TAUFIK EFFENDI
Terbatasnya kue anggaran, maka kondisi keuangan daerah memang di bibir kebangkrutan.
Rata-rata, hanya 13 persen duit daerah bersumber dari pendapatan asli daerah (PAD), sisanya (87 persen) berasal dari Jakarta (pemerintah pusat) dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Pada 2010, total jumlah duit yang dikucurkan ke daerah hanya Rp403,04 triliun, sedangkan untuk keperluan pemerintah pusat (kementrian dan lembaga dan lain-lain) sekitar Rp699,68 triliun.
Jadi untuk 522 daerah, hanya dijatah 57,5 persen dari total kue anggaran! Itulah pitih untuk keperluan dari Sabang sampai Merauke dengan segerobak urusan. Bagaimana mungkin daerah tak bangkrut.
Fakta inilah yang ditangkap Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), seperti yang diberitakan Singgalang, Senin (4/7).
Diperkirakan 124 daerah akan bangkrut pada dua atau tiga tahun mendatang. Sebabnya, 60 persen anggaran tersedot untuk belanja pegawai.
Sisanya yang amat sedikit itu didistribusikan untuk pembangunan jembatan, irigasi, jalan, belanja modal lainnya, termasuk insentif garin dan guru mengaji serta bantuan sosial bagai.
Kondisi di ambang kebangkrutan ini, setidaknya dapat dilihat dari beberapa perspektif. Pertama, dari perspektif keadilan anggaran; diperlukan reformulasi dana perimbangan mencakup indikator-indikator yang menjadi dasar disusunnya rumus penghitungan anggaran.
Reformulasi dana perimbangan secara menyeluruh diperlukan supaya kue anggaran untuk daerah meningkat lebih signifikan. Pertimbangan kemampuan fiskal daerah, tingkat kemiskinan dan ketertinggalan serta kerawanan terhadap bencana, perlu menjadi indikator utama dalam formula baru penetapan dana perimbangan itu.
Kedua, dari perspektif pengelolaan anggaran; diperlukan introdusir dan rambu-rambu berkenaan dengan postur dan konstruksi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sistem insentif dan, dan sistem reward serta punishment terhadap pelaksanaan dan pengelolaan anggaran di daerah.
Introdusir dan rambu-rambu dimaksud, sebenarnya saban tahun selalu diberikan arahan (guidance) melalui Peraturan Mentri Dalam Negeri (Permendagri).
Tetapi, secara subtansial, pagu tertinggi untuk pengalokasian anggaran pada pos-pos belanja harus diatur tersendiri dengan menerapkan azas efisiensi.
Hal-hal yang bersifat rutinitas, yang semestinya melekat pada gaji yang diterima per bulan, jangan lagi diberi peluang untuk dianggarkan pada program dan kegiatan. Tujuannya agar pemborosan serta duplikasi anggaran dapat dikurangi hingga sekecil mungkin.
Diperlukan pula pengaturan lebih teknis berkenaan dengan pengelolaan keuangan. Saat ini dengan Permendagri 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, melalui kodifikasi rekening belanja, terbuka peluang terjadinya duplikasi penganggaran.
Pada sejumlah program dan kegiatan dapat dimasukkan anggaran operasional, seperti perjalanan dinas, alat tulis kantor, dan belanja pegawai. Karena itu harus dilakukan revisi menyeluruh dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah, sehingga anggaran yang amat terbatas tersebut dapat dimanfaatkan secara lebih efisien.
Sistem insentif, seperti yang diusulkan Fitra juga diperlukan. Tidak saja insentif bagi daerah yang bisa mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau mampu mengurangi belanja pegawai, tetapi juga menyangkut hal lain. Yakni, insentif untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan pembangunan daerah tertinggal.
Ketiga, dari perspektif pegawai pengguna dan pemakai anggaran; diperlukan rasionalisasi jumlah pegawai dan pengurangan pengelola anggaran. Wajar saja, ketika uang kurang, maka jatah makan pun dikurangi. Bahkan, kalau perlu jumlah piring dikurangi.
Membengkaknya belanja pegawai tidak hanya disebabkan besarnya tunjangan daerah (sehingga Fitra menengarai telah terjadi politisasi birokrasi dalam bentuk menambah berbagai tunjangan sebagai hadiah dari dukungan para pegawai dalam Pemilihan Kepala Daerah), tetapi justru jumlah pegawai itu sendiri yang teramat banyak.
Wacana untuk pertumbuhan nol (zero growth) pegawai patut dilaksanakan. Demikian pula wacana pensiun dini buat para pegawai patut didorong supaya terwujud. Tidak haram pula dilakukan moratorium (penghentian sementara) penerimaan pegawai sebagaimana yang mewacana beberapa minggu yang lalu.
Hanya saja, setiap tahun daerah selalu diberi formasi penerimaan pegawai. Pantang pula bagi daerah untuk menolak formasi tersebut, kendati sebenarnya jumlah pegawai sudah amat berlebih.
Sepanjang tiga perspektif tersebut tidak menjadi perhatian untuk perbaikan, maka dapat dipastikan kebangkrutan daerah sudah di depan mata. Tinggal menunggu waktu untuk kolaps.
Akibatnya, ibarat anak perusahaan dari sebuah konglomerasi besar bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), kebangkrutan daerah secara massif akan bermuara pada kebangkrutan induknya. Kebangkrutan NKRI! (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar