Seminar IKMR yang digelar pada 29 Januari 2011 dengan tema “Keselarasan Budaya Minang dan Melayu dalam Kehidupan Antar Budaya”. Rencana seminar ini telah mendapat sambutan positif oleh budayawan terkenal H Tenas Effendi. beliau menekankan bahwa akar kebudayaan antara Minang dan Melayu itu sama, yakni Islam.
Harapan beliau kita jangan terjebak dalam pemikiran yang sempit atau terpasung dalam wawasan sempit mengenai budaya Minang dan Melayu. Akar kebudayaan keduanya sama yaitu Islam, membedakannya hanyalah unsur (Haluan, Jumat, 21 Januari 2011 Hal 16). Rasanya tidak berlebihan kalau kita menyampaikan apresiasi kepada IKMR dan budayawan kita H Tenas Effendi, seminar ini terasa penting dan ingin mengungkapkan keserasian budaya Minang dan budaya Melayu dalam kehidupan antarbudaya. Saya sependapat dengan Tenas bahwa akar kebudayaan antara Minang dan budaya Melayu itu sama, yaitu Islam, namun saya berbeda pendapat kalau dikatakan yang membedakan budaya Minang dan Melayu itu adalah unsurnya. Menurut saya, baik akar maupun unsurnya antara budaya Minang dan Melayu itu adalah sama yaitu ibarat dua permukaan daun sirih, yang satu permukaannya kasar dan satu lagi licin (halus). Namun bila digigit rasanya sama saja yaitu pedas Kebudayaan sebagai hasil perjuangan manusia di samping bersifat indah dan luhur, juga bersifat memajukan dan memudahkan hidup dan kehidupan manusia. Sebagai buah budi kebudayaan mengandung keindahan dan keluhuran, yaitu bersifat baik, benar, dan adil. Melalui kebudayaan orang dapat hidup tertib, damai, salam dan bahagia, dan dapat mensejahterakan dan membahagiakan diri dan orang lain. Umumnya unsur kebudayaan itu pada dasarnya sama yaitu buah pikiran (cipta), buah perasaan (rasa), dan buah kemauan (karsa). Begitu juga kebudayaan minang dan melayu dalam kehidupan antar budaya, pastilah memiliki unsur yang sama. Jadi dari segi akar, hakekat sifat dan unsurnya budaya Minang dan Melayu itu sama, mungkin yang berbeda dalam segi isi, bentuk dan iramanya sesuai dengan perubahan alam dan zaman. Sampai saat ini harmonisasi (keselarasan) budaya minang dan melayu tetap terjaga dengan baik dalam kehidupan antarbudaya. Seminar ini semakin menarik, karena dikaitkan dengan budaya Minang dan budaya Melayu dengan kehidupan antarbudaya. Kehidupan antarbudaya merupakan sebuah kehidupan yang tumbuh dan berkembang seperti hidup, tumbuh dan berkembangnya manusia. Adakalanya kebudayaan itu lahir, tumbuh, maju, berkembang dan berubah, adakalanya kebudayaan menjadi tua, mundur, sakit-sakitan, dan mati. Secara manasuka (asosiasi) maka kebudayaan itu akan tumbuh dan maju. Bila kebudayaan berkawan secara paksa dapat mengakibatkan kemunduran, bahkan mungkin kematian (dekadensi kebudayaan). Kebudayaan dapat berkawan dengan kebudayaan lain dan keduanya dapat menghasilkan keturunan. Bila perkawinan kebudayaan secara asosiasi (bercampur tetapi tidak bersatu), maka keturunannya tidak murni disebut campuran atau blesteran. Keturunan kebudayaan seperti ini biasanya tidak bertahan lama dan akan mengalami kemusnahan (dekadensi). Bila kebudayaan kawin secara asimilasi (bersatu) maka keturunannya akan menghasilkan kebudayaan baru yang tumbuh, berkembang, dan maju. Hidup tumbuhnya kebudayaan yang baik adalah yang bebas dan merdeka sesuai kodratnya dan iradatnya. Kebudayaan tumbuh secara evolusi yaitu terus menerus secara berkesinambungan antara budaya di waktu yang lampau, waktu yang berjalan sekarang, dan budaya diwaktu yang akan datang. Bila melalui evolusi tidak memenuhi kehendak bangsa secara keseluruhan (nasional), maka dapat terjadi revolusi kebudayaan yaitu perubahan secara total dan cepat untuk mengembalikan suasana yang normal. Hidup dan tumbuhnya kebudayaan selalu mengandung arti pemeliharaan, memajukan, dan menjunjung tinggi, secara sadar dan insaf, karena itu kebudayaan disebut sebagai kultur yang artinya pemeliharaan.
Ki Jal Atri Tanjung (Dosen Universitas Tamansiswa Padang) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar