HAJIZAR, ETNOMUSIKOLOG Lagu pop Minang belakangan marak dengan ganre rap. Kadang, dalam satu lagu menggunakan tiga bahasa. Syairnya sangat instan. Kekuatan teks lagu-lagu Minang berupa pesan, nilai-nilai moral dan sosial, sudah sulit ditemukan. Namun, kalangan seniman musik menilai, hal itu sebuah proses dan kreativitas. Identitas Minang masih kuat. Benarkah? Hajizar, 56 tahun, adalah seorang etnomusikolog, peneliti, dan komposer berbasis etnik (Minang). Sehari-hari ia adalah dosen di ISI Padang Panjang. Berikut petikan wawawanca Haluan seputar musik pop Minang.
Fenomena lagu-lagu Minang yang dibawakan Buset, Mak Itam, Lepoh, dan sejenis ini yang kini banyak beredar di pasaran. Bagaimana komentar Anda? Cukup bervariasi aliran atau gaya lagu-lagu pop Minang semenjak tahun 60-an hingga sekarang. Walaupun setiap gaya lagu itu diawali oleh kreativitas komposer, ternyata selalu ada dukungan atau penikmat dari setiap gaya lagu pop Minang yang muncul tersebut. Sebetulnya munculnya gaya humor yang dibawakan Buset, Mak Itam, atau Mak Lepoh dan artis sealiran lainnya adalah sudah ada embrionya dari komposer senior terdahulu yang lagunya memiliki unsur humor; misalnya lagu “Ginyang Mak Taci” atau “Bapondoh-pondoh” karya Nuskan Syarif, lagu “Lego Pagai”, “Tasarah” atau “Boco Aluih” yang dibawakan Syamsi Hasan, atau lagu “Jawinar”, “Pisau Silet”, “Kiper Maju”, “Dimakan Caciang” oleh Nedi Gampo adalah disenangi oleh banyak masyarakat Minang. Hal di atas menunjukkan bahwa masyarakat Minang memiliki jiwa humor yang cukup tinggi. Bahkan pertunjukan seni tradisional yang memiliki teks humor juga mendapat sambutan yang hangat dari penontonnya, bisa bertahan hidup, malahan berkembang dengan baik di tengah dominasi lagu-lagu populer dewasa ini, misalnya teks humor yang dibawakan oleh kesenian Salawat Talam; atau teks humor lagu “Ginyang”, “Sabatang Tubuah”, “Basulo Basi” dari musik tradisional rabab pasisia sangat memberikan hiburan terhadap penontonnya yang terdiri dari orang muda, orang tua dan anak-anak. Tak ketinggalan pantun-pantun humor yang tersaji dalam pertunjukan dendang saluang sarek. Jiwa humoris masyarakat Minang ini yang ditangkap oleh Buset, Mak Lepoh, dan Mak Itam serta seniman sealiran lainnya yang direalisasikan dalam karya-karya lagu pop Minang yang berbeda gaya dan konsep pertunjukannya bila dibandingkan dengan penyanyi-penyanyi humor sebelumnya. Bedanya, kalau seniman Nuskan Syarif, Syamsi Hasan, dan Nedy Gampo lebih mengandalkan kekuatan humor pada teksnya, sementara Buset, Mak Lepoh, dan Mak Itam mengkombinasikan teks lagu humor itu dengan kekuatan visualnya bak sebuah sajian grup lawak, sehingga unsur pertunjukannya memberikan hiburan yang tinggi. Sudah lama sekali masyarakat Minang merindukan lahirnya kelompok lawak di Sumatera Barat, kombinasi bahasa teks humor suatu lagu dengan pertunjukannya dalam konteks lawak cukup mengobati kerinduan masyarakat Minang terhadap seniman muda lawak tersebut. Pernah ISI melakukan penelitian terkait dengan hal di atas? Kalau pernah, bagaimana hasilnya? Penelitian masalah perkembangan teks atau pantun-pantun lagu pop Minang belum pernah dilakukan oleh para dosen ISI Padang Panjang. Cuma penelitian teks atau pantun-pantun dendang saluang darek yang bernuansa pornografi pernah dilakukan oleh beberapa dosen ISI Padang Panjang, seperti Andar Indra Sastra, Hartati, dan Erlinda yang menghubungkannya dengan masalah eksistensi perempuan pendendang Saluang Darek itu sendiri di tengah masyarakat Minang yang berasaskan adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Selain itu, prosesnya juga sangat instan. Lagu Minang yang dihasilkan saat ini juga terkesan asal jadi. Dan ini juga sangat merebak di pasaran. Apa komentar Anda? Suatu proses karya seni itu memang cukup beragam latar belakangnya. Ada lahirnya karya seni setelah melalui perenungan panjang, atau menunggu ilham yang turun, dan terdapat pula suatu karya seni itu diulang-ulang membongkarnya bebeberapa kali sehingga memakan waktu yang cukup lama hingga dirasa final oleh senimannya. Agus Thaher pernah bilang sama saya, bahwa karyanya lagu “Pusaro Mimpi” dan “Rinai Pambasuah Luko” cukup memakan waktu lama hingga finishingnya. Setelah kedua lagu ini dibawakan oleh artis Zalmon, ternyata karya Agus Thaher ini yang merubah peta gaya lagu Pop Minang dari priode sebelumnya. Kebalikan dari di atas, terdapat juga suatu lagu yang tercipta dalam tempo waktu super-instan, sebagaimana lagu “Apanya Dong” karya Titik Puspa yang kononnya terpaksa diciptakan untuk mencukupkan durasi kaset yang akan dilempar ke pasaran, ternyata meledak di persada Nusantara. Kenyataannya juga ada komposer yang terkesan berkarya asal jadi menurut pendangan pengamat musik, namun bagi konsumen pasar tidak pernah terpikir oleh mereka tentang bagaimana asal-muasal suatu lagu itu diciptakan oleh komposernya, tetapi asalkan suatu lagu pop Minang itu menyentuh jiwa hiburannya maka kaset lagu tersebut akan tersebut akan dikonsumsinya. Berapa banyak lagu pop Minang yang dianggap memenuhi standar umum jiwa Minang yang diciptakan oleh para komposer dengan penuh pertimbangan, kenyataannya tidak laku di pasaran. Artinya memang selera pasar sulit diduga yang sangat relatif hubungannya dengan proses penciptaan dan hasil penciptaan dengan selera penikmatnya. Namun demikian, lagu-lagu yang terkesan asal jadi itu, juga diterima masyarakat. Apakah memang demikian tingkat apresiasi masyarakat? Sejatinya masalah apresiasi masyarakat tidak dapat dipukul rata, bahwa setiap aliran atau gaya lagu tertentu akan disenangi oleh kalangan masyarakat tertentu pula. Sementara itu tingkat apresiasi kalangan masyarakat itu juga sangat dipengaruhi oleh tradisi sosial-budaya dan suasana lingkungan mereka masing-masing. Misalnya kalangan masyarakat yang didominasi kesenangannya terhadap dendang saluang darek akan lebih suka menikmati lagu pop Minang yang beraliran dendang taruna, seperti lagu-lagu karya baru yang dinyanyikan artis Mis Ramolai, Melati, ataupun Asben. Dan mereka ini hanya lagu-lagu Pop Minang standar tertentu saja yang dikonsumsinya, seperti “Kasiak Tujuah Muaro”, “Ratok Ka Payuang Kuniang” dan sebagainya. Namun yang menjadi catatan di sini ialah bahwa para komposer lagu pop Minang dan seniman pengaransirnya cukup memiliki kesempatan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat Minang melalui karya-karyanya yang bersifat kreatif. Walaupun gaya slow rock pop Minang karya terakhir Agus Thaher cukup memberi harapan untuk menyela gaya ratok pop Minang yang dilakoni oleh Zalmon, atau Ucok Sumbara, tetapi masih belum bisa mengubah peta lagu pop Minang standar di era 90-an ini beranjak dari khas ratoknya. Tanpa kenakalan/kedinamisan kreativitas komposer pop Minang untuk berani meluncurkan khas Pop Minang standar yang baru yang mana tahu bisa menukar priode ratok Pop Minang, karena dengan peluncuran jumlah karya lagu-lagu pop Minang yang eksperimen itu seperti halnya waktu munculnya pencipta lagu Agus Thaher tersebut. Kekuatan lagu-lagu Minang itu pada syair dan nilai-nilai sosial dan masyarakat, hal demikian itu tak terlihat lagi pada saat sekarang? Bersumber dari lagu-lagu pop Minang yang beredar yang saya amati, ternyata cukup berbilang banyaknya nomor-nomor lagu pop Minang yang berangkat dari resepsi nilai-nilai sosial masyarakat yang dilahirkan dengan teks/seni kata yang berunsur vokabuler kata-kata/kalimat sastra pasambahan Minang, tetapi oleh karena masih membawakan konsep gaya ratok Pop Minang yang sudah cukup panjang masa tahun kepopulerannya menguasai pasar, mengakibatkan lagu-lagu karya baru itu sudah dianggap biasa saja dan tidak berprospek untuk meledak di pasaran. Sebetulnya pencinta lagu pop Minang standar masih tetap mencari dan menseleksi lagu-lagu yang dianggap bagus teks dan melodi, serta aransemen musiknya, walaupun hanya sekadar untuk menambah koleksi pribadinya. Tidak terlihatnya lagu-lagu pop Minang yang memiliki syair (teks) yang puitis dengan melodi lagu yang cukup menarik adalah karena era ini sedang dikuasai oleh jenis lagu-lagu Minang humor dengan pertunjukannya dalam konsep lawak oleh Mak Lepoh, Buset, Mak Itam dan lain-lainnya. Apakah hal ini sebagai tuntutan dari pasar atau produser atau memang penyanyi/pencipta itu sendiri? Betul tuntutan pasar sangat menentukan jumlah peredaran kaset rekaman, karena masyarakat membutuhkan warna lagu dan musik yang baru untuk dinikmatinya, dan sudah terlalu lama mereka disuguhi oleh ratapan lagu dan garinyiak bansi. Dalam hal ini, produser berposisi sebagai “titian aia polongan asok” antara komposer dan masyarakat penikmat untuk memenuhi kebutuhan pasar. Produser akan melipatgandakan jumlah eksemplar kasetnya bila suatu gaya lagu sedang digandrungi masyarakat dan akan meminimalkan jumlah produksinya bila masyarakat sudah kurang mengkonsumsi suatu gaya lagu pop Minang tersebut. Tetapi walaupun demikian, biasanya secara berkala produser akan tetap melempar produksi kaset pop Minang standar sebagai membuktikan konsistensinya bergerak sebagai produser rekaman sambil menunggu keajaiban munculnya aliran atau gaya Pop Minang yang baru yang akan merobah peta penikmatan lagu pop Minang masya-rakat itu sendiri. Begitu juga sang komposer lagu pop Minang standar saya rasa cukup konsisten dengan alirannya masing-masing. Apakah dengan maraknya lagu-lagu Minang yang serba instan itu, sebagai indikator merosotnya nilai-nilai kebudayaan Minang secara umum? Indikasi ini juga ada benarnya, karena mayoritas generasi muda sekarang, baik di kampung atau di kota, apalagi di rantau adalah membutuhkan apresiasi tentang seni budaya Minang. Generasi Minang dahulu pergi merantau ke kota, atau pergi sekolah ke daerah lain setelah mereka belajar mengaji di surau, belajar silat dan talempong di sasaran, atau belajar saluang, bansi, dendang dan rabab di pondok tandangan. Modal Minang sewaktu kecil dan remaja ini sudah barang tentu akan mempengaruhi tingkat kemerosotan budaya Minang itu sendiri. Apa upaya yang mesti dilakukan agar syair-syair lagu Minang kembali kepada jatidirinya lagi? Salah satu upaya yang dirasa cukup ideal ialah memberdayakan pembelajaran pantun dan pepatah-petitih yang sesuai dengan tataran umur anak didik pada tingkat SD, SMP, dan SMA sebagai materi sastra muatan lokal. Apresiasi ini yang sangat dibutuhkan yang diprediksi bernilai positif terhadap penikmatan sastra para remaja Minangkabau. ISI sebagai lembaga yang terkait erat dengan seni, apa langkah yang akan dilakukan? Dalam kurikulum jurusan Karawitan sudah diisi dengan mata kuliah Sastra Minangkabau, dan semua repertoar dendang: dendang saluang darek, dendang saluang sirompak, dendang saluang panjang, dendang saluang pauah, dan dendang musik tari lainnya sudah implisit didalamnya tentang kekayaan sastra Minang tersebtu yang bisa menjadi kekayaan mereka untuk berkreativitas di masa depan. Pewawancara Nasrul Azwar |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar