RESPONS TERHADAP TULISAN FACHRUL RASYID HF
Terkesima juga saya membaca tulisan wartawan senior H Fachrul Rasyid HF Haluan, 14 September 2011, dalam kolom Refleksi yang berjudul “Padang Realitas Sebuah Kota”. Tulisan tersebut diawali dengan pengantar bahwa penulis akan melahirkan pikiran yang jernih, pandangan dan analisis yang konprehensip, lepaskan sementara kepentingan politik.
Sungguh menyegarkan saya sewaktu membaca pengantar tulisan tersebut. Tetapi pada bagian akhir tulisannya, Fachrul menumpukkan permasalahan Kota Padang yang “amburadul” sekarang kepada saya sewaktu menjabat Walikota Padang selama 10 tahun, yaitu tahun 1993 sampai dengan 2003.
Mengutip tulisan Fachrul, “...rencana pembangunan kota yang sudah dicanangkan sejak 35 tahun silam zaman Walikota Hasan Basri Durin, sebagian direalisasikan Walikota Syahrul Udjud. Sayang di tangan Walikota Zuiyen Rais, konsep yang sudah disiapkan pendahulunya dicoba dibelokkan. Tulisan lanjutnya, “…yang terbengkalai, bukan hanya pembangunan fisik, tapi pembangunan SDM pemerintahan. Maklum sebagian besar staf potensial, telah terdidik dan menguasai persoalan perkotaan, dijauhkan dari Balaikota Padang”.
Sebagai kesimpulan dari tulisannya, Fachrul mengemukakan bahwa akibat dari pembelokkan yang dilakukan oleh Walikota Zuiyen Rais, menjadikan Kota Padang amburadul dan semua persoalan menumpuk di tangan Walikota Fauzi Bahar...”
Saya tahu Fachrul seorang wartawan yang cukup produktif. Dia tidak saja melakukan tugas-tugas jurnalistik, tetapi juga menulis berbagai permasalahan masyarakat dan kepemerintahan. Sebagai penulis tentu dia seorang yang banyak membaca, baik berupa lapaporan maupun analisis dan buku-buku untuk menambah ilmu pengetahuan sosial kemasyarakatan. Kalau dalam tulisannya di Harian Haluan 14 September 2011 di atas, Fachrul memposisikan saya sebagai sumber keamburadulan Kota Padang sekarang ini, banyak tidak ada benarnya.
Sebagai wartawan yang suka menulis, Fachrul tahu bahwa saya telah memulai karir sebagai wartawan sejak 48 tahun yang lalu di Harian Aman Makmur. Dalam kedudukan sebagai wartawan tersebut, saya terpilih menjadi Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Padang yang meliputi Sumatera Barat (1968-1970). Sewaktu menjabat Ketua PWI tersebut saya dikirim oleh Pengurus PWI Pusat untuk mengikuti pendidikan Kewartawanan di Amsterdam, Negeri Belanda selama enam bulan. Setelah kursus berakhir, saya diundang ke Amerika Serikat selama 16 hari untuk melakukan perjalanan jurnalistik bersama seorang wartawan lainnya dari Bandung, yaitu Dr. Naswil Idris.
Fachrul tentu juga tahu bahwa saya di samping bekerja sebagai wartawan adalah seorang dosen di IKIP Padang (sekarang UNP) dari tahun 1963-1970. Pada bulan Desember tahun 1970 saya masuk di jajaran Pemerintah Kota sebagai Anggota Badan Pemerintah Harian (BPH), semacam Wakil Walikota sekarang. Sampai saya dilantik jadi Walikota Padang tanggal 17 April 1993, saya telah menjalani masa pemerintahan tiga walikota, yaitu Walikota Akhirul Jahya, (1967–1972), Walikota Hasan Basri Durin (1972–1983), dan Walikota Syahrul Udjud (1983–1993). Semasa walikota alm Achirul Jahya, titik berat tugas saya adalah bidang pemerintahan, tetapi semasa walikota Hasan Basri Durin dan Syahrul Udjud, titik berat tugas adalah pada bidang perencanaan pembangunan yaitu sebagai Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Padang. Sewaktu dipindah ke Provinsi Sumatera Barat, saya bertugas sebagai Kepala Bidang Sosial pada BAPPEDA Provinsi Sumatera Barat. Artinya semua itu bahwa selama 20 tahun menjelang diangkat sebagai walikota Padang titik berat tugas saya adalah pada bidang perencanaan dan pembangunan.
Setelah bekerja 14 tahun di Pemerintah Kota, saya mohon pada Pak Walikota Syahrul Udjud agar diizinkan studi ke Intitut Pertanian Bogor (IPB) Program S2. Dalam waktu relatif singkat beliau mengizinkan, sehingga Juli 1984 saya sudah di Bogor dan selesai Desember 1986 dengan Indeks Prestasi 3,5. Waktu itu masih jarang orang mau sekolah ke S2, apalagi akan meninggalkan jabatan yang sudah mapan. Sesudah alm Muchtar Isa, jadilah saya orang Pemda kedua yang mengambil S2 di Bogor.
Sekembalinya dari S2 di IPB, oleh Pak Walikota saya diberi jabatan Asisten II Bidang Pembangunan dan dijabat selama 3 tahun. Seterusnya saya pindah ke Bappeda Provinsi Sumatera Barat selama 2 tahun, yaitu tahun 1990 dan 1991. Pada akhir tahun 1991 saya berkesempatan menghadiri undangan seminar di Kuala Lumpur dan terus ke Jepang mengunjungi Tokyo dan Nagasaki. Di Tokio saya diberi kesempatan beraudiensi dengan Rektor Universitas Asia dan di Nagasaki selain ingin menyaksikan kota yang dijatuhi bom atom oleh Amerika saat Perang Dunia II. Saya juga menjadi tamu Dekan Fakultas Perikanan, Universitas Nagasaki selama dua hari. Di sinilah saya menyaksikan penggunaan teknologi tinggi dalam usaha perikanan.
Sehabis di Jepang, saya melanjutkan perjalanan ke Amerika Serikat. Bagi saya adalah perjalanan kedua ke Amerika Serikat, tapi bagi istri yang ikut bersama saya, perjalanan ini adalah yang pertama kali. Semua perjalanan tersebut adalah memperluas wawasan dan menambah pemahaman tentang perlunya ilmu pengetahuan dan teknologi di zaman modern sekarang ini.
Beberapa bulan sepulang dari perjalanan ke Amerika saya diminta oleh Pak Syahrul untuk menjadi Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Padang. Dalam pembicaraan ke dua sebulan kemudian, tawaran beliau tersebut saya terima dan rupanya itulah jenjang saya untuk menjadi Walikota Padang, setelah habis jabatan beliau pada awal April 1993.
Apa langkah saya sebagai Walikota Padang, tentu mudah ditebak. Meneruskan kebijaksanaan yang baik dari walikota-walikota pendahulu saya dan menyusun konsep sendiri, apa-apa yang saya anggap sangat dominan bagi masyarakat Padang Kota Tercinta. Konsep utama adalah menata pusat kota sebagai kota objek wisata dan membangun pusat pertumbuhan baru di kawasan By Pass.
Dalam konsep ini proyeknya adalah Tribune Bagonjong di Lapangan Imam Bonjol dan pembenahan lapangan Imam Bonjol sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH). Kalau orang datang ke Padang, dia harus melihat lapangan Imam Bonjol dengan bangunan berukir khas Minang dan lapangannya yang indah. Dengan terlaksananya konsep ini, hati saya jadi tenteram, karena selama ini ada saja orang-orang besar datang, hendak membangun ruko atau bangunan lainnya di tanah halaman depan lapangan bersejarah tersebut.
Membangun di By Pass, antara lain proyeknya adalah Terminal Regional Bingkuang (TRB) dengan masa pembebasan tanah dan pembangunan selama 4 tahun, sehingga siap tahun 1998. Peningkatan aktivitas ekonomi di By Pass akan mengurangi tekanan di pusat kota, sehingga Padang akan betul-betul nyaman. Tetapi dalam pengoperasiannya, masyarakat belum sepenuhnya dapat memahami. Ditambah lagi suasana politik yang baru berubah, karena masuknya negara kita ke zaman Reformasi. Setelah dicoba beberapa kali mengoperasikannya, tidak juga berhasil sehingga saya simpulkan biarlah walikota baru yang melanjutkannya. Apalagi prinsip pembangunan daerah di negara kita, bukanlah sepotong-sepotong tetapi pembangunan berkelanjutan. Tidak ada pembangunan yang harus selesai dalam masa jabatan seorang walikota, namun perlu kesinambungan dengan pejabat berikutnya.
Pembangunan Pasar Modern
Dalam kerangka menghidupkan pusat-pusat pertumbuhan baru dan untuk mengurangi tekanan di pusat kota, maka saya menolak semua permohonan izin untuk mendirikan mall, atau pasar modern di pusat kota. Sekurangnya ada lima lokasi yang ditolak, walaupun yang bersangkutan datang dengan segala cara. Sebelumnya juga saya telah belajar ke Jakarta, Semarang dan ke Kementerian Perdagangan. Intinya kalau pasar modern dibangun di samping pasar tradisional, maka pasar-pasar masarakat akan mundur, bahkan tutup.
Generasi muda kita akan menjadi karyawan di pasar modern, dan tidak ada lagi Mak Sutan Bagindo yang punya toko, atau Uncu yang punya toko sepatu. Hilanglah tempat “sekolah besar” bagi anak-anak kita sebelum pergi merantau ke Jawa. Itulah bayangan saya, sehingga di pusat kota hanya ada izin untuk satu pasar modern, yaitu Matahari. Tetapi kalau enam kilo dari pusat kota atau di By Pass, segera dapat keluar izinnya. Jadilah mall yang dibangun Basrizal Koto, bahkan saya selaku Walikota Padang mau berdiri di lokasi saat pemancangan pertama kali, karena khawatir akan ada orang yang menghalangi.
Sebagai alumni lembaga pendidikan guru, saya memahami betul betapa perubahan akan terjadi, kalau orangnya berpendidikan. Kalau ada utusan masyarakat datang mau mendirikan sekolah dan perlu uang untuk beli tanah, saya akan segera bantu dan dalam kasus ini berdirilah beberapa SMA negeri baru di Padang, seperti di Tanjuang Aur Koto Tangah, di Indarung, MAN di Jalan Tabiang-By Pass dan berapa sekolah lainnya.
Pendidikan adalah fokus pemerintahan di zaman saya, dan termasuk pendidikan wajib belajar baca Alquran bagi murid SD kelas IV dan V SD. Pada tahun anggaran 2003, Pemerintah Kota Padang menyediakan dana tiga setengah miliar untuk proyek baca Alquran di SD.
Dalam kaitan pembangunan adat, budaya dan agama, maka Pemerintah Kota Padang menyediakan bantuan kendaraan operasional bagi Ketua LKAAM dan Ketua MUI Kota Padang, di samping bantuan biaya operasional. Proyek-proyek pembangunan pisik yang menonjol antara lain, pelebaran jalan raya Padang- Indarung, melanjutkan pelebaran jalan dari pusat kota ke kampus Unand, pembayaran ganti rugi tanah bagi pelebaran jalan Tabing ke utara sampai batas kota, pemasangan lampu jalan di beberapa ruas jalan utama kota seperti jalan dari Indarung sampai Simpang Haru, dari Kampus Unand sampai Anduring dan di sepanjang jalan inspeksi Banjir Kanal.
Program K.3, tertib lalu lintas, Porda, MTQ seluruhnya dapat terlaksana dengan baik. Tiap tahun meraih piala Adipura Kencana dan piala Wahana Tata Nugraha Kencana. Tim Kota Padang, tiap tahun keluar sebagai Juara Umum PORDA Sumatera Barat, Juara Umum MTQ Sumatera Barat dan banyak lagi penghargaan yang diraih kota Padang.
Kalau dikatakan bahwa sebagian besar staf yang baik dipinggirkan, mana itu yang sebagian besar itu? Banyak staf yang membantu Pemerintah Kota Padang selama priode l993-2003 adalah tenaga-tenaga yang sukses dalam karirnya sampai sekarang. Di antara mereka ada yang jadi bupati, beberapa orang jadi Sekda di kota dan kabupaten, ada yang jadi kepala dinas di provinsi bahkan ada yang dipromosikan menjadi Sekda Provinsi Sumatera Barat.
Tiga Sekda Kota Padang setelah masa jabatan saya adalah tenaga-tenaga potensial dalam masa kepemimpinan saya. Saya kira Fachrul tahu semuanya itu, bahkan sampai hari ini setelah berjalan 8 tahun staf-staf senior tersebut, masih ingin dalam satu wadah kekeluargaan bersama saya. Hal itu secara spontan muncul dalam pertemuan silaturrahim yang diadakan di rumah saya hari Sabtu, 10 September yang lalu.
Demikianlah ulasan saya atas tulisan Fachrul yang terbit pada Harian Haluan 14 September yang lalu. Adalah tidak mungkin bagi saya merangkum rangkaian pekerjaan selama 10 tahun di pucuk pimpinan pemerintahan Kota Padang dalam waktu yang relatif singkat. Sebagai orang beriman, saya yakin menduduki jabatan tersebut adalah atas izin Allah, dan kalau ada kekhilafan dan kesalahan kepada Allah saya mohon ampun. Saya tidak ada niat melakukan kesalahan dengan merusak kota yang kita cintai ini. Tetapi kalau ada orang yang dengan sengaja merusak saya dengan tujuan agar kota ini ikut rusak, semuanya saya serahkan pada Allah. Allahuakbar.
ZUIYEN RAIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar