ABDULLAH KHUSAIRI
Banyak fakta membuktikan, mereka yang telah usai memimpin, tak lagi menjadi bagian penting dari apa yang dipimpinnya. Tak banyak kenangan tak pula menjadi perhatian. Apa yang dikatakannya, hanya angin lalu saja. Ia bahkan lebih banyak dicemooh atas kepemimpinannya. Adalah Anas Urbaningrum, tokoh muda, Ketua DPP Partai Demokrat dalam dialog dengan tokoh masyarakat Sumbar di sebuah hotel, beberapa waktu lalu, mengimpikan agar ke depan, bangkitnya budaya kepemimpinan berakhir dengan khusnul khatimah. Dikenang dengan segala kenangan yang telah dibuatnya. Berakhirnya kepemimpinan dengan khusnul khatimah di setiap level kepemimpinan; kepala negara, kepala daerah, parpol, perguruan tinggi, dan seterusnya pada era ini sangat sulit dicari. Buktinya, banyak pemimpin berakhir harus berurusan dengan hukum. Lalu berakhir di penjara. Apa yang keliru dari “budaya akhir kepemimpinan” seperti ini? Pada sisi mereka menjadi korban setelah memimpin, selalu berkilah sebagai korban politik dari lawan-lawan yang selalu “memasang” jerat agar kegagalan terjadi. Sementara itu, dari sisi mereka yang pernah menjadi korban selama kepemimpinannya, tentu menyatakan, inilah balasan dari kepemimpinan yang dzalim. Terlepas dari siapa yang keliru, siapa yang salah, ternyata jadi pemimpin bukan pekerjaan yang mudah. Perlu trik kepemimpinan, manajemen, sikap mental, yang terasah sebelumnya. Oleh karenanya, seorang pemimpin memang tidak lahir begitu saja. Ia mesti lahir berjenjang pengalamannya. Dari memimpin yang kecil, sedang, lalu besar. Mereka yang langsung memimpin di level besar, biasanya sering gagap menjalankan roda kepemimpinan. Memimpin tidak bisa hanya karena haus kekuasaan belaka. Setelah mengejar jabatan dengan cara apapun, lalu berbuat semena-mena terhadap siapapun yang dipimpinnya. Menggeser, menekan, dengan alasan yang dibuat-buat. Memakai model kepemimpinan yang otoriter, walau pun dengan alasan kebaikan. Hal demikian, akan berakibat pada lembaga yang dipimpin dan juga pemimpin itu sendiri. Kepemimpinan adalah seni dalam manajemen. Mengajak banyak orang, sekelompok orang, untuk bekerja sama menuju tujuan bersama yang disebut visi dan misi. Pada era ini, tidaklah musim lagi pemimpin dengan cara paksa, membuat kabar petakut, hanya membangun citra, atau semacamnya. Butuh kharisma dalam mengayomi, mengajak, dalam bahasa-bahasa yang santun. Elegan. Kepemimpinan yang mengedepankan tegas tak menentu hanya karena citra diri, kelompok, sudah dapat dilihat hasilnya dan sudah berakhir. Kepemimpinan hari ini, masa depan, adalah kepemimpinan yang dekat, melekat, dengan elemen yang dipimpinnya. Mereka yang dipimpin tidak merasa takut apalagi kecut. Mereka yang dipimpin merasa aman, tentram, bekerja karena didekatkan dengan semangat kebersamaan. Bukan kerja paksa ala remusha. Kita tentu memahami bagaimananya pahitnya nasib, setelah berkuasa akhir harus berurusan dengan citra buruk, hukum dan penjara. Agar kepemimpinan berakhir dengan baik (khusnul khatimah) adalah cita-cita setiap pemimpin. Namun dalam kepemimpinan yang dinilai jelek, tidak terasa kepemimpinannya mampu mengayomi, membawa keberhasilan, bagaimana mungkin bisa khusnul khatimah? Dalam hal ini, tentu saja khusnul khatimah adalah perjuangan bagi seorang pemimpin agar akhir dari kepemimpinannya bisa baik. Adalah sulit, jika ilmu kepemimpinan, manajemen kepemimpinan, tidak dijalani dengan semestinya. Sebab, menjadi pemimpin, adalah menjadi pejabat publik yang harus siap dilihat, diteliti, dicermati, setiap tindak tanduk kepemimpinannya. Bila ada salah, tentu akan dikritik oleh mereka yang dipimpin. Sebab, di era ini, mereka yang dipimpin lebih kritis. Tak mau membiarkan masuk jurang bersama, ketika pemimpinnya tidak peka. Jadi, untuk kepemimpinan yang berakhir khusnul khatimah, paling tidak, mesti menyadari apa konsekwensinya. Setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya dari apa yang dipimpinnya (hadits), paling tidak di akhir jabatannya. Jika berhasil, ia dipuji, jika tidak ia caci. Jadi pemimpin, seperti mendirikan rumah di pantai. Harus siap kena ombak dan badai. Pemimpin yang kuat, percaya diri, punya kharisma, dapat dirasakan kepemimpinannya di tengah masyarakat yang dipimpinnya, tentu saja akan berakhir dengan khusnul khatimah. Adalah hukum alam, jika tidak berhasil signifikan, nyata, seorang pemimpin akan mengalami nasib sebaliknya. Su‘ul khotimah! (*) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar