Kemudian, kampung itupun mendadak menjadi ramai. Dusun Arau Hilir (kita sebut saja itu namanya), dipenuhi puluhan mobil-mobil berplat B. Rumah-rumah yang pintunya biasa tertutup, kini terbuka dan penuh gelak tawa. Hari kan masuk hari raya, orang rantau yang “mendapat” pada pulang dari Jawa. Kaya-kayalah mereka rupanya. Senang mereka di rantau. Patutlah bunyi pantun standar awak begitu bunyinya:
Karatau madang di hulu
Babuah babungo balun
Marantaulah Bujang daulu
Di rumah, paguno balun.
Sekarang, sudah “mendapat”. Barulah terasa gunanya. Si Lesuik yang dulu serawanya bertumbok di belakang, sekarang pulang dengan mobil mengkilap. Sabariyah, yang dulu menompang-nompang “krupuak jariang” dari lapau ke lapau itu, rambutnya tidak hitam dan tidak pula putih, tapi merah, gayanya ganjil, celananya ketat. Pusatnya nampak.
Oleh suaminya Robert, begitu juga anak-anaknya, Obby, Theo, dan Vice, si Sabariyah dipanggil “Mami”. Namanya konon tidak Sabariyah lagi, tapi “Safety”.
Banyak perantau pulang, katanya “taragak” bersilaturahim, tapi, tiba di kampung mereka jadi orang lain. Mandi ke tepian atau ke pincuran, mereka bilang gatal-gatal, alergi. Karena di kampung tidak ada sistem pemanas. Uwak Biyah terpaksa merebuskan air untuk mandi cucu-cucunya. Theo dan Vice tidak bisa sedikit pun berbahasa Minang. Bahasa Indonesia pun tidak. Papi dan Maminya bicara sehari hari bahasa Jakarte. Viceee…Theooo….dengerin Mami ngomong kenapa sih. Ama Uwak gak boleh gitu dong Viss… Dosak tauk?” Demikian Sabariyah alis Safety mengajar anak-anaknya di depan Uwak. Rasanya, mereka bukan anak cucu Uwak, tapi, orang lain yang singgah numpang muntah.
Demikian kira-kira gambaran kecil dari perantau kalau di rumah asal. Lain pula kalau di tempat ramai, atau dipertemuan-pertemuan yang menyedot masa. Banyak yang sengaja secara demonstratif memperlihatkan kemampuannya. Ada yang menggasing-gasing gas mobil di jalan, bahkan kadang dekat mesjid. Main HP, BlackBerry, IPAD, Lapyop, FB. Game Word hal hal yang sebenarnya tidak pula “baru” bagi warga dusunnya. Punya yang belum, tapi sudah kenal orang semuanya itu. Dia barangkali tidak menyadari, teknologi sewbenarnya sudah merasuk ke pelosok. Uang atau perbaikan ekonomi yang belum. Buah tangan perantau yang kan disebut sebut kebanyakan hanya bunyi “kentut”.
Memperlihatkan perubahan yang tidak memberi nilai tambah, bukanlah hal yang didambakan orang kampung. Tak perlu memperlihatkan mobil mahal, pakaian atau perhiasan yang berkilau. Tidak perlu. Mereka (orang orang di nagari) mendambakan arti kedatangan yang konkret. Semen agak satu sak, atap seng atau triplek agak sehelai, lebih berarti dari memperlihatkan kecanggihan IPAD atau kemampuan Chatting BlackBarry hantu belau segalanya.
Sabariyah, tetaplah Sabarriyah. Untuk apa sengaja “kau” colok rambut “kau” sirah sirah? Pulang ke kampung bukan memperlihatkan perubahan pribadi, tapi lebih berharga membuktikan apa yang bisa dibuat untuk kampung. Kok iya, pulang merantau, di rumah sudah berguna. Berilah apa yang berarti dan nyata.
ALWI KARMENA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar