MARWAN ZEIN
DI Indonesia kini musim mafia-mafiaan. Maka hadirlah serba macam mafia. Ada mafia pajak, mafia hukum dan mafia peradilan. Terakhir muncul pula mafia Pemilu. Di jalan-jalan raya sudah sejak lama ada mafia prit jigo. Mafia, kelompok penyalahgunaan kewenangan di suatu institusi, untuk maraup keuntungan pribadi atau bersama-sama. Penyalahgunaan wewenang itu biasanya untuk memperkaya diri, atau untuk tujuan lain yang bersifat politis. Wujud operasionalnya sama. Kalau tidak maling yang istilah ‘terhormatnya’ korupsi, mungkin saja kecurangan lain untuk suatu kepentingan. Maka jabatan dan wewenang dimanfaatkan. Setiap mafia memunculkan tokoh sentral, seorang atau lebih. Mafia pajak memunculkan Gayus HP Tambunan, kendati dari dia yang lain pun kecipratan rejeki. Mafia hukum memunculkan Urip Tri Gunawan, Cyrus Sinaga dan lain-lain. Di mafia peradilan antara lain ada Ibrahim dan Syarifuddin. Pada mafia pemilu disebut-sebut Andi Nurpati dan Arsyad Sanusi. Semuanya berbuat curang di institusi masing-masing. Antara mafia hukum dan mafia peradilan nyaris tak beda. Sama-sama memanfaatkan institusi hukum dan peradilan. Nah, Muhammad Nazaruddin yang kini bersembunyi di Singapura, masuk mafia mana? Mungkinkah dia ‘memelopori’ mafia politik? Walau wujudnya korupsi juga, tetapi dia kader parpol besar yang kini berkuasa. Dan menurut dia, hasil korupsinya dibagi-bagi ke tokoh-tokoh politik di DPR yang separtai, dan kepada tokoh-tokoh pimpinan parpol itu sendiri. Begitukah? Dalam tayangan TV One (22/6) pada acara Jakarta Lawyer Club, tokoh-tokoh separpol tak terkesan kesal. Malah berusaha meyakinkan bahwa Nazaruddin ke Singapura benar-benar berobat, yang setelah ‘sembuh’ (?) akan pulang ke Indonesia. Sakit, atau ‘lari’ dari jeratan hukum sebagai konsekuensi perbuatannya? Maka rekan separtai Nazaruddin seolah sepakat dengan sang pembela yang memang ‘diupah’ untuk meminimalkan dosanya.. Tokh Nazaruddin dan Gayus HP Tambunan itu sama-sama ‘maling’. Kendati hasil curian konon dibagi-bagi, tentu saja ditanggapi tawa belagak pilon oleh yang kebagian. Kalau memang iya, kasihan Gayus dan Nazaruddin, terjerumus sendiri. Dosa bersama, ditanggung sendiri. Mafia bak penyakit menular, mewabah ke mana-mana. Ada di berbagai sektor, di bermacam lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia pun bak penyakit kronis tak bisa sembuh, malah semakin menjadi-jadi. Nyaris tak mempan ‘obat’. Korupsi sebagai sasaran utama mafia, anti biotik-nya yang bernama KPK, sudah tak terlalu manjur. Sepertinya kebal obat. Ditindak yang satu, muncul yang lain. Tak ada efek jera. Tak ada ketakutan terhadap sanksi hukum, sementara wadah hukum itu sendiri pun sudah menjadi sarang mafia. Maka negeri ini dikenal sebagai salah satu negara terkorup di muka bumi, dikerubuti beramai-ramai oleh berbagai macam mafia. Tak mustahil akan muncul mafia-mafia baru. Mungkin saja mafia TKI, mafia perbankan, mafia politik yang dipelopori Nazaruddin, mafia kekuasaan, mafia keamanan ketetiban dan entah apa lagi. Bahkan tak mustahil ada pula ‘mafia seks’. Mungkinkah republik ini menjelma menjadi republik mafia, yang penuh dengan berbagai macam mafia? Di republik mafia halal haram tak menjadi pertimbangan. Rasa kasihan pun musnah. Para mafia takkan pernah peduli dengan rakyat yang semakin melarat akibat praktik berbagai macam mafia. Kita berharap, midah-mudahan jangan sampai ada pula “mafia fatwa”. (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar