Ditulis oleh Teguh |
Minggu, 13 Februari 2011 00:40 |
Dalam satu rapat kaum, adik saya melaporkan kelakuan anaknya yang membuat “mariangik” saja di kampung. Saya tidak akan menceritakan apa kelakuan kemenakan yang membuat mariangik itu karena tentu akan makin membuat mariangik. Lebih baik kita berbicara tentang apa saja yang bisa membuat mariangik kita bersama, mudah-mudahan bisa kita atasi secara bersama pula.
Kita punya bandara internasional bernama Minangkabau sebagai pintu gerbang tamu dan wisatawan, apakah bandara tersebut sudah menunjukkan ruang tamu orang beradat, yang adatnya basandi syara’, syara’nya basandi Kitabullah (ABS-SBK)? Keluar dari ruang terminal, kita malah disambut para calo taxi atau travel dengan tampang dan gaya seakan cari mangsa, bukan yang siap melayani secara beradat. Azan memang berkumandang tiap waktu shalat, tetapi dimana/bagaimana tempat shalatnya? Bandara Minangkabau yang berABS-SBK, kok tempat salatnya begitu dan masjidnya jauh dari ruang tunggu penumpang?
Memasuki Kota Padang, kita akan melalui jalan-jalan yang seperti tak manyudah, menyempit tiap sebentar dan berlubang dimana-mana. Angkutan kotanya seperti tak peduli dengan ketertiban lalu lintas ditambah musik yang memekakkan telinga. Bulalang, tarik pinggang, garetak dan “caruik” adalah bahasa tubuh khasnya para sopir dan stokar di daerah ini.
Pasar yang kumuh, teras toko, trotoir bahkan jalan penuh pedagang kaki lima sudah menjadi pemandangan khas kota ini. Belum lagi teriakan-teriakan pedagang penjual kaset/VCD yang memekakkan telinga dengan lagu-lagu Minang yang makin jorok syairnya. Apa memang kita ingin menunjukkan Padang sebagai kota asal PKL dan tempat training pencopet dan tukang palak di negeri ini?
Walikota bisa berbangga menjambangi Piala Tata Nugraha hampir tiap tahun, tetapi telusurilah jalan-jalan di kota ini tanpa patroli pengawal (PatWal) sebagaiman yang dialami masyarakat sehari-hari, mulai dari jalan Bagindo Aziz Chan, M Yamin, Hiligoo, Pasar Gadang sampai Muara, jalan Permindo, Pemuda, Veteran, Juanda sampai Air Tawar dan Tabing, Thamrin, Sawahan, Simpang Haru, ke Andalas atau Indarung, apakah kita menemukan ketertiban dan kenyamanan berlalu lintas? Padang mungkin satu-satunya kota di dunia yang tidak punya terminal angkutan dalam dan antarkota. Semua gentayangan tak tentu dimana muaranya.
Hotel dan restoran melayani tamu bak pesakitan. Check-in di hotel kita akan disuruh mengisi formulir seakan tamu adalah orang yang butuh. Masuk restoran disambut pelayan yang meneriakkan pesanan pengunjung. Apakah tamu hotel harus diperlakukan sebagai orang yang kemalaman dan pengunjung restoran selalu dianggap orang kelaparan?
Kita bangga dengan segala macam makanan tradisional dan spesifik Minangkabau, tetapi apakah kita sudah bisa menyajikan secara beradat? Betapa banyaknya makanan yang dijajakan dengan “bacilapuik”, baik cara mengolah dan memasaknya, maupun cara menyajikan dan mengemasnya.
Kita mungkin bangga mempertahankan cara-cara primitif seperti itu dengan alasan begitulah yang asli tanpa mempertimbangkan apakah pembeli senang atau tidak. Apa guna semua yang makin banyak diperdagangkan itu tanpa pembeli?
Katanya negeri ini negeri orang beradat dan beragama dan ingin mengembangkan pariwisata sebagai salah satu potensi ekonomi dengan keindahan alam, keunikan adat dan budayanya, tetapi apakah keindahan alam yang kita punyai sudah ditata secara beradat dan adat apa pula yang kita tunjukkan di tempat-tempat yang indah itu? Jangankan bangsa lain, kita saja belum tentu nyaman menikmati keindahan alam kita. Baru saja datang, kita akan langsung berhadapan dengan tukang parkir liar yang main pakuak saja.
Restoran dan rumah makan yang enak dan nyaman atau souvenir yang unikpun masih langka di tempat-tempat wisata negeri beradat ini, yang banyak justru pondok goyoh bertenda plastik, warung-warung kelambu dan anak-anak menjajakan souvenir murahan dari daerah lain. Tidak semua tempat wisata tersedia WC yang bersih, pada hal dimana-mana terpampang billboard bertuliskan “kebersihan itu sebagian dari iman”. Apa lagi masjid dan mushala, merupakan hal yang langka di tempat-tempat wisata negeri beradat dan beragama ini. Bagaimana maksiat tak akan berkembang. Apakah keunikan-keunikan yang membuat mariangik itu yang mau kita sajikan kepada para pendatang?
(HISY Dt Rangkayo Basa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar