Dijebak Jaksa, Saya Tetap Sabar
Nasrun Haroen menggeleng takzim ketika ditanyakan proses awalnya hingga dia ter seret ke kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Padang. Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar itu masih tidak percaya kalau nasibnya akan berujung pada ketuk palu hakim.
“Saya tidak tahu kenapa, saya tidak mengerti kenapa saya dibeginikan,” katanya kepada Singgalang, Senin (22/8).
Terkait kasus dugaan korupsi yang menimpanya kini, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini mengaku sama sekali tidak pernah tahu kalau laporan pertanggungjawaban (LPj) dana MUI Rp500 juta itu belum diselesaikan.
“Surat peringatan terkait belum diselesaikannya LPj tersebut tidak pernah sampai ke tangan saya. Saya tidak tahu menahu tentang LPj, saya anggap sudah beres. Makanya saya santai saja ketika dipanggil kejaksaan pada Agustus 2010 lalu,” katanya.
Kisah hidupnya juga tak luput dari kulindan permasalahan. Tahun 2001 dia pernah terpilih menjadi Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol dengan suara mayoritas, namun dia tak pernah dilantik. Terpilih kedua kalinya pada 2005 dengan kemenangan mutlak, dia pun juga tak kunjung dilantik.
“Sama dengan kasus pertama, saya tidak dilantik karena bendera saya dengan menteri agama berbeda,” ujarnya santai sambil tertawa.
Kala itu mahasiswa sempat rusuh lantaran sang rektor terpilih tak jua dinobatkan memimpin IAIN IB. Gejolak mahasiswa itu membuat Nasrun Haroen diminta datang ke Jakarta secara tidak resmi. Dia datang dan diberi surat kalau dia dimutasikan ke Departemen Agama.
“Ketika itu saya katakan pada Menteri Agama, surat bapak sudah saya baca, sudah saya pahami, namun saya belum bisa memutuskan apa-apa, saya mesti berbicara dulu dengan rekan-rekan di IAIN IB,” terangnya.
Namun apa mau dikata, seminggu pasca pemanggilan nonresmi itu, dia langsung dilantik menjadi Direktur Pemberdayaan Zakat di Departemen Agama. Jawaban lisannya terhadap surat tersebut tidaklah diindahkan. Dia tetap menjalankan tugas meski ada jua ganjalan di lubuk hati.
“Sudah menjadi prinsip saya, kalau sudah dipercayai mengemban suatu pekerjaan, saya akan jalankan, tak akan protes lagi,” katanya.
Dia mengenang, cita-cita besarnya ketika menjadi rektor ketika itu adalah membersihkan semua praktik-praktik kotor yang ada di IAIN IB. Tapi Tuhan belum mengizinkan.
Dalam wawancara khususnya dengan Singgalang, mantan dekan Fakultas Syariah itu juga sempat menceritakan bagaimana pengunduran dirinya dari kursi dekan hanya karena tak sejalan dengan beberapa orang-orang di fakultas. Disinggungnya pula tentang perong-rongan yang dilakukan oleh jajaran pejabat-pejabat tertentu di Fakultas Syariah.
“Saya pikir saya harus mundur, sudah sangat tidak sesuai dengan prinsip saya. Saya pun memutuskan untuk jadi dosen biasa,” katanya.
Sejak 2002 sebenarnya dia sudah menetap di Jakarta, namun tiap minggu memang selalu ke Padang. Tugas mengajar di beberapa perguruan tinggi di Padang lah yang memanggilnya.
Sampai akhirnya dia dipanggil kejaksaan. Dia melalui dua kali proses penyidikan di intel. Ketika bersama Syahrial inilah dia dijebak untuk menyerahkan sejumlah uang agar dia tidak ditahan. Kalau tidak mau memberi uang, justru dia bisa akan langsung dipenjarakan, begitu ancam Syahrial. Sayang, setelah mengembalikan uang tersebut, dia justru dijebak. Uang itu dijadikan barang bukti oleh pihak Kejaksaan. Uang Rp110 juta mengantarkannya menjadi tersangka kasus korupsi dana APBN Sumbar 2004 untuk sumbangan ke MUI Sumbar senilai Rp500 juta. Selanjutnya dia disidik di Pidsus 4 kali, sampai kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
“Saya perdana dipanggil Agustus 2010 dan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Padang sekitaran awal Mei,” katanya.
Ketika dia menjalani sidang perdana, sang istri sedang tergolek lemah di rumah sakit di Jakarta. “Istri saya sakit komplikasi diabetes, ginjal, maag, dan matanya pun tak melihat lagi,” tutur Nasrun Haroen.
Baru sidang ke-9 lah sang istri, Zulasmi, 55, diberi tahu. Teman suka dukanya itu pasrah. Ketegarannya selama mendampingi sang suami memang tak patut diragukan lagi.
“Baru ketika berkunjung ke penjara untuk pertama kalilah emosinya tak terbendung, dia menangis. Saya yakin itu bukan ungkapan ketidaksabaran atau ketidakberserahan diri kepada Allah, hanyalah luapan cinta seorang istri atas ujian yang didatangkan kepada suaminya,” kata Nasrun Haroen penuh senyum.
Diakuinya, Zulasmi merupakan wanita luar biasa yang senantiasa setia menemaninya dalam menapaki langkah-langkah perjuangan dalam hidup ini. Katanya, dia adalah sosok luar biasa dalam memberikan suppor untuk suami, baik ketika senang apalagi ketika susah. “Cuma penyakit saja yang terkadang membuatnya nampak rapuh,” ujar Nasrun Haroen.
Sekarang, tiga anaknya sudah dewasa. Dapat memaknai dari tiap jejak sang Ayah. “Saya tegarkan anak-anak saya, saya yakin kalau muara semua ini akan baik. Dalam menegakkan kebenaran, saya tak tanggung-tanggung, meski seperti ini akhirnya ke badan saya,” katanya.
Bersama narapidana lainnya
Ketika pertama kali menjejakkan kaki di Lembaga Permasyarakatan Muara Padang, tentu merupakan rasa yang luar biasa. Ketika kemejanya diganti dengan kaos oblong, ketika sepatunya diganti dengan sandal jepit. Semua merupakan step yang cukup menjadi sejarah dalam perjalanan Nasrun Haroen.
“Alhamdulillah saya mendapatkan hikmah juga di penjara, saya tetap menjadi guru, apa yang saya sampaikan kepada kawan-kawan di sana sudah siap dibuat tulisannya,” kata Nasrun Haroen.
Teman diskusinya berjumlah kira-kira 15 orang, termasuk mantan Walikota Bukittinggi, Djufri, mantan Sekko Bukittinggi, Khairul, Wakil Walikota Kabupaten Agam, Umar.
“Mereka sempat mengeluh, jaksa ini apa sebenarnya otaknya. Yang ada di pikiran mereka hanya bagaimana cara memenjarakan orang. Seloroh kami tentang kata-kata mereka ‘salah atau tidak salah dibuktikan saja di pengadilan’,” cerita Nasrun Haroen.
Mulanya mereka sulit menerima kenyataan. Perasaan kecewa, takut, keperihan bercampur menjadi satu. “Saya katakan kepada mereka, kalau memang ada orang zalim kepada kita dan kita balas dendam, dosa kezaliman itu justru kita yang akan menanggung,” cerita Nasrun Haroen.
Dikatakannya, kalau menurutkan perasaan, rasanyanya tanah lahirnya, Minangkabau, sudah begitu mengkhianatinya.
“Bahkan pernah terpikir oleh saya untuk hijrah saja ke Malaysia karena begitu kecewanya, namun seperti apa kata teman-teman di penjara, kalau saya lakukan berarti saya lari dari medan jihad,” tuturnya.
Melihat begini busuknya semua lini pendidikan yang dia geluti dan lembaga penegakan hukum yang kini disaksikannya dia masih mencoba berani berharap. Berharap akan adanya orang-orang ‘aneh’ yang senantiasa sanggup dengan lantang ataupun berbisik mengatakan yang benar itu benar, mengungkapkan yang salah itu salah. Sudah banyak benar nampaknya yang mengalah pada kekuasaan, mengampun pada kepentingan.
“Satu harapan saya, bagaimana orang Minang ini kembali kepada agamanya kembali pada adatnya,” tukasnya.
Apa yang dilakukan orang sekarang terhadap pencitraan MUI, merongrongnya dari kepercayaan masyarakat, maka biarlah. Waktu akan menjawab semua tanya yang sekarang berkelindan di hati masyarakat. Yang jelas, berbuatlah untuk kebenaran dan demi kebenaran.
Namun biar saja, sudah skenario Yang Kuasa semua ini terjadi. Yang jelas, perjuangan memperoleh keadilan itu harus ditegakan hingga tetes darah penghabisan.
“Kalau saya dihukum, kemana pun saya akan banding, saya akan tuntut keadilan,” tukasnya. (*)
Nasrun Haroen menggeleng takzim ketika ditanyakan proses awalnya hingga dia ter seret ke kursi pesakitan Pengadilan Negeri (PN) Padang. Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumbar itu masih tidak percaya kalau nasibnya akan berujung pada ketuk palu hakim.
“Saya tidak tahu kenapa, saya tidak mengerti kenapa saya dibeginikan,” katanya kepada Singgalang, Senin (22/8).
Terkait kasus dugaan korupsi yang menimpanya kini, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini mengaku sama sekali tidak pernah tahu kalau laporan pertanggungjawaban (LPj) dana MUI Rp500 juta itu belum diselesaikan.
“Surat peringatan terkait belum diselesaikannya LPj tersebut tidak pernah sampai ke tangan saya. Saya tidak tahu menahu tentang LPj, saya anggap sudah beres. Makanya saya santai saja ketika dipanggil kejaksaan pada Agustus 2010 lalu,” katanya.
Kisah hidupnya juga tak luput dari kulindan permasalahan. Tahun 2001 dia pernah terpilih menjadi Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol dengan suara mayoritas, namun dia tak pernah dilantik. Terpilih kedua kalinya pada 2005 dengan kemenangan mutlak, dia pun juga tak kunjung dilantik.
“Sama dengan kasus pertama, saya tidak dilantik karena bendera saya dengan menteri agama berbeda,” ujarnya santai sambil tertawa.
Kala itu mahasiswa sempat rusuh lantaran sang rektor terpilih tak jua dinobatkan memimpin IAIN IB. Gejolak mahasiswa itu membuat Nasrun Haroen diminta datang ke Jakarta secara tidak resmi. Dia datang dan diberi surat kalau dia dimutasikan ke Departemen Agama.
“Ketika itu saya katakan pada Menteri Agama, surat bapak sudah saya baca, sudah saya pahami, namun saya belum bisa memutuskan apa-apa, saya mesti berbicara dulu dengan rekan-rekan di IAIN IB,” terangnya.
Namun apa mau dikata, seminggu pasca pemanggilan nonresmi itu, dia langsung dilantik menjadi Direktur Pemberdayaan Zakat di Departemen Agama. Jawaban lisannya terhadap surat tersebut tidaklah diindahkan. Dia tetap menjalankan tugas meski ada jua ganjalan di lubuk hati.
“Sudah menjadi prinsip saya, kalau sudah dipercayai mengemban suatu pekerjaan, saya akan jalankan, tak akan protes lagi,” katanya.
Dia mengenang, cita-cita besarnya ketika menjadi rektor ketika itu adalah membersihkan semua praktik-praktik kotor yang ada di IAIN IB. Tapi Tuhan belum mengizinkan.
Dalam wawancara khususnya dengan Singgalang, mantan dekan Fakultas Syariah itu juga sempat menceritakan bagaimana pengunduran dirinya dari kursi dekan hanya karena tak sejalan dengan beberapa orang-orang di fakultas. Disinggungnya pula tentang perong-rongan yang dilakukan oleh jajaran pejabat-pejabat tertentu di Fakultas Syariah.
“Saya pikir saya harus mundur, sudah sangat tidak sesuai dengan prinsip saya. Saya pun memutuskan untuk jadi dosen biasa,” katanya.
Sejak 2002 sebenarnya dia sudah menetap di Jakarta, namun tiap minggu memang selalu ke Padang. Tugas mengajar di beberapa perguruan tinggi di Padang lah yang memanggilnya.
Sampai akhirnya dia dipanggil kejaksaan. Dia melalui dua kali proses penyidikan di intel. Ketika bersama Syahrial inilah dia dijebak untuk menyerahkan sejumlah uang agar dia tidak ditahan. Kalau tidak mau memberi uang, justru dia bisa akan langsung dipenjarakan, begitu ancam Syahrial. Sayang, setelah mengembalikan uang tersebut, dia justru dijebak. Uang itu dijadikan barang bukti oleh pihak Kejaksaan. Uang Rp110 juta mengantarkannya menjadi tersangka kasus korupsi dana APBN Sumbar 2004 untuk sumbangan ke MUI Sumbar senilai Rp500 juta. Selanjutnya dia disidik di Pidsus 4 kali, sampai kemudian ditetapkan sebagai tersangka.
“Saya perdana dipanggil Agustus 2010 dan menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Padang sekitaran awal Mei,” katanya.
Ketika dia menjalani sidang perdana, sang istri sedang tergolek lemah di rumah sakit di Jakarta. “Istri saya sakit komplikasi diabetes, ginjal, maag, dan matanya pun tak melihat lagi,” tutur Nasrun Haroen.
Baru sidang ke-9 lah sang istri, Zulasmi, 55, diberi tahu. Teman suka dukanya itu pasrah. Ketegarannya selama mendampingi sang suami memang tak patut diragukan lagi.
“Baru ketika berkunjung ke penjara untuk pertama kalilah emosinya tak terbendung, dia menangis. Saya yakin itu bukan ungkapan ketidaksabaran atau ketidakberserahan diri kepada Allah, hanyalah luapan cinta seorang istri atas ujian yang didatangkan kepada suaminya,” kata Nasrun Haroen penuh senyum.
Diakuinya, Zulasmi merupakan wanita luar biasa yang senantiasa setia menemaninya dalam menapaki langkah-langkah perjuangan dalam hidup ini. Katanya, dia adalah sosok luar biasa dalam memberikan suppor untuk suami, baik ketika senang apalagi ketika susah. “Cuma penyakit saja yang terkadang membuatnya nampak rapuh,” ujar Nasrun Haroen.
Sekarang, tiga anaknya sudah dewasa. Dapat memaknai dari tiap jejak sang Ayah. “Saya tegarkan anak-anak saya, saya yakin kalau muara semua ini akan baik. Dalam menegakkan kebenaran, saya tak tanggung-tanggung, meski seperti ini akhirnya ke badan saya,” katanya.
Bersama narapidana lainnya
Ketika pertama kali menjejakkan kaki di Lembaga Permasyarakatan Muara Padang, tentu merupakan rasa yang luar biasa. Ketika kemejanya diganti dengan kaos oblong, ketika sepatunya diganti dengan sandal jepit. Semua merupakan step yang cukup menjadi sejarah dalam perjalanan Nasrun Haroen.
“Alhamdulillah saya mendapatkan hikmah juga di penjara, saya tetap menjadi guru, apa yang saya sampaikan kepada kawan-kawan di sana sudah siap dibuat tulisannya,” kata Nasrun Haroen.
Teman diskusinya berjumlah kira-kira 15 orang, termasuk mantan Walikota Bukittinggi, Djufri, mantan Sekko Bukittinggi, Khairul, Wakil Walikota Kabupaten Agam, Umar.
“Mereka sempat mengeluh, jaksa ini apa sebenarnya otaknya. Yang ada di pikiran mereka hanya bagaimana cara memenjarakan orang. Seloroh kami tentang kata-kata mereka ‘salah atau tidak salah dibuktikan saja di pengadilan’,” cerita Nasrun Haroen.
Mulanya mereka sulit menerima kenyataan. Perasaan kecewa, takut, keperihan bercampur menjadi satu. “Saya katakan kepada mereka, kalau memang ada orang zalim kepada kita dan kita balas dendam, dosa kezaliman itu justru kita yang akan menanggung,” cerita Nasrun Haroen.
Dikatakannya, kalau menurutkan perasaan, rasanyanya tanah lahirnya, Minangkabau, sudah begitu mengkhianatinya.
“Bahkan pernah terpikir oleh saya untuk hijrah saja ke Malaysia karena begitu kecewanya, namun seperti apa kata teman-teman di penjara, kalau saya lakukan berarti saya lari dari medan jihad,” tuturnya.
Melihat begini busuknya semua lini pendidikan yang dia geluti dan lembaga penegakan hukum yang kini disaksikannya dia masih mencoba berani berharap. Berharap akan adanya orang-orang ‘aneh’ yang senantiasa sanggup dengan lantang ataupun berbisik mengatakan yang benar itu benar, mengungkapkan yang salah itu salah. Sudah banyak benar nampaknya yang mengalah pada kekuasaan, mengampun pada kepentingan.
“Satu harapan saya, bagaimana orang Minang ini kembali kepada agamanya kembali pada adatnya,” tukasnya.
Apa yang dilakukan orang sekarang terhadap pencitraan MUI, merongrongnya dari kepercayaan masyarakat, maka biarlah. Waktu akan menjawab semua tanya yang sekarang berkelindan di hati masyarakat. Yang jelas, berbuatlah untuk kebenaran dan demi kebenaran.
Namun biar saja, sudah skenario Yang Kuasa semua ini terjadi. Yang jelas, perjuangan memperoleh keadilan itu harus ditegakan hingga tetes darah penghabisan.
“Kalau saya dihukum, kemana pun saya akan banding, saya akan tuntut keadilan,” tukasnya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar