DI masa lalu Pasar Raya Padang merupakan pusat perekonomian. Ribuan orang menggantungkan nasibnya berdagang di sini. Pasar raya bahkan menjadi tempat perputaran uang terbesar di Sumatra Barat. Tidak hanya pedagang, pemilik jasa transportasi juga menggantungkan hidup di sana. Terminal Goan Hoat mewarnai denyut perekonomian masyarakat.
Ratusan kendaraan hilir mudik keluar masuk pasar mengantar dan menaikkan penumpang. Begitu setiap harinya. Pasar raya menjadi tempat menggantungkan nasib banyak orang. Tukang jual obat, buruh angkat, anak-anak menjual kantong plastik dan menyemir sepatu menambah hiruk pikuknya pasar raya.
Sejak Terminal Goan Hoat beralih fungsi menjadi pusat perbelanjaan, suasana pasar raya mulai berubah. Terminal tidak ada lagi, denyutnya semakin lama kian lemah. Kondisinya terus bertambah menyedihkan manakala gempa 30 September 2009 meluluhlantakkan beberapa wilayah di Sumbar. Pasar Raya Padang tak luput berantakan. Gempa pula yang membuah kondisi pasar kebanggan masyarakat Padang itu jadi kritis. Banyak bangunannya yang rusak, pedagang kehilangan tempat berusaha. Suasana pasar semrawut.
Sudah menjadi tipikal pedagang, kalau beruntung besar tidak disebut. Tapi kalau rugi sedikit saja, ributnya minta ampun.
Awal-awalnya, Pemko Padang membangun kios darurat untuk pedagang Pasar Raya Inpres I. Kebijakan baru itu, kemudian ditentang pedagang. Namun, dalam perjalananya, pedagang tidak satu suara menyuarakan penolakan itu, sebab ada juga dari mereka menyutujui pembangunan kios darurat.
Timbul gejolak. Pedagang berunjuk rasa menolak, sementara sebagain lagi mendukung. Lama-lama suara menolak tenggelam di tengah kesemrautan pasar.
Pasar semakin sepi karena tidak lagi representatif. Kalau hujan banjir, kalau angin kencang was-was. Pembeli malas ke pasar raya karena sudah pengap dan tidak nyaman lagi.
Akibatnya bermunculan pasar kaget di komplek perumahan, di pinggir jalan dan beberpa titik lainnya. Kehadiran pasar kaget semakin meminggirkan pasar raya.
Seiring perjalanan waktu, Pasar Inpres I pascagempa selesai dibangun. Seharusnya ini menjadi awal bangkitnya kembali perekonomian di sana. Lagi-lagi terjadi penolakan. Ada sebagian pedagang menolak dikembalikan ke Pasar Inpres I karena dianggap biayanya terlalu mahal. Mereka tetap memilih berdagang di kios darurat.
Belum usai persoalan hitung-hitung nilai sewa Pasar Inpres I, tim forensik kelayakan Pasar Inpres II, III dan IV mengeluarkan hasil kalau kondisinya tidak layak.
Pasar Inpres itu harus dirobohkan dan dibangun kembali. Akan halnya rencana ini, pedagang menolak dirobohkannya bangunan itu.
Sebenarnya, kalaulah benar hasil kajian itu, seharusnya pedagang mau dilakukan perobohkan dan pembangunan kembali. Hanya saja yang ditakutkan harganya mahal seperti Inpres I, lalu lapak menjadi sempit dan tidak jelas peruntukkanya. Banyak pedagang dadakan yang tidak terdaftar, tahu-tahu sudah muncul di sana.(*)
Ratusan kendaraan hilir mudik keluar masuk pasar mengantar dan menaikkan penumpang. Begitu setiap harinya. Pasar raya menjadi tempat menggantungkan nasib banyak orang. Tukang jual obat, buruh angkat, anak-anak menjual kantong plastik dan menyemir sepatu menambah hiruk pikuknya pasar raya.
Sejak Terminal Goan Hoat beralih fungsi menjadi pusat perbelanjaan, suasana pasar raya mulai berubah. Terminal tidak ada lagi, denyutnya semakin lama kian lemah. Kondisinya terus bertambah menyedihkan manakala gempa 30 September 2009 meluluhlantakkan beberapa wilayah di Sumbar. Pasar Raya Padang tak luput berantakan. Gempa pula yang membuah kondisi pasar kebanggan masyarakat Padang itu jadi kritis. Banyak bangunannya yang rusak, pedagang kehilangan tempat berusaha. Suasana pasar semrawut.
Sudah menjadi tipikal pedagang, kalau beruntung besar tidak disebut. Tapi kalau rugi sedikit saja, ributnya minta ampun.
Awal-awalnya, Pemko Padang membangun kios darurat untuk pedagang Pasar Raya Inpres I. Kebijakan baru itu, kemudian ditentang pedagang. Namun, dalam perjalananya, pedagang tidak satu suara menyuarakan penolakan itu, sebab ada juga dari mereka menyutujui pembangunan kios darurat.
Timbul gejolak. Pedagang berunjuk rasa menolak, sementara sebagain lagi mendukung. Lama-lama suara menolak tenggelam di tengah kesemrautan pasar.
Pasar semakin sepi karena tidak lagi representatif. Kalau hujan banjir, kalau angin kencang was-was. Pembeli malas ke pasar raya karena sudah pengap dan tidak nyaman lagi.
Akibatnya bermunculan pasar kaget di komplek perumahan, di pinggir jalan dan beberpa titik lainnya. Kehadiran pasar kaget semakin meminggirkan pasar raya.
Seiring perjalanan waktu, Pasar Inpres I pascagempa selesai dibangun. Seharusnya ini menjadi awal bangkitnya kembali perekonomian di sana. Lagi-lagi terjadi penolakan. Ada sebagian pedagang menolak dikembalikan ke Pasar Inpres I karena dianggap biayanya terlalu mahal. Mereka tetap memilih berdagang di kios darurat.
Belum usai persoalan hitung-hitung nilai sewa Pasar Inpres I, tim forensik kelayakan Pasar Inpres II, III dan IV mengeluarkan hasil kalau kondisinya tidak layak.
Pasar Inpres itu harus dirobohkan dan dibangun kembali. Akan halnya rencana ini, pedagang menolak dirobohkannya bangunan itu.
Sebenarnya, kalaulah benar hasil kajian itu, seharusnya pedagang mau dilakukan perobohkan dan pembangunan kembali. Hanya saja yang ditakutkan harganya mahal seperti Inpres I, lalu lapak menjadi sempit dan tidak jelas peruntukkanya. Banyak pedagang dadakan yang tidak terdaftar, tahu-tahu sudah muncul di sana.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar