TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat dan Guru Besar Luar Biasa Program Pascasarjana Bidang Hukum UI, Prof DR JE Sahetapy SH, mengiritisi keberanian Kapolri Jenderal (Pol) Timur Pradopo terkait kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi (MK) yang tengah ditangani Kepolisian.
Menurut Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) ini, seharusnya Polri berani menelusuri dan menjerat aktor dan pihak-pihak yang diuntungkan dari pemalsuan surat MK tersebut. Ia menilai Polri justru berputar-putar pada pihak pemalsu surat MK saja, seperti lilitan kepang rambut.
"Apa mesti saya kirim surat kepada Presiden (SBY)? Pakai surat ini supaya lebih berani. Kapolri itu hebat. Tapi, hebatnya cuma di kumisnya saja," ujar Sahetapy saat menjadi pembicara acara 'Jakarta Lawyers Club" di stasiun televisi TVOne, Selasa (4/10/2011) malam.
Prof Sahetapy melihat tak ada keberanian dari Timur selaku orang nomor satu kepolisian untuk menggerakkan institusi Kepolisian menguak semua pelaku kasus surat palsu MK tersebut.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga dan sejumlah perguruan tinggi lainnya ini mengingatkan, bahwa dirinya menyuarakan Polri keluar dari ABRI pada 1993, dengan harapan Polri bisa lebih baik, tanpa suatu pretensi ataupun motivasi apapun, termasuk kepentingan politik.
Namun, saat ini Sahetapy melihat Polri belum bisa memenuhi harapan itu, bahkan cenderung terbawa arahan politik tertentu. Ia mengistilahkan kondisi Polri saat ini dengan istilah 'Power by remote control'.
"Tahun 1993, saya yang minta polisi keluar dari ABRI, dengan harapan agar lebih baik. Sekarang justru lebih brengsrek," seloroh Sahetapy yang disambut gelak tawa tamu undangan di forum tersebut.
Surat palsu yang dimaksud, adalah surat Nomor 112/MK.PAN/VIII/2009 tertanggal 14 Agustus 2009, tentang penjelasan cara penghitungan hasil suara Pileg untuk Dapil Sulsel I, yang digunakan KPU dalam menetapkan caleg dari Partai Hanura, Dewie Yasin Limpo, sebagai pemenangnya.
Kasus ini telah diadukan MK ke Bareskrim Polri sejak 12 Februari 2010 dan mulai diselidiki sejak Mei 2011. Ito Sumardi saat masih menjabat Kabareskrim Polri mengatakan ada tiga kelompok yang diduga terlibat dalam kasus ini, yakni pembuat, pengguna dan orang-orang yang mendorong muncul surat palsu MK ini. Hingga posisi Kabareskrim diisi Komjen Sutarman, Polri baru sebatas menetapkan tersangka dari kelompok pembuat surat palsu MK, yakni mantan juru panggil MK, Masyhuri Hasan, dan mantan panitera MK, Zainal Arifin Hoesein.
Anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Permadi, juga menyatakan hal senada dengan Sahetapy perihal kelambanan dan ketidakberanian Polri menjerat seluruh pelaku kasus ini.
Permadi menilai Polri lah yang sengaja "meleletkan" kasus ini kendati telah jelas siapa saja pelaku kasus tersebut. Padahal, kasus ini diadukan dari lembaga terhormat, MK. "Kenapa? Karena polisi itu di bawah Presiden," ujar Permadi.
Di forum tersebut, akhirnya Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen (Pol) Ketut Untung Yoga Ana, mendapat kesempatan untuk menanggapi kritik pedas menyasar ke insitusi dan pimpinannya, Timur Pradopo.
Selaku perwakilan Polri, Yoga menyampaikan terima kasih atas kritik Sahetapy. Kritik Sahetapy itu, kata Yoga, akan menjadi evaluasi Polri agar lebih baik.
Namun, Yoga juga mengingatkan bahwa penyidik Polri menangani kasus sesuai Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHAP), di mana jika cukup bukti baru bisa menetapkan seseorang menjadi tersangka dan tidak bisa dipaksakan. "Lelet atau tidak, silakan diukur berdasarkan peraturan Polri yang ada. Di KUHAP itu jelas," kata Yoga.
Ia minta pihak luar tak mencampurkan ranah politik ke ranah pidana dalam kasus ini. Dan Polri tidak akan terpancing komentar-komentar beraroma politik. "Emosi, biasalah. Tapi, kami ingin tunjukkan, kami tidak ingin masuk ke area politik," tukasnya.
Penulis: Abdul Qodir | Editor: Hasiolan Eko P Gultom
Berita Terkait: Pemalsuan Putusan MK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar