Besok, Minggu, 11 September 2011, genderang Pekan Budaya Sumatera Barat (PBSB) kembali ditabuh. PBSB yang akan berlangsung sampai 17 September ini, tidak tanggung-tanggung, direncanakan diresmikan oleh Menteri Budpar Jero Wacik. (Mudah-mudahan Pak Menteri punya waktu, tidak diwakili staf.) Dan PBSB 2011 diselenggarakan di Galanggang Kubu Gadang, Kota Payokumbuah.
Selama PBSB digelar Pawai Budaya, Pawai Bendi, Seni Tradisi, Festival dan Lomba, Pameran Produk Unggulan, serta Permainan Anak Nagari. Semua penampilan, secara ringkas, merefleksikan sosok dan bentuk kebudayaan yang ada di Provinsi Sumatera Barat. Diulangi, di Sumatera Barat. Jadi tidak sebatas kebudayaan Minangkabau. Sumbar punya Kabupaten Mentawai, punya reog dan kuda lumping di Pasaman, Solok Selatan, dan Darmasyraya. Bahkan di Kota Padang ada kesenian barongsai, gamad.
PBSB sesungguhnya berawal dari keinginan seniman dan budayawan daerah ini pada 1983. Pada waktu itu ada niat untuk menampilkan kesenian dan kebudayaan Sumatera Barat selama sepekan untuk ditonton, dinikmati, dipelajari dan, kalau perlu, dinilai, dibanding-bandingkan. Selain untuk kepentingan publik (diksi pariwisata belum sepopuler sekarang), seniman dan budayawan serta pelaku kesenian itu sendiri, PBSB dimaksudkan untuk mengabadikan, melanggengkan, melestarikan, melanjutkan kehidupan kebudayaan dan kesenian itu sendiri. Seniman-seniman di negari-negari, di kampung-kampung, di seantero daerah, diberi kesempatan untuk tampil di pentas bergengsi dan terhormat.
Penggagas, perencana dan bahkan pelaksana PBSB pada waktu, setahu saya, antara lain A.A. Navis, Mursal Esten, Chairul Harun, Boestanoel Arifin Adam, Roestam Anwar, Boestami, M. Joesfik Helmy, Ibenzani Oesman, Ridwan Isa, Usria Dhavida, Joesaf Rachman, Wisran Hadi, Bagindo Fahmy. Tidak kurang masukan berharga datang dari Idroes Hakimy Datuak Radjo Pangoeloe, Kamardi Rais Datuak P. Simulie. Ikut bersibuk diri Sjahrial Chan, Anas Kasim, Arizal Oce, Asri Adenan, Uwa S. Imbau. (Semua tokoh besar dan hebat itu sudah meninggal-dunia.) Gagasan mereka mendapat tempat di hati Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat. Baik gubernur maupun bupati dan walikota merespons dengan sangat baik. Pendanaan PBSB seratus persen ditanggung oleh, menurut istilah pada waktu itu, Pemda Tingkat I dan Pemda Tingkat II. Pelaksanaan PBSB seratus persen pula diserahkan kepada seniman dan budayawan.
Begitulah, pernah PBSB berlangsung bagus, bahkan sangat baik. Itu terjadi ketika PBSB diselenggarakan di Kota Padang dan Batusangka (di akhir tahun 1980-an dan awal tahun 90-an). Baik dan bagus (sesuai penilaian pengamat profesional) diukur bukan saja dari apa yang ditampilkan selama sepekan tetapi juga dari bagaimana uang digunakan. Di dua iven PBSB itu dana berlebih sekitar 20% dan dikembalikan ke kas daerah. Seniman-seniman dari berbagai daerah, panitia pelaksana, sampai ke petugas lapangan, menerima honorarium yang wajar. Inventaris dan benda-benda (properties) tersimpan rapi, dan masih dapat digunakan untuk PBSB tahun berikut.
Pada gilirannya, gagagan mereka, tokoh-tokoh itu, masih dilanjutkan dan diimplementasikan sampai pada hari ini. Mudah-mudahan juga di masa depan. Namun, di sana-sini, dari tahun ke tahun, pelaksanaan PBSB mengalami perubahan. Ketika dunia pariwisata menjadi pilihan menggiurkan untuk mendatangkan uang, PBSB pun ditaja sesuai kemauan pariwisata. Pernah PBSB diurus oleh event organizer atau pengelola urusan budaya(?). Pernah pula PBSB sepenuhnya “dikerjakan” pemerintah. Tentu saja sosok dan bentuk kebudayaan dan kesenian yang tampil menjadi berbeda.
Paling memasygulkan adalah ketika yang ditampilkan di PBSB adalah produk pembangunan dan PBSB dijadikan arena jual-beli keperluan sehari-hari belaka. Maaf, pada masa itu, PBSB berubah menjadi pasar. Persis pasar! Tentu saja kritik dan kecaman, dari yang halus sampai yang kasar, berdatangan. Penyelenggara mengambil opsibasibanak, basipakak alias tidak memedulikan kritik sama sekali. Dan kemudian semua nyaris terlupakan.
Akankah PBSB 2011 di Payokumbuah eksis seperti yang pernah diangankan, diinginkan dan dilaksanakan pendahulu? Kritik-kritik awal berdatangan. Seniman dan budayawan setempat merasa tidak dilibatkan. Promosi PBSB dianggap tidak meriah. Dan, alkisah, tidak pula semua kabupaten dan kota mengirim utusan ke Galanggang Kubu Gadang.
Lalu, siapa sesungguhnya bertanggung-jawab? Pemikir, penggagas kesenian dan kepariwistaan yang sekarang aktif berperan? Seniman dan budayawan serta pelaku kesenian itu sendiri? Kepala Dinas Budpar Sumbar, Kepala-kepala Dinas Budpar Kabupaten dan Kota se-Sumbar? Bisakah semua diungkap melalui frasa: tanggung-jawab bersama?
Siapapun bertanggung-jawab, maka yang ingin diucapkan adalah selamat berpekan-budaya.
DARMAN MOENIR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar