Kalau ada pemimpin yang paling berhak mengeluhkan kondisi sumber daya manusia (SDM) pemerintahan di Sumatera Barat, maka orangnya adalah Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa. Gubernur pertama Provinsi (Daerah Swatantra Tingkat I) Sumatera Barat ini dilantik awal Mei 1958, persis ketika Pergolakan PRRI sedang berkecamuk. Saat itu lebih 90 persen pegawai terlibat mendukung PRRI, pergi “keluar” dan tak lagi masuk kantor. Selain juga ditinggalkan pegawai, sebanyak 12 kabupaten/kota ketika itu pun tidak memiliki kepala daerah.
Namun dengan kondisi minus, di antara dua pergolakan (PRRI dan G30S/PKI), Kaharoeddin yang memimpin Sumatera Barat selama tujuh tahun (1958-1965), meninggalkan banyak ‘buah tangan’. Kaharoeddin berhasil memulihkan stabilitas politik dan ekonomi Sumatera Barat, menghidupkan kembali Universitas Andalas, membangun dan mengoperasikan sekolah-sekolah, membangun gedung kantor gubernur berlantai empat bergonjong (salah satu kantor gubernur termegah di Indonesia waktu itu), dan mendirikan Bank Pembangunan Daerah Sumatera Barat (kini Bank Nagari). Warisannya masih dinikmati generasi sekarang.
Gubernur Kaharoeddin tidak pernah mengeluh apalagi mencari kambing hitam. Ia mengerjakan apa yang dapat dikerjakan, memanfaatkan sumber daya yang ada, merangkul semua potensi, dan memimpin secara amanah. Ia dikenang sebagai gubernur yang jujur, sosok polisi dan pamong yang in optima forma (sosok yang ideal).
Harun Zain (HZ) yang berusia 39 tahun naik menjadi gubernur Sumatera Barat yang kedua (disela Penjabat Gubernur Soepoetro Brotodiredjo setelah Kaharoeddin), pada tahun 1966. Rakyat Sumatera Barat dalam keadaan ‘muno’ akibat PRRI, trauma orang kalah. HZ juga tidak mengeluh. Ia turun ke nagari-nagari, mendengar suara hati dan mengobati mental rakyatnya. Ia benahi infrastruktur, membangun irigasi dan mengusahakan pupuk serta pestisida untuk mengembalikan produksi pertanian sebagai tiang utama ekonomi penduduk. Selama 11 tahun menjadi gubernur, Harun Zain berhasil mengubah Sumatera Barat dari negeri yang porak-poranda akibat perang saudara menjadi salah satu provinsi termaju di Indonesia.
Azwar Anas (AA) meneruskan dan melengkapi success story HZ. AA mendirikan bangunan kemajuan di atas pondasi yang telah diletakkan oleh pendahulunya, memanfaatkan semua SDM pemerintahan yang direkrut oleh HZ, dan membangun kebersamaan. Hasilnya, Sumatera Barat berhasil meraih penghargaan pembangunan nasional Parasamya Purnakarya Nugraha Pelita III (1984), dan merupakan provinsi pertama dan satu-satunya di luar Pulau Jawa yang meraih prestasi tersebut.
Hasan Basri Durin (HBD) yang selanjutnya menjadi orang nomor satu di Sumatera Barat berada seperti situasi mengawini ‘jando angku palo’ –meneruskan pekerjaan orang-orang sukses. Tapi ia tidak kehilangan akal. HBD memelihara dan melanjutkan semua yang baik yang telah dikerjakan oleh dua gubernur terdahulu, lalu mengemasi yang masih terbengkalai atau belum dikerjakan pendahulunya. Ia memperkenalkan konsepsi pembangunan pedesaan pada masa jabatan yang pertama, serta merancang dan melaksanakan konsep outward looking (menoleh keluar) untuk masa jabatan lima tahun kedua. Mendorong investasi dan membuka kesempatan kerja secara signifikan. Di bawah kepemimpinan HBD Sumatera Barat kembali meraih prestasi terbaik nasional: Prayojana Krya Pata Parasamya Purnakarya Nugraha Pelita V (1994). Satu-satunya pula provinsi di luar Jawa yang meraih bukti keberhasilan ini.
Bagaimana Sumatera Barat dipandang orang di bawah kepemimpinan tiga ‘pendekar’ Minang ini, dapat dilihat dari dipilihnya ketiga bekas gubernur itu menjadi menteri kabinet –satu-satunya provinsi yang tiga bekas gubernurnya berturut-turut menjadi menteri.
Reformasi 1998 sempat merembes pada stabilitas politik di Sumatera Barat. Angin perubahan melahirkan konflik, dan seorang Muchlis Ibrahim memilih mundur dari jabatan gubernur ketimbang membiarkan dirinya diobok-obok orang pusat. Demi integritas dan harga diri, katanya. Kita menaruh hormat pada Muchlis. Tapi masa satu-setengah tahun tak cukup untuk menilai prestasinya. Tetapi penerusnya, Zainal Bakar, walaupun hanya menjabat satu periode, cukup banyak juga lekat tangannya. Di antaranya, menuntaskan pembangunan Bandara Ketaping (kini Bandara Internasional Minangkabau), memulai pembangunan fly over Kelok Sembilan, mambangun jalan dua jalur Tabing – Duku, dan sejumlah proyek lainnya.
Last but not least, mau tidak mau, kita harus mengakui masa kepemimpinan Gamawan Fauzi (GF), Gubernur Sumatera Barat pertama yang dipilih langsung oleh rakyat. Walaupun hanya menjabat kurang dari lima tahun, namun banyak buah tangannya bagi Ranah Minang. Ia berhasil menjadikan Sumatera Barat sebagai embarkasi haji, merintis pembangunan Masjid Raya, membuka jalur alternatif Padang – Bukittinggi dengan membuka jalur Sicincin – Malalak, meneruskan pembangunan Kelok Sembilan, serta menyelesaikan fly over Padang By Pass ke BIM. Dan, siapapun orang Minang, kini tentu akan merasa bangga menyaksikan di Jalan Matraman No. 19 Jakarta Pusat telah berdiri gedung 13 lantai dengan mahkota gonjong di puncaknya. Gamawan – Marlis juga menjawab keluhan kelangkaan ulama dengan mengirim 50 anak muda Minang setiap tahun ke Mesir, bahkan membeli sebuah gedung untuk dijadikan asrama mahasiswa Minang di Kairo.
Di luar apa yang diperbuatnya untuk Sumatera Barat, pemerintah nasional pun melihat potensi, kompetensi, dan prestasi GF sehingga Presiden memilihnya sebagai Menteri Dalam Negeri Kabinet Indonesia Bersatu II, sebelum masa jabatannya sebagai gubernur berakhir. GF orang sipil dan orang Minang pertama yang menjadi Mendagri dalam 45 tahun terakhir.
Apa sebenarnya kunci keberhasilan Sumatera Barat dan para gubernurnya itu? Sumbar tidak punya sumber daya alam yang melimpah. Tapi daerah ini sudah diakui sejak lama mempunyai potensi sumber daya manusia yang hebat.
Lalu, apakah itu saja cukup? Tidak, kata Prof. Hendra Esmara, ekonom ahli perencanaan pembangunan dari Universitas Andalas yang diakui nasional bahkan internasional. Dalam seminar perpisahan dengan Gubernur Azwar Anas sekaligus evaluasi tengah tahun Pelita IV Sumatera Barat, Oktober 1987, Hendra Esmara mengungkapkan hasil pengamatannya yang tajam. Bahwa, salah satu kunci sukses pembangunan Sumbar adalah tersedianya sumber daya kepemimpinan (leadership) yang handal dan mampuni. Kekuatan kepemimpinan itulah yang memajukan Sumatera Barat, walaupun daerah ini miskin sumber daya alam. Sebagai pembanding, Hendra juga merujuk sejarah keberhasilan negara Korea dan Jepang.
Sumber daya kepemimpinan Sumatera Barat itu tumbuh dalam budaya Minangkabau. Yaitu pemimpin arif dan bijaksana yang pandai memanfaatkan sumber daya yang ada. Dalam filosofi kepemimpinan Minangkabau, tidak ada manusia yang tidak perguna seperti berbunyi dalam ungkapan: nan buto pahambuih lasuang, nan lumpuah pahalau ayam, nan pakak pelatuihan badia. Kalau dia seorang tukang, maka tukang yang pandai tidak pernah membuang kayu.
Berdasarkan catatan di atas, saya yang naïf ini, terus terang agak bingung membaca pikiran Gubernur Sumatera Barat yang sekarang, Irwan Prayitno (IP). Sampai setahun IP menjadi gubernur, ia masih saja mengeluhkan kualitas sumber daya manusia (SDM) di Pemda Sumatera Barat. Menurutnya, hanya 30 persen pegawai dan pejabat yang berkualitas, yang 70 persen lagi … payah, tak bisa bekerja. Hal itu sudah berkali-kali disampaikan IP, dan masih disebutnya dalam jumpa pers setahun kepemimpinan IP-MK, tanggal 15 Agustus 2011 baru lalu.
Masalahnya sekarang, bagaimana Gubernur IP memanfaatkan SDM yang ada. Sebab, kalau kita mau bicara kualitas SDM, apa yang dihadapi oleh Gubernur HZ, AA, dan HBD takkan banyak berbeda dengan kondisi yang dihadapi IP sekarang. Sama saja yang dihadapi GF sebelumnya. Toh sebagian besar pegawai itu orangnya sama.
Atau Gubernur IP punya gagasan “revolusioner” untuk membenahi masalah kepegawaian ini, maka silahkan lakukan. Tapi kalau tidak atau belum, sebagai rakyat Sumatera Barat, saya mengharapkan Gubernur jeda dulu membicarakan kualitas SDM di kantor gubernur itu. Saya ingin mengingatkan pada foto-foto IP (bersama MK) menyingsingkan lengan baju terpasang di baliho-baliho pada masa kampanye Pilkada 2010 silam. Sebaiknya Gubernur IP segera menyinsingkan lengan baju seperti dalam foto itu. Jangan (lagi) mengeluh, jangan cari kambing hitam, dan bekerjalah sesuai dengan visi dan misi serta janji yang pernah disampaikan.
Saya yakin, kalau dimulai dengan “Bismillah…” dengan niat baik untuk membangun serta memajukan daerah dan kesejahteraan rakyat, rakyat akan mendukung, tak kecuali semua pegawai, baik yang 30 persen maupun yang 70 persen itu. Toh kalau tidak juga bekerja, hanya bicara dan meratapi keadaan yang sudah seperti itu juga, sementara waktu terus berjalan, maka yang rugi adalah daerah dan rakyat. Setahun berarti sudah 20 persen masa jabatan IP-MK terpakai.
Terimakasih. Mohon maaf lahir dan batin. Billahi taufik wal hidayah. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh. (*)
HASRIL CHANIAGO
Tidak ada komentar:
Posting Komentar