Ditulis oleh Teguh Judul di atas adalah penggalan dari peribahasa yang tumbuh di negeri Inggris masa silam. Selengkapnya berbunyi seperti ini: bila ibu tak bahagia, tak seorang pun bahagia. Tampaknya ibu di masa itu adalah jangkar utama kehidupan rumah tangga di Inggris.
Kenapa tak bahagia?
Bagaimana jika pepatah itu diterapkan pada kehidupan masa kini, saat jangkar kehidupan rumah tangga tak lagi dikendalikan oleh seorang ibu karena sang ibu ini adalah wanita karir, yang berangkat kerja di pagi hari dan pulang ke rumah di malam hari? Masihkan berlaku pepatah itu untuk keluarga dengan status seorang ibu sebagai single parent? Apakah anak-anak di rumah akan ikut tak bahagia jika ibu yang sering di luar rumah itu dalam suasana hati yang tak bahagia? Kalau anak-anak di rumah terbiasa diasuh oleh “babby sitter”, dampaknya mungkin berkurang tapi tetap saja suasana hati sang ibu akan tercium oleh anak-anak dan suami.
Kini saatnya menyorot faktor kenapa ibu—atau manusia pada umumnya—tak bahagia? Apa penyebabnya? Banyak teori yang bisa menjawab pertanyaan atau masalah klasik ini. Jawaban paling tua diberikan filsuf kuno yang bernama Epictetus, yang hidup seputar abad awal, yakni tahun 50-135. Dia bilang: manusia tak bahagia bukan karena faktor luar tapi faktor dalam. Pendapat Epictetus ini dijustifikasi oleh Marcus Aurellius, yang hidup setelahnya yakni tahun 121-180.
Aurellius berujar: jika kau terluka oleh faktor eksternal, itu bukan karena faktor eksternal itu sendiri tapi karena penilaianmu terhadap faktor luar itu. Kekuatanmulah yang dapat menyingkirkan penilaianmu itu. Aurellius menambahkan, “Keputusan kita menyalahkan peristiwa atau orang lain itulah yang menyebabkan ketakbahagiaan ini. Menyalahkan faktor luar merupakan bentuk menghindari tanggung jawab diri.”
Mari kita terapkan kedua pendapat itu pada ketakbahagiaan seorang ibu yang disebabkan suaminya seorang pemabuk. Salahkah sang ibu jika dia menilai bahwa faktor ketakbahagiaannya adalah ulah sang suami yang pulang ke rumah di malam hari dalam keadaan sempoyongan?
Menurut Epictetus maupun Aurellius, jelas bahwa ibu itu tak bisa menyalahkan sang suami yang suka mabuk sebagai penyebab ketakbahagiaannya. Sepintas pendapat dua filsuf itu terasa absurd. Bagaimana dia bisa menyalahkan seorang ibu yang menuduh suaminya sebagai penyebab ketakbahagiaan?
Kedua filsuf itu tampaknya tak bisa menjadikan peristiwa mabuk sebagai tonggak awal kehidupan rumah tangga. Faktor penyebab suami yang suka mabuk itu bisa dipertanyakan. Kenapa dia jadi pemabuk? Sejauh mana peran sang istri mendampinginya dalam bahtera rumah tangga sehingga dia tak sanggup membawa sang suami menghindari minuman keras? Kahlil Gibran bahkan pernah mengatakan: dalam peristiwa pembunuhan, korban pun punya andil atas terjadinya peristiwa naas itu. Jadi, istri pun punya andil atas berlangsungnya periswiwa mabuk sang suami.
Tentu banyak variabel yang terlibat dalam peristiwa mabuknya seorang suami. Dan sedikit atau banyak, seorang istri boleh jadi punya andil dalam peristiwa tak mengenakkan itu. Epictetus dan Aurellius agaknya ingin bahwa sang istri ikut bertanggung jawab atas kebiasaan suaminya yang suka mabuk-mabukan. Dengan demikian, ketakbahagiaan yang dirasakan sang istri itu tidak semata-mata karena faktor eksternal.
Dalam dunia orang-orang yang mengutamakan kehidupan rohaniah ketimbang jasmaniah, teori kebahagiaan internal itu telah teruji lewat ilustrasi komparatif berikut. Ada seorang miskin yang kurang pangan dan setiap merasa lapar selalu menyumpah serapah. Sementara tetangganya adalah seorang rohaniwan yang sepanjang hidupnya (tentu sejak dia memutuskan hidup asketik) lebih banyak diisi dengan berpuasa.
Sang tokoh ini sebetulnya sering kelaparan, tapi menghayati rasa laparnya itu sebagai bagian dari keutamaan dalam hidup. Lapar bagi dia bukan mendatangkan ketakbahagiaan seperti si miskin tetangganya tapi malah sumber kebahagiaan karena itulah kebajikan yang mendekatkannya pada dunia yang immaterial.(h/mulyo sunyoto/ant)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar