Dunia pendidikan Sumatra Barat kembali tercoreng, tatkala calon-calon intelektual di dua fakultas di Universitas Andalas (Unand) terlibat tawuran. Aksi memalukan itu dilakoni mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) dengan Fakultas Peternakan, Kamis (16/6) pagi.
Ironisnya pemicu kejadian yang yang mendapat liputan lumayan dari berbagai media cetak dan elektronik, bahkan menjadi headline di pemberitaan hampir semua stasiun televisi swasta nasional itu, boleh diktakan sepele. Hanya karena saling ejek, pasca pertandingan sepakbola antar fakultas.
Cakak banyak tersebut tidak hanya memalukan, karena dilakukan oleh para mahasiswa yang sejatinya adalah calon-calon intelektual, yang akan menjadi penentu masa depan bangsa ini.
Mahasiswa? kata itu masih menjadi impian banyak anak muda di negeri ini. Jadi mahasiswa itu cap intelek, pintar, cerdas, dan keren akan melekat. Apalagi, yang namanya mahasiswa punya tempat yang bagus dalam sejarah perjalanan bangsa ini.
Aksi mahasiswa tahun 1966 saat menumbangkan Orde Lama, plus aksi reformasi tahun 1998 lalu, motor penggeraknya adalah mahasiswa. Bahkan ada yang menyebut, mahasiswa itu dianggap makhluk yang istimewa dan “pahlawan”.
Tapi sekarang, mahasiswa itu lagi melulu jadi buah bibir. Sekarang sudah lazim terdengar ditengah masyarakat mahasisawa jadi bahan omongan yang jelek di masyarakat. Perilaku tak intelek, misalnya terlibat tawuran yang tak jelas ujung pangkalnya menjadi salah satu yang menurunkan brand image positif mahasiswa dimata masyarakat.
Sekarang, mendegar berita tawuran antar mahasiswa bukan hal yang aneh lagi di negeri ini. Bahkan di beberapa daerah, ada semacam rivalitas antar kampus, yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi tawuran massal. Ibarat mau perang, ketika polisi ngegeledah salah satu kampus pelaku tawuran, disana ditemukan bom molotov dan narkoba.
Yang lebih memilukan jika tawuran itu terjadi bukan hanya ngelawan anak-anak yang beda kampus, tapi dengan yang sekampus sah-sah saja. Seperti yang terjadi di Unand itu. Ibarat main bola, dalam tawuran juga berlaku partai “derby”, yakni tawuran antar mahasiswa satu kampus.
Pertanyaannya, kenapa sekarang begitu mudah terjadi tawuran antar mahasiswa itu. Padahal itu hanya gara-gara masalah sepele akibat saling ejek pertandingan bola. Yang lebih parah ada tawuran yang dipicu oleh cinta segitiga diantara dua kampus itu.
Tidak terima diselingkuhi kekasih hati, hati menjadi panas. Ujung-ujungnya batu melayang dan pukulan bertubi-tubi mendarat di wajah. Betul, cinta butuh pengorbanan, tapi rasanya tak perlu diwarnai dengan darah, apalagi pakai batu.
Kesimpulannya, apapun alasannya tawuran mahasisawa adalah sesuatu yang tak bisa dibenarkan. Itu jelas bukan teladan yang baik dari komunitas berlabel mahasiswa.
Seharusnya, dengan usia makin dewasa, dan jenjang pendidikan makin tinggi, seseorang akan semakin bijak dan dewasa dalam berfikir bertindak. Ibarat ilmu padi, seorang mahasiswa yang makin tinggi ilmunya, akan semakin merunduk.
Memang tidak semua mahasiswa yang gampang tersulut emosional dan tawuran, masih banyak yang baik dan memakai akal sehatnya ketika menghadapi masalah. Kita percaya yang namnya tawuran itu jumlahnya hanya sedikit. Tapi seperti kata pepatah; akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena perbuatan segelintir orang, nama baik mahasiswa jadi ternoda.
Padahal banyak mahasiswa yang ingin dianggap paling vokal, kritis, ikut memikirkan dan membela rakyat jelata. Semuanya bisa jadi omong kosong, kalau mahasiswanya sendiri berperilaku brutal. Bagaimana mau memikirkan rakyat kalau kampus sendiri diacak-acak dan kuliah bolos karena ikut tawuran.
Akibat paling buruk, lama-lama masyarakat bakal makin tak percaya dan bersikap skeptis pada mahasiswa. Hujatan dan pandangan sinis bakal datang dengan sendirinya, jika mahasiswa tak bisa menjaga kebanggaan yang pernah mereka catatkan dalam sejarah bangsa ini.(*)
Ironisnya pemicu kejadian yang yang mendapat liputan lumayan dari berbagai media cetak dan elektronik, bahkan menjadi headline di pemberitaan hampir semua stasiun televisi swasta nasional itu, boleh diktakan sepele. Hanya karena saling ejek, pasca pertandingan sepakbola antar fakultas.
Cakak banyak tersebut tidak hanya memalukan, karena dilakukan oleh para mahasiswa yang sejatinya adalah calon-calon intelektual, yang akan menjadi penentu masa depan bangsa ini.
Mahasiswa? kata itu masih menjadi impian banyak anak muda di negeri ini. Jadi mahasiswa itu cap intelek, pintar, cerdas, dan keren akan melekat. Apalagi, yang namanya mahasiswa punya tempat yang bagus dalam sejarah perjalanan bangsa ini.
Aksi mahasiswa tahun 1966 saat menumbangkan Orde Lama, plus aksi reformasi tahun 1998 lalu, motor penggeraknya adalah mahasiswa. Bahkan ada yang menyebut, mahasiswa itu dianggap makhluk yang istimewa dan “pahlawan”.
Tapi sekarang, mahasiswa itu lagi melulu jadi buah bibir. Sekarang sudah lazim terdengar ditengah masyarakat mahasisawa jadi bahan omongan yang jelek di masyarakat. Perilaku tak intelek, misalnya terlibat tawuran yang tak jelas ujung pangkalnya menjadi salah satu yang menurunkan brand image positif mahasiswa dimata masyarakat.
Sekarang, mendegar berita tawuran antar mahasiswa bukan hal yang aneh lagi di negeri ini. Bahkan di beberapa daerah, ada semacam rivalitas antar kampus, yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi tawuran massal. Ibarat mau perang, ketika polisi ngegeledah salah satu kampus pelaku tawuran, disana ditemukan bom molotov dan narkoba.
Yang lebih memilukan jika tawuran itu terjadi bukan hanya ngelawan anak-anak yang beda kampus, tapi dengan yang sekampus sah-sah saja. Seperti yang terjadi di Unand itu. Ibarat main bola, dalam tawuran juga berlaku partai “derby”, yakni tawuran antar mahasiswa satu kampus.
Pertanyaannya, kenapa sekarang begitu mudah terjadi tawuran antar mahasiswa itu. Padahal itu hanya gara-gara masalah sepele akibat saling ejek pertandingan bola. Yang lebih parah ada tawuran yang dipicu oleh cinta segitiga diantara dua kampus itu.
Tidak terima diselingkuhi kekasih hati, hati menjadi panas. Ujung-ujungnya batu melayang dan pukulan bertubi-tubi mendarat di wajah. Betul, cinta butuh pengorbanan, tapi rasanya tak perlu diwarnai dengan darah, apalagi pakai batu.
Kesimpulannya, apapun alasannya tawuran mahasisawa adalah sesuatu yang tak bisa dibenarkan. Itu jelas bukan teladan yang baik dari komunitas berlabel mahasiswa.
Seharusnya, dengan usia makin dewasa, dan jenjang pendidikan makin tinggi, seseorang akan semakin bijak dan dewasa dalam berfikir bertindak. Ibarat ilmu padi, seorang mahasiswa yang makin tinggi ilmunya, akan semakin merunduk.
Memang tidak semua mahasiswa yang gampang tersulut emosional dan tawuran, masih banyak yang baik dan memakai akal sehatnya ketika menghadapi masalah. Kita percaya yang namnya tawuran itu jumlahnya hanya sedikit. Tapi seperti kata pepatah; akibat nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena perbuatan segelintir orang, nama baik mahasiswa jadi ternoda.
Padahal banyak mahasiswa yang ingin dianggap paling vokal, kritis, ikut memikirkan dan membela rakyat jelata. Semuanya bisa jadi omong kosong, kalau mahasiswanya sendiri berperilaku brutal. Bagaimana mau memikirkan rakyat kalau kampus sendiri diacak-acak dan kuliah bolos karena ikut tawuran.
Akibat paling buruk, lama-lama masyarakat bakal makin tak percaya dan bersikap skeptis pada mahasiswa. Hujatan dan pandangan sinis bakal datang dengan sendirinya, jika mahasiswa tak bisa menjaga kebanggaan yang pernah mereka catatkan dalam sejarah bangsa ini.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar