Saat Matahari mulai redup dan di antara bau bunga rampai, sejumlah perempuan tua dengan mata tertutup merapal doa di depan makam Syekh Burhanudin, Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman, Minggu (15/7). Butiran-butiran kecil berwarna putih dibakar, semerbak bau kemenyan menusuk hidung, menyebar di area makam. Bergantian laki-laki dan perempuan tua mencium batu nisan, sambil melantunkan doa-doa.
Di tengah makam terdapat berbagai macam benda seperti, lemang, limau, air mineral. Suasana mulai hening, hanya hembusan sejuknya angin yang mengalir dari sela makam yang berlantai keramik itu.
Makam tersebut penuh dikelilingi peziarah, berharap dengan menghadiahkan doa kepada Syekh Burhanudin yang wafat pada hari ke 10 bulan Safar 1111 hijriyah, peziarah dengan khusuk menyampaikan doanya agar permintaannya dikabulkan oleh Allah SWT.
Tak lama kemudian, beberapa orang peziarah, bergantian masuk ke dalam makam berpagar besi berukuran 5x4 tersebut. Makam Syekh Burhanudin termasuk ke dalam benda cagar budaya yang dilindungi, dikelilingi oleh makam makam pengikutnya dan pohon cimpago biru menambah suasana religi yang sakral.
Di makam terdapat satu buah Alquran berukuran besar yang diletakkan atas batu nisan Syekh Burhanudin, pemberian dari Bupati Padang Pariaman Nasrul Syahrun.
Menjelang masuknya bulan Ramadan, pengikut Syekh Burhanudin yang biasa disebut aliran Syatariah, beramai-ramai pergi ke makam. Selain sudah menjadi kebiasaan berziarah sebelum bulan puasa, para tokoh ulama setempat juga melakukan maniliak bulan (melihat bulan untuk memastikan awal di mulainya puasa).
“Maniliak bulan biasa dilakukan dipantai, karena disitu pandangan kita tak terhalang, sehingga bisa melihat dengan jelas, dan itu dilakukan semenjak islam masuk ke Ulakan,” ujar Kkatib Muchtar (68), seorang ulama Syatariah, yang membantu membacakan doa kepada kepada peziarah. Dia mengatakan, semua peziarah dari berbagai daerah seperti Jambi, Bengkulu, Jakarta, dan juga ada yang dari Malaysia. Tak hanya berdoa tetapi juga berzikir bahkan sampai berhari-hari.
Rasa keterikatan dengan ajaran tokoh ulama Islam Syekh Burhanudin, membuat terciptanya rasa kebersamaan antar pengikut syatariah, mereka menjalin komunikasi di area makam. Dari berbagai daerah mereka menyatu di area makam, dengan maksud dan tujuan yang berbeda-beda.
Banyaknya pengunjung jadi berkah bagi Desi (32), salah seorang penjual kemenyan dan buku-buku agama dilingkungan makam. “Kebanyakan para peziarah di sini membeli kemenyan, selain itu juga ada yang membeli bunga rampai. Dalam sehari rata-rata pendapatan bisa Rp100 ribu, di hari-hari tertentu seperti saat ini, menjelang puasa, pendapatan dari hasil kemenyan bisa lebih,” ujar Desi yang sudah 15 tahun berjualan itu.
Ditambahkannya, saat bulan Ramadan kebanyakan para pedagang tutup, hal itu disebabkan para peziarah tidak banyak yang datang ke makam. Kawasan makam saat ini sudah mulai dipugar, terlihat beberapa bangunan di sekitar makam mulai di bongkar. “Sejak berdirinya makam, sudah 2 kali dilakukan pemugaran, namun pasca gempa yang trjadi pada 30 September 2009 lalu terjadi sedikit retakan pada dinding makam,” tutur Paman (55), seorang Imam.
Menurutnya, infaq yang di dapat dari para peziarah digunakan untuk membangun masjid, biaya perawatan, serta membangun area makam yang lebih luas.
“Setiap pengunjung dan peziarah yang datang kesini mempunyai banyak cara untuk menyamaikan doanya dari yang membakar kemenyan, membawa buah-buahan, bahkan ada yang bernazar membawa seekor sapi setelah doanya terkabul,” ungkap Paman.
Dijelaskannya, aliran syatariah yang terdapat di Ulakan sudah menyebar ke berbagai pelosok Tanah Air, dan negara lainya. Namun para pengikutnya tetap berziarah ke ulakan, hal tersebut sebagai tanda rasa hormat kepada ulama penyebar islam di bumi nusantara. (Laporan Rivo Septi Andries)
harianhaluan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar