Featured Video

Senin, 09 Juli 2012

BENTENG AGAMA TELAH RAPUH-PERILAKU PENCABULAN DALAM KELUARGA


Bela­ka­ngan ini, Ranah Minang buncah karena maraknya orang terdekat yang memiliki hubungan darah, melampias­kan nafsu birahi setannya, baik itu kepada anak kan­dung, anak tiri, maun kemena­kannya. Tepatnya masih da­lam keluarga sendiri.

Adat basyandi syarak, syarak basandi Kitabullah yang jadi pedoman masyara­kat Minang seolah tak ber­mak­na lagi. Datar saja negeri ini. Minangkabau seperti tak lagi berpematang.
Dalam catatan Haluan—dari berbagai daerah di Suma­tera Barat—enam bulan ter­akhir ini saja, puluhan kali terjadi orang-orang dekat yang “memakan” korbannya dengan berbagai variasi: ada yang berulang-ulang hingga hamil, dan ada berlangsung cukup lama tanpa diketahui.
Pelaku yang umumnya orang dekat korban, baik itu sebagai ayah, ayah tiri, pa­man, kakak, dan lain sebagai­nya, tentu menarik dilihat dari aspek psikologi-sosial, dan budaya Minang.
Menurut Yuni Ussy Johan, psikolog  yang juga merupa­kan dosen Fakultas Kedok­teran Unand, terjadi kasus pencabulan yang dilakukan orang-orang dekat korban, pertama karena kurangnya nilai-nilai agama yang dimiliki pelaku.
“Nilai-nilai agama ini seha­rusnya harus dipupuk semenjak di usia dini. Jika semenjak kecil kita telah memiliki dasar keagamaan yang bagus, Insya Allah ke depan, dalam waktu sekian tahun, walau­pun ada rasa keinginan untuk mencoba hal terlarang tersebut akan tertahan. Hal ini dikarenakan ketakutan akan ganjaran dari Tuhan. Kalau nilai-nilai keagamaan tidak dipupuk secara baik, maka akan membuat jebolnya iman, sehingga hal tersebut bisa terjadi,” kata Yuni Ussy Johan kepada Haluan,  di ruang kerjanya Rabu (4/7) lalu.
Faktor yang kedua, terjadi karena si korban ada terkesan memancing. Misalnya saja, memakai pakaian yang minim, yang memperlihatkan lekuk tubuh dan seterusnya, sehing­ga menimbulkan kesempatan. Mungkin pada awalnya tidak ada niat dari si pelaku, tetapi karena ada kesempatan maka terjadilah hal tersebut.
Faktor ketiga, ketika si korban telah memakai pakaian tertutup, tetapi memang si pelaku telah memiliki niat, dan hal tersebut juga bisa terjadi.
“Mereka tidak memikirkan kalau hal ini terjadi pada adik saya, keluarga saya bagaimana. Sehingga si pelaku tidak takut untuk melaku­kan tindakan pencabulan,” jelas Yuni Ussy Johan.
Menurutnya, dampak psikologis bagi si korban akibat kejadian pencabulan, ia akan mengingat kejadian ini seumur hidupnya. Ia akan mengalami traumatis sepan­jang umurnya.
“Kalau wanita yang menjadi korban memiliki tipikal wanita baik-baik, efek psikologisnya akan terbawa lama. Tetapi apabila ia bukalah wanita baik-baik, biasanya ia akan cuek saja mengenai perma­salahan ini,”  terang Yuni Ussy Johan yang juga merupakan Pimpi­nan Lembaga Psikologi Progressive Reflection Padang itu.
Dijelaskannya, jika korbannya wanita baik-baik, ia cenderung menjadi pribadi yang tertutup. Merasa tersisih dari kehidupannya, merasa selalu bersedih hati. Dia akan merasa hidupnya menjadi lebih suram dan merasa hidupnya tidak ada gunanya lagi. Dia akan merasa tidak akan bisa menikmati hidup dan hidupnya akan sia-sia.
“Jadi akan muncul sikap putus asa dan penyesalan yang dalam. Akibatnya dengan hal ini, ia tidak akan memiliki semangat hidup, tidak ada keinginan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Potensi-potensi positif yang ada di dirinya tidak akan muncul keluar,” paparnya.
Banyak cara untuk menganti­sipasi. Misalnya, bagi yang memi­liki anak perempuan di rumah, jangan ditinggal berdua saja dengan calon pelaku yang mungkin memi­liki kesempatan melakukan perbua­tan pencabulan tersebut. “Mungkin pada awalnya tidak ada niat, tapi jangan pernah membuka kesem­patan untuk itu.”
Selain itu, agar orang tua menjadi contoh sebagai pribadi yang menutup aurat dan perlu ditanamkan nilai agama yang kuat di tengah  keluarga.
“Usahakan minimal dalam satu hari itu ada kegiatan salat berja­ma­ah di rumah, atau sekali sebu­lan mengundang ustad untuk mengaji bersama. Bisa saja dilaku­kan sendiri dengan pengajian bersama anggota keluarga dengan membahas tafsir dari Alquran,” terangnya.
Hal senada juga dikatakan Ketua MUI Sumatera Barat Syam­sul Bahri Khatib. “Maraknya kasus pencabulan yang dilakukan oleh pihak keluarga kepada  anggota keluarganya yang lain, terjadi akibat lemahnya pemahaman agama.
“Agama merupakan pondasi seorang manusia. Tanpa agama kita akan kacau. Agama yang menga­jarkan manusia agar hidup tertata. Caranya dengan mengikuti aturan yang ada di dalam ajaran agama tersebut. Inti dari sebuah agama mengatur urusan kehidupan manu­sia. sehingga, manusia itu dapat hidup terhormat dan bermartabat. Tunduk dan patuh kepada aturan Allah. Hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang,” terang Buya ini.
Selain itu, derasnya perkem­bangan teknologi juga menjadi salah satu faktor pendorong maraknya pencebulan di tengah-tengah ke­luarga. Kemajuan teknologi yang memberikan beragam informasi tidak dimbangi oleh pemehaman agama yang kuat.
Sementara itu dokter spesialis kejiwaan RSUP M Djamil Padang dr Amel Yanis, SpKJ mengatakan, terdapat empat  penyebab terja­dinya  pencabulan dan  kekerasan seks di lingkungan rumah tangga. Pertama, adanya peluang. Terja­dinya hubungan seks atau penca­bulan.
Kedua, terlalu sering  menonton  VCD porno, adegan  seks di internet, media cetak dan elektronik.
“Pengaruh ini sangat berbahaya apabila terjadi kepada orang yang belum memiliki penyalur hasrat seksual yang sah. Namun, namun hal ini juga tidak luput bagi seseorang yang sudah berkeluarga. Kejenuhan kepada pasangan, bisa membuat seseorang melampiaskan hasrat seksualnya kepada orang lain, termasuk kepada anggota keluarganya,” kata Amel Yanis.
Ketiga, tambahnya, pengaruh narkoba dan minuman keras, se­hing­ga tidak bisa mengendalikan diri jika melihat lawan jenis. Orang mabuk tidak akan bisa mem­bedakan mana pasangan yang patut digaulinya maupun yang tidak.
“Terlalu banyak waktu luang juga bisa menjadi penyebabnya. Energi tidak tersalurkan kepada hal-hal yang bermanfaat. Hal ini bisa menyebabkan hasrat seksual menjadi sangat sulit dikendalikan, termasuk kepada pihak keluarga sendiri,” jelasnya.
Maka, untuk mencegah dan mengurangi kemungkinan terjadinya  pencabulan dan  kekerasan seks di lingkungan keluarga diperlukan kesadaran pribadi anggota keluarga tersebut. (h/cw-dra/yat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar