Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengeluhkan tetap tingginya pajak untuk pengadaan angkutan massal. Permohonan keringanan pajak untuk pengadaan ribuan bus transjakarta pun tak kunjung mendapat respons dari otoritas pajak.
"Maunya bus sedang atau transjakarta di Jakarta (dipajaki rendah), tapi sampai sekarang belum ada jawaban. Mestinya diberilah," ujar Jokowi di kediamannya, Jumat (8/11/2013). Dia berpendapat, seharusnya pajak nol persen diberlakukan untuk pengadaan transportasi massal Indonesia.
"Kalau mobil murah (bisa ada) gara-gara diberikan (insentif penghapusan) pajak, (pengadaan) transportasi (massal) harusnya murah juga, diberikan pajak nol (persen). Mestinya gitu," ujar Jokowi. Dia pun berharap permintaan keringanan pajak pengadaan bus tersebut segera mendapat tanggapan.
Keringanan pajak untuk pengadaan angkutan massal, kata Jokowi, akan memungkinkan segera melonjaknya jumlah armada transportasi publik. Bila jumlah angkutan umum sudah bertambah, ujar dia, masyarakat yang dapat diangkut juga akan lebih banyak dan harapannya pengguna mobil pribadi akan berkurang.
Kendala pajak untuk pengadaan angkutan umum bukan baru kali ini dihadapi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pada 2011, misalnya, pernah diajukan keringanan pajak untuk pengadaan ribuan bajaj berbahan bakar gas.
Upaya konversi bahan bakar dan "regenerasi" bajaj tersebut terkendala harga "bajaj biru" yang mencapai Rp 60 juta sebelum ada keringanan pajak. Setelah ada permohonan keringanan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk bajaj berbahan bakar gas, pajak yang dikenakan turun dari 45 persen menjadi 25 persen.
Dinas Perhubungan DKI Jakarta saat itu berpendapat, pajak yang dikenakan untuk pengadaan bajaj itu terlalu tinggi, sekalipun sudah mendapat keringanan. "Bajaj biru" dikenakan pajak "barang mewah" dengan alasan penggunaan gas sebagai bahan bakarnya.
s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar