Ironi benar negeri kita ini, topangan kekuatan norma adat dan legalitas hukum formal nampaknya tidak begitu ampuh menahan munculnya anak jalanan. Tidakkah dalam norma adat kita bahwa anak dan kemenakan sudah ada “penjamin” keberlangsungan hidupnya yakni keluarga dan mamaknya sendiri. Terbesit dalam mamangan adat kita “anak dipangku kamanakan dibimbing”. Sebuah makna yang amat dalam bila diresapi dengan pikiran jernih. Tidak berhenti disitu saja, legalitas-hukum formalpun difondasikan untuk memperkuat kearah “penjaminan” keberlangsungan hidup mereka. Melalui Undang-Undang Dasar 1945, disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Namun kesemuanya menunjukkan ketidakberdayaan.
Persoalan anak jalanan jamak terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang seperti halnya Indonesia begitu juga dengan daerah kita ini. Mereka yang seharusnya masih memerlukan balas kasih sayang, bermain ria dengan anak sebayanya, tapi malahan memiliki kesibukan lain dengan memainkan peran yang seharusnya tidak mereka mainkan, mulai dari menyanyikan lagu-lagu dengan suara yang parau, baju yang kumal tanpa sandal, bahkan sampai kepada anak-anak yang membagikan secarik kertas berisi tentang bagaimana keadaan hidupnya. Kadang-kala, bagi penumpang atau sopir bus misalnya, harus memberikan uang, mulai dari uang recehan sampai uang ribuan sebagai imbalan atas jasa-jasa yang diberikan oleh anak jalanan.
Semuanya berhulu pada ketidakberdayaan kita dalam mengurus anak jalanan ini, mulai dari lingkup keluarga sampai kepada negara. Sebagai unit terkecil, keluarga diharapkan dapat menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang ada dalam keluarga tersebut termasuk anak jalanan. Keadaan ekonomi yang sangat lemah menyebabkan anak menjadi anak jalanan, meminta-meminta di jalan-jalan. Mereka biasanya berasal dari golongan keluarga yang kurang mampu. Keluarga yang hidupnya pas-pasan, gali lobang tutup lobang istilah orang sekarang. Tidak berhenti disitu saja, persoalan ini juga tidak terlepas dari adanya ketidakberdayaan mamak dalam sebuah keluarga.
Sebagai masyarakat Minangkabau, seorang mamak mempunyai fungsi yang sangat penting sekali dalam mengurus kemenakannya. Keprihatinan penulis saat sekarang ini adalah bahwa fungsi mamak dalam sebuah rumahtangga mulai dipertanyakan. Apakah kesemuanya ini disebabkan oleh faktor arus modernisasi, segala-galanya memperlihatkan kecendrungan individualistik sehingga sang mamak tidak tahu-menahu dengan kemenakannya sendiri, atau ada hal lainnya sehingga sang mamak tidak mampu lagi mengurus keluarga serta anak kemenakannya.
Mamak yang seharusnya mengurus anak kemenakannya mulai dari kecil sampai besar, disamping tugas seorang ayah sebagai keluarga serta mengurus kekayaan yang dimiliki oleh suatu keluarga. Seorang mamak dituntut bukan saja mengurus harta benda keluarga akan tetapi juga mampu untuk menuntut kemenakannya ke arah yang baik buat masa depan kemenakannya. Maka tak salah para mamak terdahulu sering menyekolahkan kemenakan bahkan membiayai kebutuhan hidup sang kemenakan. Sekarang pertanyaan kita adalah apakah ada mamak yang seperti ini? Pertanyaan itu, mungkin hanya bisa dijawab oleh seorang yang memangku “jabatan” sebagai mamak tersebut.
Kemudian ketidakberdayaan negara, kalau kita merujuk kepada Undang-Undang Dasar 1945 Bab XIV tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 34 menyebutkan fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Negara seharusnya memberikan solusi dalam memecahkan masalah anak jalanan tersebut. Karena mereka adalah merupakan tanggungjawab negara. Tapi apa boleh buat, kepedulian negara nampaknya belum berpihak kepada anak jalanan.
Sekarang, dengan memperhatikan keadaan anak jalanan yang masih ada di daerah kita ini, ada beberapa hal yang perlu dilakukan, yakni: pertama, pemberdayaan ekonomi lemah. Karena pada umumnya anak-anak jalanan berasal dari keluarga yang berlatar belakang ekonomi lemah. Maka sepatutnya pemerintah memperhatikan keluarga yang ekonominya lemah tersebut. Walaupun selama ini telah ada pemberian bantuan, namun kadangkala belum cukup maksimal untuk menuntaskan permasalahan tersebut.
Untuk tahun 2011 ini anggaran Dinas Sosial misalnya hanya Rp23 miliar. Sebagian besar, sekitar Rp13 miliar sudah dialokasikan untuk Koperasi Usaha Bersama (KUBE). Sekitar Rp17 miliar lainnya diberikan untuk berbagai bantuan kepada fakir miskin, anak yatim dan penyandang cacat sosial lainnya (Haluan, Sabtu 6 Agustus 2011). Maka hanya ada satu jalan ke arah tersebut yakni kesungguhan dari pemerintah hingga permasalahan tersebut dapat diatasi.
Kedua, bagi pemerintah kota/kabupaten jangan ‘memburu’ anak jalanan setiap waktu melalui perangkat Satuan Polisi Pamong Praja. Bahkan ada yang kemudian memenjarakan mereka. Namun dengan memberikan pengajaran, ataupun pelatihan kepada anak jalanan. Pelatihan tersebut haruslah bersifat mendukung kepada peningkatan ekonomi rumah tangga anak jalanan tersebut.
Ketiga, masyarakat janganlah menganggap bahwa anak jalanan tersebut merupakan tanggungjawab keluarga dan negara saja, akan tetapi juga tanggungjawab kita bersama. Maka untuk itu secara bersama-sama dalam elemen masyarakat ini agar dapat merangkul menuntaskan permasalahan anak jalanan tersebut.
Tulisan ini, sesungguhnya sangat dini dan mentah dalam melihat serta mengatasi persoalan anak jalanan. Namun menurut penulis, perlu juga untuk direnungkan dan dilakukan tindakan nyata, bukan melihat anak jalanan ini sebagai sebuah takdir yang sudah ada. Kita harus melihatnya sebagai sebuah persoalan yang harus dituntaskan untuk masa depan nantinya.
Akhirnya kita berharap kepada pemerintah, swasta, BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) agar dapat memberdayakan anak jalanan tersebut. Kemudian ada banyak lembaga yang bisa kita harapkan seperti Badan Amil Zakat, berbagai Ormas (Organisasi Masyarakat), LSM, BUMN dan kalangan swasta sendiri.
Dana Bina Lingkungan yang diwajibkan kepada BUMN dan Swasta lewat Undang-Undang Perseroan Terbatas sangat berpotensi untuk bisa menyelesaikan persoalan anak jalanan. Kenapa tidak, anak-anak inilah nantinya sebagai generasi penerus bangsa Indonesia nantinya. Di tangan merekalah letak kemajuan dan kehancuran dari bangsa ini, mudah-mudahan kita bersama-sama berpikir untuk itu. Wassallam.
UNDRI
(Penulis bekerja di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar