Syarif (44) mendampingi SB (15) memasuki Ruang Unit Gawat Darurat Rumah Sakit Palang Merah Indonesia Kota Bogor, Rabu (18/7) siang. SB mengenakan masker yang menutupi mulutnya. Remaja itu lebih sering diam tanpa bicara lantaran kesakitan bila memaksa rahangnya yang retak bergerak.
”Ngomongnya belum lancar karena mulutnya sakit. Kalau malam selalu mengeluh sakit sekali rahangnya,” tutur Syarif.
Syarif dan SB siang itu didampingi Neti Herawati, Kepala Seksi Kemasyarakatan Kelurahan Bubulak, Bogor Barat. Mereka hendak kembali mempertanyakan nasib ”antrean” perawatan bagi SB. Pada Sabtu pekan lalu, SB kembali diperiksa dokter spesialis gigi di RS PMI dan diminta rawat inap guna dioperasi rahangnya yang retak dan bergeser posisinya.
Namun, saat itu petugas rumah sakit mengatakan ruang rawat inap sudah penuh. Mereka diminta meninggalkan nomor telepon dan nama untuk dihubungi jika sudah ada kamar yang kosong. Namun, saat Rabu kemarin mereka kembali mendatangi RS PMI Kota Bogor, SB tetap belum bisa dirawat.
”Sebelum itu kami sudah meminta diperiksa kepala puskesmas untuk mendapat rekomendasi jaminan kesehatan daerah. Ternyata kondisi rahangnya, menurut dokter puskesmas itu, sudah mulai infeksi karena tidak segera ditangani,” tutur Neti.
Korban pengeroyokan
SB adalah remaja yang menjadi korban pengeroyokan di Perumahan Vila Ciomas di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, pada 27 Juni. Saat itu SB dan temannya melintasi Vila Ciomas menggunakan sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba, ada seorang warga yang hendak menyeberang dan hampir tersenggol sepeda motor mereka. Beberapa warga kemudian mengejar dan meneriaki mereka pencuri.
Sepeda motor yang mereka kendarai jatuh saat dikejar warga, SB dipukuli dan dihantam dengan balok. SB sempat dirawat di UGD RS PMI Kota Bogor dan mendapat 30 jahitan di bibir bawahnya. Selain itu, tulang rahangnya retak serta memar di kaki dan tangan. Syarif melaporkan kasus itu ke Polsek Ciomas.
Syarif, ayah SB, hanya penjahit di Jakarta Pusat dengan upah terbatas. Sementara ibu SB menjadi tukang cuci di rumah Neti Herawati. Saat ini SB seharusnya sudah masuk ke SMK YKTB Bogor dan mengikuti masa orientasi siswa. Namun, kondisi fisiknya tak memungkinkan.
”Saya baru bayar uang pendaftaran Rp 50.000. Uang sumbangan gedung Rp 950.000 belum sanggup bayar. Ini juga masih pusing bagaimana biaya perawatannya,” tutur Syarif.
Menurut Neti, dengan mendapat bantuan jamkesda biaya operasi SB yang minimal Rp 10 juta akan ditanggung Pemkab Bogor, tetapi keluarga tetap harus membayar biaya obat dan rawat inap. Namun, kini, dengan mengantongi jaminan jamkesda, SB tetap juga belum bisa mendapat perawatan.
”Saya tahu bagaimana kondisi ekonomi keluarga ini. Ibunya sudah membantu mencuci di keluarga saya delapan tahun. Kami minta bantuan lembaga perlindungan anak karena SB masih anak-anak,” tuturnya.
Yudha Waspada, Kepala Humas dan Pemasaran RS PMI Kota Bogor, menuturkan, saat SB datang pada Sabtu kondisi ruang perawatan penuh. Namun, kata dia, saat hendak dipesankan kamar belum ada jawaban jelas dari keluarga SB. ”Sebelum masuk, kami minta melapor ke poliklinik dahulu, tetapi juga belum dilakukan.”
”Tadi saat datang poliklinik sudah tutup, tetapi jika berkenan besok pagi bisa langsung melapor ke poliklinik. Masih kami tahankan kamar. Dan ini bukan karena menggunakan surat keterangan tidak mampu karena saat hendak mendaftar juga mereka tidak bilang pasien dengan SKTM,” tuturnya. (GAL)
http://megapolitan.kompas.com
”Ngomongnya belum lancar karena mulutnya sakit. Kalau malam selalu mengeluh sakit sekali rahangnya,” tutur Syarif.
Syarif dan SB siang itu didampingi Neti Herawati, Kepala Seksi Kemasyarakatan Kelurahan Bubulak, Bogor Barat. Mereka hendak kembali mempertanyakan nasib ”antrean” perawatan bagi SB. Pada Sabtu pekan lalu, SB kembali diperiksa dokter spesialis gigi di RS PMI dan diminta rawat inap guna dioperasi rahangnya yang retak dan bergeser posisinya.
Namun, saat itu petugas rumah sakit mengatakan ruang rawat inap sudah penuh. Mereka diminta meninggalkan nomor telepon dan nama untuk dihubungi jika sudah ada kamar yang kosong. Namun, saat Rabu kemarin mereka kembali mendatangi RS PMI Kota Bogor, SB tetap belum bisa dirawat.
”Sebelum itu kami sudah meminta diperiksa kepala puskesmas untuk mendapat rekomendasi jaminan kesehatan daerah. Ternyata kondisi rahangnya, menurut dokter puskesmas itu, sudah mulai infeksi karena tidak segera ditangani,” tutur Neti.
Korban pengeroyokan
SB adalah remaja yang menjadi korban pengeroyokan di Perumahan Vila Ciomas di Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, pada 27 Juni. Saat itu SB dan temannya melintasi Vila Ciomas menggunakan sepeda motor dengan kecepatan tinggi. Tiba-tiba, ada seorang warga yang hendak menyeberang dan hampir tersenggol sepeda motor mereka. Beberapa warga kemudian mengejar dan meneriaki mereka pencuri.
Sepeda motor yang mereka kendarai jatuh saat dikejar warga, SB dipukuli dan dihantam dengan balok. SB sempat dirawat di UGD RS PMI Kota Bogor dan mendapat 30 jahitan di bibir bawahnya. Selain itu, tulang rahangnya retak serta memar di kaki dan tangan. Syarif melaporkan kasus itu ke Polsek Ciomas.
Syarif, ayah SB, hanya penjahit di Jakarta Pusat dengan upah terbatas. Sementara ibu SB menjadi tukang cuci di rumah Neti Herawati. Saat ini SB seharusnya sudah masuk ke SMK YKTB Bogor dan mengikuti masa orientasi siswa. Namun, kondisi fisiknya tak memungkinkan.
”Saya baru bayar uang pendaftaran Rp 50.000. Uang sumbangan gedung Rp 950.000 belum sanggup bayar. Ini juga masih pusing bagaimana biaya perawatannya,” tutur Syarif.
Menurut Neti, dengan mendapat bantuan jamkesda biaya operasi SB yang minimal Rp 10 juta akan ditanggung Pemkab Bogor, tetapi keluarga tetap harus membayar biaya obat dan rawat inap. Namun, kini, dengan mengantongi jaminan jamkesda, SB tetap juga belum bisa mendapat perawatan.
”Saya tahu bagaimana kondisi ekonomi keluarga ini. Ibunya sudah membantu mencuci di keluarga saya delapan tahun. Kami minta bantuan lembaga perlindungan anak karena SB masih anak-anak,” tuturnya.
Yudha Waspada, Kepala Humas dan Pemasaran RS PMI Kota Bogor, menuturkan, saat SB datang pada Sabtu kondisi ruang perawatan penuh. Namun, kata dia, saat hendak dipesankan kamar belum ada jawaban jelas dari keluarga SB. ”Sebelum masuk, kami minta melapor ke poliklinik dahulu, tetapi juga belum dilakukan.”
”Tadi saat datang poliklinik sudah tutup, tetapi jika berkenan besok pagi bisa langsung melapor ke poliklinik. Masih kami tahankan kamar. Dan ini bukan karena menggunakan surat keterangan tidak mampu karena saat hendak mendaftar juga mereka tidak bilang pasien dengan SKTM,” tuturnya. (GAL)
http://megapolitan.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar