Pekan Budaya Sumbar
Pekan Budaya Sumatera Barat 2011 baru saja usai. Dilaksanakan di Payakumbuh dengan belanja cukup besar yang disediakan dalam APBD Sumbar yakni Rp1,1 miliar. Kita tak hendak mengkritisi besarnya anggaran atau uang rakyat yang dialokasikan di pesta yang katanya untuk rakyat ini juga, melainkan mengkritisi seberapa besar efek kegairahan berkesenian yang ditimbulkannya. Dan lebih dari itu, seberapa besar daya sentaknya untuk memancing wisatawan.
Baru saja diresmikan pekan silam, Pekan Budaya itu sudah menerima letupan kekecewaan dari kalangan seniman dan budayawan yang merasa tidak diajak serta. Betul-betul kali ini Pekan Budaya itu adalah sebuah helat pop yang jauh dari ruh aslinya yang pernah digagas oleh Budayawan Chairul Harun dan sejumlah seniman pada tahun 1980an.
Sejak beberapa tahun belakangan ini kegiatan Pekan Budaya Sumbar yang tidak berhenti dijadikan sebagai salah satu kegiatan dengan leading sector Dinas Kebudayaan dan Pariwisata seolah kehilangan gereget. Bahkan pernah dianggap oleh kalangan seniman hanya sebagai keguiatan memindahkan pedagang kaki lima dari pasar ke arena Pekan Budaya itu. Artinya kegiatan itu ramai dengan pameran, pedagang kaki lima, jualan baju, mainan anak-anak, kuliner dan sejenisnya.
Nyaris tidak ada apa-apa yang lahir dari sebuah Pekan Budaya sejak budayawan Chairul Harun meninggal. Dulu Pekan Budaya sarat dengan berbagai pertemuan kebudayaan yang melahirkan pikiran-pikiran jernih untuk kemajuan anak nagari. Rasa berkesenian dan berkebudayaan itu benar-benar merasuk dalam setiap kegiatan di Pekan Budaya itu.
Keterlibatan kalangan seniman dan budayawan (dari semua cabang kesenian) terasa sekali di masa lalu itu. Anggarannya tidak sebanyak sekarang, tetapi dengan ditopang oleh daerah-daerah Kabupaten/Kota, kegiatan itu menjadi sangat semarak. Keterlibatan Kabupaten/Kota baik Pemerintah Daerahnya maupun para buayawan dan seniman setempat untuk menyukseskan Pekan Budaya betul-betul dirasakan. Kesnian-kesenian yang jarang-jarang ditampilkan maka pada Pekam Budaya itulah ditampilkan. Sebuah kesenian yang disebut La Batombe dari Solok Selatan menjadi sangat dikenal ketika ditampilkan di Pekan Budaya di Batusangkar yang dianggap sebagai PBSB paling sukses.
Peranan daerah-daerah dalam menyukseskan Pekan Budaya tidak hanya sekedar menjadi tamu dan peserta, tetapi tokoh-tokoh seniman dan budayawan dari daerah-daerah juga diikutkan menjadi panitia penyelenggara setidaknya dalam barisan steering committee. Semangat kebersamaan dan mengedepankan rasa hormat kepada semangat ‘sato sakaki’ sangat diutamakan.
Kini, seperti dikeluhkan seniman Edi Cotok misalnya, ia dan kawan-kawannya merasa tidak diajak serta. Begitu juga dengan sejumlah seniman dalam Dewan Kesenian. Selentingan terdengar bahwa DKSB tidak diajak lantaran sudah demisioner. Ini adalah alasan bodoh. Karena secara fungsional seniman dan budayawan itu tetap ada dan tidak demisioner. Kalau lembaganya Dewan Kesenian itu dianggap demisioner, bisa diterima akal sehat untuk tidak memasukkan DKSB, tetapi pribadi-pribadi seniman dan budayawan?
Lihat saja pembukaan Pekan Budaya, jangankan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik yang disebut akan membuka, Gubernur Irwan Prayitno sendiri malah mengutus Wagub Muslim Kasim. Irwan menghadiri acara batagak gala yang kebetulan dihadiri Menkominfo Tifatul Sembiring. Para bupati/walikota pun yang hadir tidak seberapa. Banyak yang hanya diwakili saja oleh pejabat esselon II.
Kesedahan kaji, Pekan Budaya Sumatera Barat tahun 2011 ini semakin jauh dari ide dasar Pekan Budaya yakni sebagai ajang memperagakan kesungguh-sungguhan berkesenian dari tiap anak nagari di Sumatera Barat setiap tahun. Pekan Budaya sebagai ajang silaturahmi para seniman dan budayawan Sumatera Barat juga semakin jauh panggang dari api. Selebihnya budaya pop makin menghinggapi kegiatan itu. Seolah dengan aturan main anggaran yang seperti sekarang, para seniman dan budayawan seperti sudah dianggap tidak becus saja mengurusi sebuah kegiatan kesenian besar.
Taruhlah sistem anggaran memang ketat sehingga Rp1,1 miliar itu mesti dibelanjakan dengan ketat, tetapi tidakkan kegiatan seperti itu disecarahkan kepada seniman dan budayawan dengan terlebih dulu mengajak mereka urun rembug membentuk sebuah even organizer yang akan menjadi penyelenggara? Kalau memang hendak membesarkan kesenian dan menumbuhkembangkan kebudayaan, maka jangan jauhi seniman dan budayawan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar