MINGGU, 19 JUNI 2011, 20:54 WIB
Syahid LatifVIVAnews - Lagi, satu tenaga kerja Indonesia dihukum mati di Arab Saudi pada Sabtu, 18 Juni 2011. Hukum pancung terhadap perempuan bernama Ruyati binti Satubi (54 tahun) menambah panjang daftar pekerja asal Indonesia yang harus mengakhiri hidupnya di negara tempat mereka mencari nafkah.
Pemancungan Ruyati betul-betul membuat kaget berbagai pihak. Keluarga korban yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, baru mendapat kabar setelah hukuman dieksekusi.
Keluarga almarhumah, selama ini, dengan susah payah mencari kabar tentang nasibnya di negeri orang. "Kalau saya tidak kasak-kusuk sendiri, mana mungkin saya bisa tahu perkembangan ibu saya yang diadili di sana," kata puteri Ruyati, Een Nuraeni, kepada VIVAnews.com, Minggu, 19 Juni 2011.
Ruyati pertama kali menjadi TKI sekitar tahun 1999. Pada keberangkatan pertama itu, nenek dengan tujuh orang cucu dari tiga anak ini sempat bekerja di Madinah, Arab Saudi, selama lima tahun. Setelah pulang, dia kembali mengadu nasib ke Arab Saudi dan bekerja selama enam tahun. Terakhir, dia bekerja di negeri kaya minyak tersebut selama satu tahun empat bulan, sebelum pedang algojo memisahkan kepala dari tubuhnya.
Ruyati menjadi TKI pada awalnya didorong oleh tekadnya untuk membiayai salah satu anaknya sekolah perawat. Dia lalu berangkat lagi yang kedua kali dengan niat mencari uang untuk membelikan angkot bagi Iwan Setiawan, anaknya yang lain.
Saat akan berangkat lagi yang ketiga kali, pihak keluarga sebenarnya sudah meminta Ruyati--yang sudah bercerai dengan suaminya--untuk mengurungkan niatnya. Namun, dengan alasan tidak mau menyusahkan anak-anaknya di masa tua, dia kukuh terbang kembali ke Tanah Arab. Kisah Ruyati selengkapnya, baca di sini.
Membela diri
Namun, takdir berkata lain. Keberangkatan Ruyati yang ketiga kali, untuk mengais nafkah, berakhir dengan maut. Dia didakwa membunuh majikannya bernama Khairiyah Majlad.
Dari informasi yang diterima keluarga, sejak awal bekerja pada majikannya, Ruyati kerap disiksa. "Bahkan, waktu tiga bulan pertama kaki ibu saya patah. Tapi dia tidak dibawa ke rumah sakit dan hanya dirawat oleh anak majikannya yang juga seorang dokter," ungkap Een.
Berdasarkan kabar dari teman sesama TKI, kaki Ruyati patah tak lain akibat penganiayaan sang majikan. "Saya yakin ibu saya tidak bersalah. Dia hanya membela diri," ucap Een sambil mengusap air matanya.
Pembelaan yang sama disampaikan oleh Direktur Advokasi Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care), Nining Johar. Menurutnya, tuduhan terhadap Ruyati tidak bisa diterima begitu saja. Bahkan, Migrant Care yakin, Ruyati merupakan salah satu korban kekerasan oleh majikan.
"Sebenarnya yang jahat itu pihak mertuanya. Mertuanya (Khairiyah Majlad) yang diberitakan lumpuh sebenarnya tidak lumpuh, karena dia sebenarnya yang jahat," ujar Nining.
Dia menceritakan, selama bekerja di rumah majikannya tersebut, kekerasan kerap dialami Ruyati, di antaranya tidak memperoleh makan dan minum ketika berbuka puasa. Ruyati pernah masuk rumah sakit karena terluka di kakinya.
Hal serupa diutarakan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat. Lembaga pemerintah ini menduga, Ruyati nekat membunuh karena selama ini kerap dianiaya.
"Dalam persidangan Ruyati sempat mengaku sering dianiaya secara fisik, sehingga pada akhirnya dia melawan, yang berujung jatuhnya korban pada majikan perempuannya," kata Jumhur.
Akibat perbuatannya, TKI asal Bekasi ini pun divonis hukuman pancung di Arab Saudi. Dia dinyatakan terbukti membunuh majikannya pada 12 Januari 2010 dengan kejam, yakni menusukkan pedang berkali-kali ke tubuh korban. Di depan pengadilan, Ruyati mengakui perbuatannya.
Pemerintah teledor?
Ruyati pertama kali menjadi TKI sekitar tahun 1999. Pada keberangkatan pertama itu, nenek dengan tujuh orang cucu dari tiga anak ini sempat bekerja di Madinah, Arab Saudi, selama lima tahun. Setelah pulang, dia kembali mengadu nasib ke Arab Saudi dan bekerja selama enam tahun. Terakhir, dia bekerja di negeri kaya minyak tersebut selama satu tahun empat bulan, sebelum pedang algojo memisahkan kepala dari tubuhnya.
Ruyati menjadi TKI pada awalnya didorong oleh tekadnya untuk membiayai salah satu anaknya sekolah perawat. Dia lalu berangkat lagi yang kedua kali dengan niat mencari uang untuk membelikan angkot bagi Iwan Setiawan, anaknya yang lain.
Saat akan berangkat lagi yang ketiga kali, pihak keluarga sebenarnya sudah meminta Ruyati--yang sudah bercerai dengan suaminya--untuk mengurungkan niatnya. Namun, dengan alasan tidak mau menyusahkan anak-anaknya di masa tua, dia kukuh terbang kembali ke Tanah Arab. Kisah Ruyati selengkapnya, baca di sini.
Membela diri
Namun, takdir berkata lain. Keberangkatan Ruyati yang ketiga kali, untuk mengais nafkah, berakhir dengan maut. Dia didakwa membunuh majikannya bernama Khairiyah Majlad.
Dari informasi yang diterima keluarga, sejak awal bekerja pada majikannya, Ruyati kerap disiksa. "Bahkan, waktu tiga bulan pertama kaki ibu saya patah. Tapi dia tidak dibawa ke rumah sakit dan hanya dirawat oleh anak majikannya yang juga seorang dokter," ungkap Een.
Berdasarkan kabar dari teman sesama TKI, kaki Ruyati patah tak lain akibat penganiayaan sang majikan. "Saya yakin ibu saya tidak bersalah. Dia hanya membela diri," ucap Een sambil mengusap air matanya.
Pembelaan yang sama disampaikan oleh Direktur Advokasi Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care), Nining Johar. Menurutnya, tuduhan terhadap Ruyati tidak bisa diterima begitu saja. Bahkan, Migrant Care yakin, Ruyati merupakan salah satu korban kekerasan oleh majikan.
"Sebenarnya yang jahat itu pihak mertuanya. Mertuanya (Khairiyah Majlad) yang diberitakan lumpuh sebenarnya tidak lumpuh, karena dia sebenarnya yang jahat," ujar Nining.
Dia menceritakan, selama bekerja di rumah majikannya tersebut, kekerasan kerap dialami Ruyati, di antaranya tidak memperoleh makan dan minum ketika berbuka puasa. Ruyati pernah masuk rumah sakit karena terluka di kakinya.
Hal serupa diutarakan Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat. Lembaga pemerintah ini menduga, Ruyati nekat membunuh karena selama ini kerap dianiaya.
"Dalam persidangan Ruyati sempat mengaku sering dianiaya secara fisik, sehingga pada akhirnya dia melawan, yang berujung jatuhnya korban pada majikan perempuannya," kata Jumhur.
Akibat perbuatannya, TKI asal Bekasi ini pun divonis hukuman pancung di Arab Saudi. Dia dinyatakan terbukti membunuh majikannya pada 12 Januari 2010 dengan kejam, yakni menusukkan pedang berkali-kali ke tubuh korban. Di depan pengadilan, Ruyati mengakui perbuatannya.
Pemerintah teledor?
Kontan saja, eksekusi hukuman mati atas Ruyati membuat banyak pihak meradang. Migrant Care dengan lantang menilai pemerintah telah teledor melindungi warganya. Alasannya, Migrant Care pernah memperingatkan pemerintah mengenai proses hukum Ruyati sejak Maret 2011.
Menanggapi tudingan tersebut, Jumhur membantah pemerintah lamban bergerak untuk mencegah eksekusi hukum pancung. Menurut dia, pemerintah melalui Konsulat Jenderal RI di Jeddah telah berupaya keras agar Ruyati tidak dihukum mati, dengan meminta agar lembaga pengampunan (lajnatul afwu) membebaskannya. Namun, keluarga korban bersikeras tidak mau memaafkannya.
"Hukum di Saudi Arabia memang demikian adanya, bila seseorang membunuh maka pengadilan akan menjatuhkan hukuman mati sampai keluarga korban memberi maaf untuk tidak dihukum mati. Kami sudah berusaha, tapi belum mampu menembus rigiditas sistem hukuman mati di Saudi Arabia," jelas Jumhur.
Apapun alasannya, pemancungan Ruyati kembali membunyikan alarm tentang perlindungan hukum bagi TKI di luar negeri. Apalagi, Migrant Care mencatat masih ada 26 TKI lain di Arab Saudi yang juga telah divonis mati pengadilan setempat.
Menanggapi tudingan tersebut, Jumhur membantah pemerintah lamban bergerak untuk mencegah eksekusi hukum pancung. Menurut dia, pemerintah melalui Konsulat Jenderal RI di Jeddah telah berupaya keras agar Ruyati tidak dihukum mati, dengan meminta agar lembaga pengampunan (lajnatul afwu) membebaskannya. Namun, keluarga korban bersikeras tidak mau memaafkannya.
"Hukum di Saudi Arabia memang demikian adanya, bila seseorang membunuh maka pengadilan akan menjatuhkan hukuman mati sampai keluarga korban memberi maaf untuk tidak dihukum mati. Kami sudah berusaha, tapi belum mampu menembus rigiditas sistem hukuman mati di Saudi Arabia," jelas Jumhur.
Apapun alasannya, pemancungan Ruyati kembali membunyikan alarm tentang perlindungan hukum bagi TKI di luar negeri. Apalagi, Migrant Care mencatat masih ada 26 TKI lain di Arab Saudi yang juga telah divonis mati pengadilan setempat.
Saat ini jumlah TKI di Arab Saudi mencapai sekitar 1,5 juta orang. Sekitar 90 persen adalah TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga atau sopir pribadi yang bekerja pada majikan perorangan. Kelompok inilah yang rentan penganiayaan. (kd)
• VIVAnews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar