Promosi Pencak Silat
Film bela diri Indonesia telah memecahkan rekor lokal dan kini menjadi film Indonesia pertama yang masuk jajaran box office di Amerika. Seni bela diri pencak silat tradisi, yang menghiasi film tersebut, menjadi mendunia.
Kini sang sutradara berharap, sukses film berjudul “The Raid: Redemption” itu akan menghidupkan kembali pencak silat, seni bela diri asli Indonesia yang kini semakin ditinggalkan dan kurang digemari generasi muda.
Film aksi ini pertama dirilis pada akhir Maret lalu dan awal April telah berada di urutan nomor 11 film paling laku di Amerika, dengan meraih lebih dari 2 juta penonton. Di Indonesia, film itu sukses meraih lebih dari 1 juta penonton, sebuah angka spketakuler untuk ukuran industri film lokal.
Promosi Pencak Silat
“Ini adalah film yang bisa membantu mempromosikan Pencak Silat ke seluruh dunia” kata Gareth Evans yang berasal dari Wales dan menjadi sutradara sekaligus penulis naskah film ini.
“Jadi kalau ada penonton di Amerika, Inggris, Perancis atau di manapun di dunia yang tiba-tiba tertarik belajar Pencak Silat, atau orang-orang tiba-tiba bisa memainkan Silat, maka artinya kami telah melakukan tugas kami,” kata Evans.
Pencak Silat memiliki lebih dari 150 variasi atau gaya yang tersebar di seluruh Indonesia. Seni bela diri ini mempergunakan gerakan tangan dan kaki. Evans mengaku terkesan dengan keindahan gerakan dan brutalitas yang ada dalam gerakan serangan pencak silat. Namun popularitas seni bela diri ini semakin berkurang di kalangan anak muda Indonesia.
Pemeran Utama Juara Silat Indonesia
Film yang dengan sederhana diberi judul “The Raid” ini berkisah tentang pasukan khusus kepolisian “SWAT” yang dikirim untuk menangkap seorang gembong kriminal yang tinggal di sebuah menara bertingkat.
Film ini dibintangi ahli Pencak Silat dan bekas juara Iko Uwais yang berperan sebagai kepala polisi serta Yayah Ruhiyan yang biasa menjadi wasit Pencak Silat internasional, berperan sebagai gembong penjahat. Mereka berdua adalah penata gaya dalam adegan perkelahian film ini.
Pengambilan gambar berlangsung tiga bulan dengan anggaran satu juta dollar Amerika. Film ini mendapat pujian dari para kritikus film dunia termasuk penghargaan Midnight Madness dari Festival Film Toronto. Film laga ini juga diputar di Sundance Film Festival, serta di Spanyol, Italia dan Dublin.
Dipuji Kritikus Film
Para kritikus memuji aksi non stop serta ketelitian koreografi dalam film itu, meski sang sutradara Gareth Evans dan produser Ario Sagantoro mengaku tidak menciptakan inovasi baru dan menggunakan gaya yang sama dengan film aksi Hong Kong tahun 1980-an. Hampir 90 persen adegan dalam film ini diambil di dalam ruangan.
“Satu-satunya keinginan adalah kami ingin membuat film yang memang ingin kami tonton. Jadi kami tidak berpikir, oh baiklah mungkin kami bisa mendapat box office, atau kami bisa menjual film ini ke negara ini dan itu,” kata Evans.
“Kami menyadari, harus menjualnya secara internasional, tapi kami tidak tahu bagaimana kami akan menampilkan film ini, kami tidak tahu bagaimana orang akan merespon. Semuanya yang terjadi setelah (Festival Film-red) Toronto adalah sebuah bonus,” tambah Evans.
Gareth Evans mengenal pencak silat saat pengambilan gambar untuk sebuah film dokumenter lima tahun silam. Ia dan Sagantoro sebelumnya membuat film laga pencak silat berjudul “Merantau” yang cukup terkenal di Indonesia. N (Sumber: http://www.dw.de)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar