Fachrul Rasyid HF
Idul Fitri 1432 H yang berlangsung Selasa dan Rabu lalu agaknya menjadi lelucon terbesar sepanjang sejarah. Betapa tidak, warga yang Shalat Id Selasa pagi, siangnya pada mengunjungi kerabat. Eh, yang dikunjungi malah masih puasa karena mereka Shalat Id pada Rabu sesuai keputusan pemerintah. Celakanya, soto, ketupat, srikaya, lontong dan penganan lainnya yang disiapkan menyambut tetamu hari raya Selasa terpaksa dipanaskan lagi untuk sahur Rabu.
Keributan pun nyaris terjadi di beberapa daerah. Soalnya, Senin malam itu ribuan massa umat lengkap dengan pakaian khusus turun ke jalan membawa obor, genderang dan beduk menyemarakkan takbir. Begitu mulai bergerak tiba-tiba dibatalkan karena muncul pengumuman pemerintah, Idul Fitri jatuh Rabu.
Para kepala daerah juga dibuat repot. Mereka maunya Shalat Id bersama rakyat dan bahkan ada yang akan jadi khatib Idul Fitri Selasa itu. Gara-gara pengumuman pemerintah, niatnya terpaksa diurungkan. Padahal, di daerah itu tak ada lagi Shalat Id hari Rabu. Tak pelak, bagi yang patuh pemerintah terpaksa mengurung diri di rumah sampai Shalat Id bersepi-sepi pada Rabu. Yang lain bersama rakyat pada Selasa. Toh, undangan open house/ menerima tetamu yang terlanjur disebarkan untuk Selasa tak bisa ditarik lagi. Akibatnya ada kepala daerah yang menerima tamu berlebaran meski dia sendiri masih berpuasa.
Kenapa beridulfitri harus berkalang kabut seperti itu? Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, agama memang jadi urusan pemerintah pusat. Sayang ketentuan itu tak menjelaskan apakah urusan ibadah seperti penentuan Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal), juga diurus pemerintah pusat. Padahal banyak urusan ibadah lain, seperti jumlah rakaat shalat tarwih atau tentang wajib baca tulis Alquran tak diatur pemerintah pusat.
Meski demikian pemerintah pusat tampaknya terus berusaha menenetukan sendiri kapan Idul Fitri diselenggarakan. Namun penetapan Idul Fitri oleh pemerintah nyaris tak pernah berlaku efektif. Buktinya, lihat saja penetapan Idul Fitri yang baru lalu. Senin malam, saat pemerintah pusat, cq Menteri Agama Surya Dharma Ali mengumumkan 1 Syawal/ Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Rabu, justru sebagian besar umat Islam di daerah-daerah, termasuk di Jakarta, sedang bertakbir untuk berindulfitri Selasa pagi. Hanya, sebagian, terutama pejabat pemerintahan, yang mengikuti pengumuman itu dan bertakbir malam Rabu.
Ada beberapa indikator kenapa penetepan Idul Fitri oleh pemerintah tak pernah berlaku efektif. Pertama, Idul Fitri adalah urusan ibadah. Kegiatan ibadah, kecuali berimplikasi pertentangan, penodaan agama atau mengganggu ketertiban umum, tak mungkin bisa diatur atau dikendalikan pemerintah karena menyangkut paham dan keyakinan masing-masing kelompok pengikutnya.
Kedua, semua pihak termasuk pemerintah mengakui dan membenarkan adanya beberapa pendekatan/ metoda kajian penentuan dan penetapan 1 Syawal. Misalnya rukyat, hisab dan sebagainya. Logikanya, jika pemerintah dan para ulama mengakui kebasahan beberapa metoda penentuan 1 Syawal itu berarti pengikut mazhab/ kelompok ‘halal’ beridulfitri berdasarkan kajian masing-masing.
Ketiga, meski mengakui beberapa metoda penetepan 1 Syawal, namun dalam pengambilan keputusan pemerintah cenderung hanya mengakui satu metoda/ teori satu kolompok misalnya kelompok NU pendukung Menteri Agama. Sehingga sidang dewan itsbat dan diskusi sekitar penetapan 1 Syawal itu tak obahnya arena adu jarum untuk melegalkan pendapat kelompok tersebut. Sikap itu, selain tak jujurtentu dianggap sebagai pemaksaan pendapat satu kelompok tertentu. Tak aneh, meski di atas kertas jarum kelompok Menteri Agama lebih unggul namun di lapangan terbukti keputusan kelompok lain, seperti Muhammadiyah lebih efektif. Akibatnya keputusan Menteri Agama menjadi tak berwibawa dan kurang dihargai umat.
Sebetulnya pemerintah tak harus kehilangan muka. Pertama, kalau mau membangun kesepakatan bersama antar kelompok ulama dan mengakomodasikan semua pendapat dalam menentukan/ menetapkan 1 Syawal itu. Keputusan bersama itu dikoordinasikan jauh-jauh hari, bukan sehari atau semalam sebelum Idul Fitri seperti selama ini sehingga tak menimbulkan kebingunan di tengah umat.
Kedua, jika pemerintah akan menentukan sendiri 1 Syawal sebaiknya larang semua pihak termasuk ahli hisab/falaq mencantumkan tanggal hari raya Idul Fitri di setiap kalender nasional. Dengan demikian, pencantuman Idul Fitri, seperti pada kelender 2011 jatuh 30 dan 31 Agustus, tak perlu digubris sampai pemerintah menetapkan kapan persisnya 1 Syawal/ Idul Fitri 1432 H.
Ketiga, pemerintah jangan mencampuri urusan penetapan 1 Syawal. Serahkan sepenuhnya urusan itu kepada masing-masing kelompok umat. Bukankah dalam prakteknya yang berlaku efektif justru keputusan masing -masing kelompok itu?
Keempat, kalau memang seluruh urusan agama jadi kewenangan pemerintah pusat, sebaiknya pemerintah melalui undang-undang menyatakan, penetapan 1 Syawal adalah tanggungjawab pemerintah. Semua kelompok dan semua daerah tunduk pada ketetapan tersebut.
Sepanjang pemerintah bersikap mendua dan masih mempertimbangan kepentingan politik kelompok tertentu sebagaimana terjadi selama ini, tentulah tak mudah menyamakan Idul Fitri di negeri ini. Dampak negatif perbedaan penyelenggaran Idul Fitri juga akan sulit dihindari. Dan, kewibawaan pemerintah pun sulit dibangun di tengah umat. (*)
Idul Fitri 1432 H yang berlangsung Selasa dan Rabu lalu agaknya menjadi lelucon terbesar sepanjang sejarah. Betapa tidak, warga yang Shalat Id Selasa pagi, siangnya pada mengunjungi kerabat. Eh, yang dikunjungi malah masih puasa karena mereka Shalat Id pada Rabu sesuai keputusan pemerintah. Celakanya, soto, ketupat, srikaya, lontong dan penganan lainnya yang disiapkan menyambut tetamu hari raya Selasa terpaksa dipanaskan lagi untuk sahur Rabu.
Keributan pun nyaris terjadi di beberapa daerah. Soalnya, Senin malam itu ribuan massa umat lengkap dengan pakaian khusus turun ke jalan membawa obor, genderang dan beduk menyemarakkan takbir. Begitu mulai bergerak tiba-tiba dibatalkan karena muncul pengumuman pemerintah, Idul Fitri jatuh Rabu.
Para kepala daerah juga dibuat repot. Mereka maunya Shalat Id bersama rakyat dan bahkan ada yang akan jadi khatib Idul Fitri Selasa itu. Gara-gara pengumuman pemerintah, niatnya terpaksa diurungkan. Padahal, di daerah itu tak ada lagi Shalat Id hari Rabu. Tak pelak, bagi yang patuh pemerintah terpaksa mengurung diri di rumah sampai Shalat Id bersepi-sepi pada Rabu. Yang lain bersama rakyat pada Selasa. Toh, undangan open house/ menerima tetamu yang terlanjur disebarkan untuk Selasa tak bisa ditarik lagi. Akibatnya ada kepala daerah yang menerima tamu berlebaran meski dia sendiri masih berpuasa.
Kenapa beridulfitri harus berkalang kabut seperti itu? Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, agama memang jadi urusan pemerintah pusat. Sayang ketentuan itu tak menjelaskan apakah urusan ibadah seperti penentuan Hari Raya Idul Fitri (1 Syawal), juga diurus pemerintah pusat. Padahal banyak urusan ibadah lain, seperti jumlah rakaat shalat tarwih atau tentang wajib baca tulis Alquran tak diatur pemerintah pusat.
Meski demikian pemerintah pusat tampaknya terus berusaha menenetukan sendiri kapan Idul Fitri diselenggarakan. Namun penetapan Idul Fitri oleh pemerintah nyaris tak pernah berlaku efektif. Buktinya, lihat saja penetapan Idul Fitri yang baru lalu. Senin malam, saat pemerintah pusat, cq Menteri Agama Surya Dharma Ali mengumumkan 1 Syawal/ Hari Raya Idul Fitri jatuh pada Rabu, justru sebagian besar umat Islam di daerah-daerah, termasuk di Jakarta, sedang bertakbir untuk berindulfitri Selasa pagi. Hanya, sebagian, terutama pejabat pemerintahan, yang mengikuti pengumuman itu dan bertakbir malam Rabu.
Ada beberapa indikator kenapa penetepan Idul Fitri oleh pemerintah tak pernah berlaku efektif. Pertama, Idul Fitri adalah urusan ibadah. Kegiatan ibadah, kecuali berimplikasi pertentangan, penodaan agama atau mengganggu ketertiban umum, tak mungkin bisa diatur atau dikendalikan pemerintah karena menyangkut paham dan keyakinan masing-masing kelompok pengikutnya.
Kedua, semua pihak termasuk pemerintah mengakui dan membenarkan adanya beberapa pendekatan/ metoda kajian penentuan dan penetapan 1 Syawal. Misalnya rukyat, hisab dan sebagainya. Logikanya, jika pemerintah dan para ulama mengakui kebasahan beberapa metoda penentuan 1 Syawal itu berarti pengikut mazhab/ kelompok ‘halal’ beridulfitri berdasarkan kajian masing-masing.
Ketiga, meski mengakui beberapa metoda penetepan 1 Syawal, namun dalam pengambilan keputusan pemerintah cenderung hanya mengakui satu metoda/ teori satu kolompok misalnya kelompok NU pendukung Menteri Agama. Sehingga sidang dewan itsbat dan diskusi sekitar penetapan 1 Syawal itu tak obahnya arena adu jarum untuk melegalkan pendapat kelompok tersebut. Sikap itu, selain tak jujurtentu dianggap sebagai pemaksaan pendapat satu kelompok tertentu. Tak aneh, meski di atas kertas jarum kelompok Menteri Agama lebih unggul namun di lapangan terbukti keputusan kelompok lain, seperti Muhammadiyah lebih efektif. Akibatnya keputusan Menteri Agama menjadi tak berwibawa dan kurang dihargai umat.
Sebetulnya pemerintah tak harus kehilangan muka. Pertama, kalau mau membangun kesepakatan bersama antar kelompok ulama dan mengakomodasikan semua pendapat dalam menentukan/ menetapkan 1 Syawal itu. Keputusan bersama itu dikoordinasikan jauh-jauh hari, bukan sehari atau semalam sebelum Idul Fitri seperti selama ini sehingga tak menimbulkan kebingunan di tengah umat.
Kedua, jika pemerintah akan menentukan sendiri 1 Syawal sebaiknya larang semua pihak termasuk ahli hisab/falaq mencantumkan tanggal hari raya Idul Fitri di setiap kalender nasional. Dengan demikian, pencantuman Idul Fitri, seperti pada kelender 2011 jatuh 30 dan 31 Agustus, tak perlu digubris sampai pemerintah menetapkan kapan persisnya 1 Syawal/ Idul Fitri 1432 H.
Ketiga, pemerintah jangan mencampuri urusan penetapan 1 Syawal. Serahkan sepenuhnya urusan itu kepada masing-masing kelompok umat. Bukankah dalam prakteknya yang berlaku efektif justru keputusan masing -masing kelompok itu?
Keempat, kalau memang seluruh urusan agama jadi kewenangan pemerintah pusat, sebaiknya pemerintah melalui undang-undang menyatakan, penetapan 1 Syawal adalah tanggungjawab pemerintah. Semua kelompok dan semua daerah tunduk pada ketetapan tersebut.
Sepanjang pemerintah bersikap mendua dan masih mempertimbangan kepentingan politik kelompok tertentu sebagaimana terjadi selama ini, tentulah tak mudah menyamakan Idul Fitri di negeri ini. Dampak negatif perbedaan penyelenggaran Idul Fitri juga akan sulit dihindari. Dan, kewibawaan pemerintah pun sulit dibangun di tengah umat. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar