Pentas Gladiator Gunung Sejumlah penari asal lereng Gunung Merbabu yang tergabung dalam kelompok seni Wargo Budoyo menampilkan tari Gupolo Gunung saat digelar pentas seni Gladiator Gunung di panggung terbuka Studio Mendut, Mungkid, Magelang, Jateng, Kamis (1/12) malam. Pagelaran tari Gladiator Gunung oleh seniman petani komunitas Lima Gunung tersebut berkisah tentang kehidupan masyarakat pegunungan di Jawa yang sangat religius dan memiliki keberanian serta semangat kebersamaan untuk menaklukkan alam. (FOTO ANTARA/Anis Efizudin)
Isi syair tembang pangkur berbahasa Jawa itu tentang doa kepada Tuhan meminta tolak bala. "Singgah singgah kala singgah, yan suminggah durga kala sumingkir, sing asirah sing asuku, sing atankasatmata, sing atenggak sing awulu, sing abahu, kabeh podho sumingkira, ing telenging jalanidhi".
Penari perempuan Noviana Ayomsari (Nana) dengan improvisasi gerak tarian yang lembut, mengikuti iringan siter (Katul) dan seruling (Marwoto) itu, memainkan diri sebagai sinden dalam performa "Solah Rasa".
Bait kedua meluncur dari Nana, mahasiswi jurusan tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, ketika ia tiba di tengah panggung terbuka Studio Mendut, sekitar 3,5 kilometer timur Candi Borobudur, meletakkan dupa, lalu memainkan gerakan lembutnya sambil bersimpuh.
"Sirna memalaning praja, suka syukur mring Hyang Agung, rinasa sajroning kalbu, tuhulamun maha welas, asih mring sagung tumuwuh, kacariyan sigra manembah, amemalat tyas matrenyuh`," demikian syair "sekar tengahan juru demung" itu yang kira-kira berarti manusia mengucap syukur kepada Tuhan atas semua yang telah diberikan menyangkut alam dan isinya. Manusia hatinya terenyuh dan kembali menyembah Tuhan.
Itu adalah salah satu performa, bagian dari pementasan besar berjudul "Gladiator Gunung" oleh seniman petani komunitas "Padepokan Warga Budaya" Dusun Gejayan, Desa Banyusidi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, di lereng barat Gunung Merbabu, pimpinan Riyadi.
Sejumlah wisatawan mancanegara yang sedang menginap di Hotel Amanjiwa, sekitar tiga kilometer selatan Candi Borobudur, didampingi langsung oleh pimpinan hotel mewah itu Mark Swinton seakan terpaku dalam setiap performa pementasan sekitar 100 seniman petani Gunung Merbabu itu.
Betapa lingkungan gunung dengan pertanian, tradisi budaya, dan keseniannya yang telah memoles mereka menjadi petarung andal atas alam kehidupan mereka, mewarnai kental pergelaran "Gladiator Gunung" berdurasi sekitar 1,5 jam.
Boleh jadi seluk beluk tentang alam gunung antara lain dengan aneka satwa, pepohonan, mega, kabut tebal, dan aktivitas raga serta jiwa manusianya dituangkan oleh Sucipto, lelaki tua berpakaian hitam dengan penutup kepala, iket, khas petani.
Sambil memegang properti setumpuk kembang mawar warna merah dan putih di cobek, ia tampil pertama dalam pergelaran itu untuk memainkan performa "Ondo Gunung". "Ondo" artinya tangga.
Ia duduk bersila di atas gelaran selembar kecil kain hitam ditaburi bunga mawar sambil mengucapkan secara hafal geguritan panjang "Ondo Gunung".
"Ondo gunung, ngisor ombo mubeng pucuk ciut sak plenik, ulane ndlosor ngrengkol rengkol, kidange nglunjak nglunjak, bido manol kethere nylamber langit, landake ndakur ndodos guwo bumi lan barisan luwak jejer urut sragam ireng putih dipimpin Kyai Jowongso. Manungso munggah midun munggah midun kringete ting ngretes, sikile mblonyor geten utek lan ati panas, munggah midun mingslep, jemedul ilang koyo gemruduk adem ayem mamang nek wani wedi, nek wedi wani`," demikian dua bait pembuka geguritan itu.
Ia pun secara tampak santun kemudian berjalan perlahan-lahan, menyebarkan bunga mawar di berbagai sudut panggung terbuka "Taman Metamorfosa" Studio Mendut tersebut, setelah mengucapkan bait pamungkas atas geguritan itu.
"`Tembangke larase, tabuhen kendange, jogetke ragane, tindakke ilmune, lan sebarke sukmo wangsite`". Artinya, "Tembangkan lagunya, tabuhkan iringan kendang, tarikan raganya, melaksanakan ilmunya, tebarkan wangsitnya".
Musik yang berirama kuat dan dinamis dari paduan tabuhan kontemporer beberapa jenis kendang, drum, kenong, dan saron diperkuat yel-yel "senggakan" secara beragam para wiyaga dan wiraswara Sismanto, mengiring beberapa lakon tarian atas pergelaran itu yakni "Kipas Mego", "Geculan Bocah", "Kuda Lumping", dan "Soreng".
Setiap sajian tarian dimainkan para seniman petani baik laki-laki, perempuan, remaja, maupun anak-anak itu dengan beberapa karangan konfigurasi.
Sebelum suguhan tari terakhir mereka "Soreng", dua penari Anis Nurkaharimah dan Tika Kurnianingsih membawakan performa "Siter". Duet tarian mereka yang gemulai mengikuti petikan siter oleh Katul seakan menjadi tarian kontemplasi yang diserap oleh masyarakat petani Merbabu.
Sutradara "Gladiator Gunung" yang juga pemimpin "Padepokan Warga Budaya" Riyadi mengatakan, alam gunung membentuk karakter kuat dan khas masyarakat petani setempat. Pribadi dan perilaku mereka terbentuk menjadi figur seorang petarung atas alamnya.
Seluruh gerak tarian itu, katanya, menggambarkan kekuatan mereka sebagai petarung.
Masyarakat petani Gunung Merbabu yang setiap hari harus pergi ke kebun pertanian dengan berjalan kaki, naik turun gunung, kata Riyadi yang juga Kepala Desa Banyusidi itu, membuat raga dan jiwa mereka kuat.
Ia mencontohkan tentang kekuatan kaki dalam "Soreng", seni tari khas masyarakat Merbabu yang menggambarkan latihan perang prajurit Aryo Penangsang (Jipang Panolan) untuk melawan pasukan Hadiwijaya (Pajang).
Entakan kaki para penari, katanya, mengikuti ritme dinamis dan keras tabuhan alat musik bende, saron, dan "truntung" yang dipimpin Suprat.
"Kerja keras sebagai petani membuat kaki mereka kuat, tangan-tangan mereka kukuh. Raut wajah mereka menjadi kekar bahkan legam karena terpaan matahari, semilir angin, dan sapuan kabut gunung. Raganya sehat karena setiap hari berkeringat, jiwa mereka tegar dan langkah mereka arif karena harus `bertarung` dengan alam gunungnya," kata Riyadi.
Ia mengatakan, jika mereka terpoles menjadi sosok petarung, bukanlah untuk melawan siapa saja, sesama, dan seisi alam, apalagi Sang Pencipta.
Tetapi, katanya, mereka petarung atas keangkuhan dan keakuan yang seringkali hadir secara terduga dan tak terduga dalam hidup sehari-hari manusia.
"Menghadapi gunung dan alam ciptaan Tuhan, membuat mereka, para petani itu, diam-diam bertarung dahsyat dengan diri sendiri dan meraih medali kearifannya," katanya.
Sang penyair Dorothea Rosa Herliany mengungkapkan melalui karya puisinya berbahasa Inggris "The Mountain Gladiator", saat mengantar penonton memasuki pintu pergelaran itu.
"`I am a silent gladiator, I need no words, to speak my destiny, my language is my body, actions are my dance, woven between loud gamelan and the drums, silently proclaiming a song of nature`s goodness. I am a gladiator`".
"Aku cuma gladiator bisu, tak kubutuh kata untuk pekikkan takdirku, bahasaku adalah tubuh, isyaratku adalah tarian, meliuk di antara reriuh gamelan dan tambur, tembangkan kebajikan alam dalam isyarat diam. Akulah gladiator". (M029*H018/Z002)
Editor: B Kunto Wibisono ANT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar