenang berkewajiban memberikan pelayanan. Namun, realitas yang ada di hadapan warga jauh berbeda dengan harapan: tatanan hukum hanya di atas kertas!
Di antara sengkarut dan pembusukan birokrasi yang ada di sekitar kita, nampaknya masih ada peluang yang memungkinkan grup teater, pelaku monolog, performance artserta mime theatre menyajikan dirinya, dan menyapa warga dengan karyanya. Maka dengan sigap panitia mengalihkan kebeberapa lokasi. Dan lokasi sebagai ruang publik itulah yang menjadi batu ujian bagi mereka untuk mencoba menguak kemungkinan kehadiran seni pertunjukan di hadapan publik Padang Panjang.
Maka Teater Sakata memilih lokasi di pertambangan batu kapur Bukit Tui dengan lakon Dongeng Mande Dari Bukit Tui yang didasarkan kepada pengamatan posisi dan nasib kaum perempuan pekerja pertambangan. Pilihan ini memiliki resiko atas pertunjukan itu sendiri, yang nampak terasa akrab karena menggunakan bahasa lokal, yang menjadi elemen penting di dalam penyajiannya, di samping tema yang terasa sebagai bentuk “teater terlibat”. Namun penyajian pada sore hari, pada waktu mereka bekerja, bukan pilihan yang tepat waktu. Saya membayangkan, jika saja pementasan itu sehabis waktu isya, sangat mungkin warga di sekitar akan ikut menyaksikannya.
Yang menarik monolog Complicated, garapan Kurniasih Zaitun dalam pola tukang obat memilih lokasi pertokoan Pasar Padang Panjang. Garapan yang pas dengan situasi pasar dan aktor monolog yang menguasai materi dengan baik, melibatkan penonton. Jika pada tahun 1970-an orang bicara tentang “teater total”, pola garapan inilah yang bisa kita katakan jenis teater itu. Berbeda dengan Lee Production dengan lakon yang sesungguhnya milik warga, Malin Kundang, bukan saja tak ada tafsir yang baru atas cerita itu, bahkan sajiannyapun terasa gagap dan gugup. Dalam konteks Malin Kundang inilah dari perspektif eksistensial kita menyaksikan tubuh aktor yang terbelah dan sekaligus termarjinalkan oleh sistem: ruang publik membuatnya menjadi terasing, dan pada sisi lainnya sistem pendidikan tak mengantarkannya ke dalam pemahaman ruang sejarah sosial lingkungannya, di samping tehnik yang tak cukup memadai.
Tentu, semua pelaku teater mengalami kegamangan ketika memasuki ruang publik. Namun selalu pula ada upaya bagaimana ruang yang sesungguhnya bagi pergaulan biasa tak asing, kenapa di dalam dunia kesenian menjadi asing. Untuk itulah, proses ke arah pemahaman melalui sejenis “riset” dan memasuki pergaulan secara akrab, dan tentu saja dibutuhkan berbagai “teknik” agar jarak sosial bisa diatasi. Dalam konteks itulah Teater 9 Ruang dengan lakon karya Arifin C. Noer, Matahari di Sebuah Jalan Kecil di Pasar Sayur terasa dekat, dan terasa pula ada keinginan untuk memahami ruang secara akrab, yang disesuaikan dengan lakon garapannya, dan tanpa pernak pernik tata lampu, yang biasanya bisa jadi beban. Di lokasi yang sama pula mime theatre mengusung lakon Batu bertema para penambang batubara di jaman kolonial yang ditimba dari hasil pengamatan di Sawah Lunto, dengan sedikit besutan, lumayan berhasil menciptakan efek dramatis.
Perlu dipikirkan secara mendalam oleh pelaku teater apa yang diungkapkan oleh Yusril, Dosen Jurusan Teater ISI-PP, “kemungkinan pelaku teater hanya seperti memindahkan panggung”. Dan itu menjadi otokritik penting, seperti kritik kepada dirinya yang mengusung Orang-Orang Bawah Tanah yang disajikan di halaman Gedung Sjafei, yang dibiarkannya cair, untuk menghindari kesan pemindahan panggung. Dan hal itulah yang diupayakan oleh pelaku teater dalam bentuk monolog dan grup di halaman Gedung Sjafei, walaupun masih juga terasa terjebak ke dalam garapan pola panggung teater di dalam gedung, terkecuali Andi Jagger yang mengusung Koruptor Yang Budiman.
Memasuki ruang publik memiliki resiko eksistensial bagi siapa saja, bukan hanya dalam dunia kesenian. Segregasi sosial akibat perkembangan ekonomi yang timpang dan pola konsumsi serta life style, dan di sisi lain ketercerabutan dari ruang kesejarahan di mana tradisi berhimpitan dengan moderenisasi menciptakan batas ambang yang membuat siapa saja tertatih-tatih, bahkan gagap dan gugup. Untuk itulah, memasuki dan berusaha menguak ruang publik, seperti pernyataan Yusril, “menjadikan teater milik semua orang” sesungguhnya mempertaruhkan seluruh makna diri. Dan keseluruhan makna diri ini membutuhkan perangkat analisis dan kehendak yang bukan hanya pada waktu peringatan World Theatre Day.
Pengamatan secara intensif, pergaulan sosial dengan lingkungan yang akan dimasuki dan menjadi bagian kehidupan, semuanya hanya bisa dikerjakan secara kontinyuitas, bukan sepotong-potong dan sporadis. Sebab, perlu kita renungkan, pikirkan secara mendalam dan menyusun rencana kerja kebudayaan. Itulah berkah dari apa yang telah terjadi pada tanggal 26-27 Maret, di mana kita merasakan antusiasme warga menyaksikan teater. Dan ini suatu bukti bahwa warga Padang Panjang memiliki watak terbuka, dan masih dalam kondisi yang cair. Pada sisi lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Wawalkot Padang Panjang, “mari kita coba lagi pada bulan Desember 2012”.
HALIM HD
(Networker Kebudayaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar