Sekarang ini kita tidak dapat menafikan bahwa orang miskin mengurita jua di negeri yang konon kaya akan sumber daya alamnya dan brilian akan keintelektualan orangnya. Berdasarkan data statistik, di Sumatera Barat saja jumlahnya sekitar 9 % dari jumlah penduduknya. Walaupun upaya untuk memberantas penyakit yang sering menghingapi negara sedang berkembang ini sudah berpuluh jurus dimainkan. Namun keampuahannya belum jua membuahkan hasil. Belakangkan ini kita kenal program atau proyek seperti program KUR, ada bantuan bibit ikan ternak, coklat dan program satu ekor satu petani-program andalan pemerintah daerah Sumatera Barat dibawah kepemimpinan Irwan Prayitono dan Muslim Kasim saat sekarang ini.
Faktanya, walaupun berbagai macam program atau kegiatan telah dilakukan untuk memberantas kemiskinan tersebut. Ironisnya, yang terjadi adalah masyarakat miskin tetap miskin sedangkan, “di luar” orang miskin tersebut malahan orang yang sudah kaya ternyata bertambah kaya. Parahnya lagi, mereka adalah orang-orang kaya yang kadangkala mengais rezeki di atas kesengsaraan yang dialami masyarakat miskin tersebut. Di balik itu, munculnya para pakar atau ahli yang konsen tentang persoalan kemiskinan atau lazim dikenal dengan mereka yang aktif dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat lemah atau kecil terus bertambah. Para ahli tersebut berkecimpung dalam berbagai disiplin ilmu, mulai dari disiplin ilmu ekonomi, pertanian, sosial maupun dari disiplin ilmu lainnya. Kesemuanya telah banyak menyampaikan berbagai macam narasi, baik dalam bentuk makalah, artikel dan lainnya, yang disampaikan dalam satu lokakaria, seminar yang biasanya dilaksanakan di hotel dan gedung-gedung megah. Hal hasil yang miskin tetap jua mengurita.
Sumatera Barat dengan keunikan orangnya dengan pola merantaunya-perpindahan tradisional, institusional dan normatif sesungguhnya sebuah modal yang besar untuk memberantas kemiskinan dinegeri kita ini. Modal sosial (social capital) yang dimiliki oleh orang Minang, etnik mayoritas yang mendiami daerah ini semestinya sebuah batu pijakan untuk kearah itu. Berbeda dengan orang lain merantau, orang Minang merantau membawa “misi budaya” tersendiri. Ketika sang Minang merantau, dan ketika kembali dari daerah rantau, mereka harus membawa sesuatu, harta atau pengetahuan, sebagai simbol berhasilnya misi mereka.. Kalau tidak, maka mereka tidak akan “diterima” oleh sesama orang kampung ; mereka dianggap telah gagal menjalankan misi. Orang kampung akan menyebut mereka bagaikan “seekor siput pulang ke rumahnya” (pulang langkitang) atau menyebut mereka “begitu perginya, begitu pulangnya) (baitu pai, baitu pulang). Tidak ada muka manis bagi para perantau yang gagal. Mereka harus kembali ke daerah rantau dan berusaha lagi.
Harta dan pengetahuan yang dibawa ke kampung halaman oleh para perantau yang sukses sangat dihargai oleh penduduk kampung. Mereka menggunakan harta itu untuk membangun atau memperbaiki rumah-rumah para saudara perempuan atau istri-istri mereka guna membelikan mereka tanah.
Adakah misi budaya yang seperti itu masih tertanam dipikiran sang perantau Minang kini? Jangan-jangan pulang ke kampung hanya ingin pamer kekayaan kepada orang kampung, bahwa si Minang telah berhasil di rantau, setelah dipamerkan kepada orang kampung langsung pergi tanpa peduli dengan nasib orang kampung. Walaupun begitu halnya, yang lebih parah lagi banyak orang dari rantau yang pulang kampung bila ada maunya. Jangankan untuk menolong, mengais reski pula dari orang kampung tersebut.
Orang Minang memiliki filantropi yang sangat besar. Coba bayangkan bila roda ini dijalankan-satu orang perantau saja membantu sanak keluarga dan kampung halamannya. Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi? Yang jelas persoalan di kampung halaman kita akan teratasi, begitu juga dengan masalah kemiskinan. Persoalannya sekarang, dari mana kita harus lakukan. Tidakkah dulu ada namanya Gebu Minang (Gerakan Seribu Minang yang kini berganti menjadi Gerakan Ekonomi dan Budaya Minang). Tidak lain didirikan untuk membantu orang dikampung dari kemiskinan itu sendiri. Hal hasil, gerakan itu nampaknya belum jua ampuh untuk memberantas kemiskinan tersebut. Niat baik dari pengurus Gebu Minang belakangan ini untuk kesejahteraan rakyat Sumatera Barat haruslah kita berikan apresiasi, namun kesemua itu belum jua membuahkan hasil yang maksimal untuk memberantas kemiskinan itu sendiri.
Apa sebetulnya yang salah dengan kampung kita ini. Jangan-jangan kemiskinan itu sudah terlekatkan ke kondisi masyarakat kita secara alami. Atau memang kita tidak peduli lagi dengan kampung kita ini? Kalau boleh kita merujuk kepada pendapat Chamber (1988), banyak hal sesungguhnya yang menyebabkan ketidakberuntungan (disadvantages) pada kelompok orang miskin, yaitu: (1). Keterbatasan pemilikan aset (poor), (2). Kondisi fisik yang lemah (physically weak), (3) Terisolasi, yang ditandai oleh karena tidak berpendidikan, terutama disebabkan oleh tempat tinggal yang jauh terpencil atau di luar jangkauan komunikasi. (4) Kerentanan (vulnerale), yang merupakan salah satu mata rantai paling banyak dijalanan, dan (5) Ketidakberdayaan (powerless), terutama diakibatkan oleh ketidakberdayaan mendorong proses pemiskinan dalam berbagai bentuk, antara lain pemerasan oleh kaum yang lebih kuat
Sekarang ini, kepedulian orang dari rantau sangatlah dinantikan untuk itu. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi orang di rantau bila orang kampungnya sejahtera.Tidak berhenti disitu saja, para pengambil kebijakan dinegeri kita ini haruslah melakukan kebijakan yang sifatnya bottom-up bukan top-down. Sistem kebijakan top-dow yaitu sistem kebijakan dari atas kebawah, yang ditandai oleh besarnya kewenangan pemerintah pusat dalam menentukan kebijakan. Sementara itu, sistem kebijakan buttom-up yang memusatkan perhatian pada kebutuhan-kebutuhan yang berasal dari lapisan paling bawah yakni masyarakat. Pada sistem kebijakan ini masyarakatlah yang sesungguhnya mempunyai peran dalam membuat kebijakan.
Sistem bottom-up nampaknya sangat trend sekali dalam memecahkan masalah, terutama setelah kegagalan dari sistem top-down. Tetapi dalam kenyataaannya, di tengah gembor-gembor pemerintah dalam melaksanakan sistem bottom-up atau yang lebih dikenal dengan kebijakan partisipatif tersebut, namun dalam kenyataannya yang tetap dipraktikkan adalah sistem top-down. Walaupun aspirasi yang ditampung berasal dari masyarakat namun setelah diteliti serta dicermati maka banyak dari aspirasi masyarakat yang dihilangkan karena alasan yang lebih menguntungkan bagi mereka yang berada pada posisi pengambil kebijakan.
Sesungguhnya, kalau kita berpikir dengan cermat, maka nyatalah bahwa sistem yang tepat dalam upaya mengatasi kemiskinan adalah sistem bottom-up. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sistem ini ditentukan oleh masyarakat. Sistem bottom-up nyata-nya lebih memberikan keberpihakan pada masyarakat, terutama dalam usaha meraka memenuhi kebutuhan, sekaligus terkait dengan peran aktif mereka dalam mengatasi berbagai kendala yang ditemukan.
Jadi, bila keduanya disandingkan yakni peran orang rantau dan kebijakan yang jitu yakni bottom-up system maka sebuah fondasi kearah mengikis kemiskinan dinegeri kita ini sudah dimulai. Ini semuanya juga dibingkai dengan tanggungjawab kita bersama. Dengan adanya kebersamaan tersebut maka masalah kemiskinan dapat diatasi. Mudah-mudahan. Wassallam.
UNDRI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar