Mungkin kita mengira bahwa diri kita sudah tidak bertaklid dalam menjalankan agama ini.
Kita juga merasa bahwa diri kita sudah cukup berilmu, paling tidak tentang amalan-amalan ibadah yang biasa dilakukan. Kita telah membaca buku-buku fikih terkait, bahkan mengoleksi buku-buku tersebut.
Tidak sembarang buku malahan, tapi hanya buku-buku terpilih karya para ulama terpercaya. Lantas, apakah kita sudah bebas dari belenggu taklid?
Kita pun telah akrab dengan dalil-dalil tentang suatu amalan tertentu. Dalil-dalil yang kita temui dalam buku-buku terpilih karya para ulama terpercaya itu benar-benar valid kelihatannya. Setiap pendapat selalu saja menyertakan rujukan kitab-kitab tertentu, bahkan kutipan hadisnya lengkap dengan referensi dan nomornya. Tak terlupa takhrijdan kualitas hadis-hadis termaktub. Dahaga dalil telah menemukan telaganya. Tapi, adakah kita telah merdeka dari kungkungan taklid?
Sepertinya, selama ini kita terlalu sederhana dalam memahami pengertian taklid sebagai mengikuti (pendapat) seseorang tanpa tahu dalil (dasar, alasan, bukti, atau hukum) yang digunakan orang itu. Sehingga, ketika kita mengikuti suatu pendapat dengan mengetahui dalil yang dipakai seseorang itu apalagi orang itu adalah ulama, kita merasa sudah tidak lagi bertaklid. Kita merasa telah berilmu karena tahu dalil tadi. Lalu, benarkah kita tak lagi terjerat belitan taklid?
Bicara taklid, semestinya bicara ilmu terlebih dahulu. Bicara ilmu tentu tak sekadar bicara tentang tahu. Jika tahu hanya berkisar pada tataran koleksi dalil, alat-alat kreasi manusia dari masa ke masa seperti lembaran kertas, buku, flash drive, dan lain sebagainya tentu lebih akurat merekam pengetahuan itu daripada otak manusia yang kompleks. Belum lagi manusia mempunyai perbedaan tingkatan daya hafal untuk mengoleksi berbagai pengetahuan yang terus berkembang. Serta kesenjangan kecerdasan analisis terhadap suatu persoalan.
Karena itulah, kita butuh lebih dari sekadar tahu untuk dapat terbebas dan merdeka dari belenggu dan jeratan taklid. Kembali, di sini akan kita selami kedalaman ilmu yang Allah anugerahkan kepada salah seorang ulama zaman ini, Yusuf al-Qaradhawi, dalam Fii ath-Thariiq ilaa-llaah, al-Hayaah ar-Rabbaaniyyah wa al-‘Ilm sebagai buku panduan sederhana dalam jalan menuju Allah melalui kehidupan para alim rabani dengan kendaraan ilmu.
Dalam pembahasan mengenai “Hak-Hak Ilmu terhadap Orang yang Berilmu”, Al-Qaradhawi menempatkan markah Al-fiqhu (fikih) pada posisi pertama dibanding hak-hak lainnya. Ia menjelaskan bahwa seorang yang mencari ilmu atau orang berilmu agar memaksimalkan segala kemampuannya untuk menguasai ilmu dengan baik, mumpuni, dan paripurna. Jika sudah begitu, ia akan bertransformasi dari tahapan ‘ilmu’ kepada tahapan ‘fikih’. Yaitu fikih sesuai dengan maksud Alquran dan sunahnabawiah, bukan fikih dalam pengertian istilah sebagai pengetahuan tentang hukum syarak.
Jadi, fikih sebagaimana dimaksud oleh Al-Qaradhawi adalah fikih yang sesuai dengan spirit Alquran dan sunah nabawiah yang bermakna mendalami ilmu atau ilmu yang mendalam. Seperti firman Allah dalam surat At-Taubah (9) ayat 122, “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memeperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali agar mereka dapat menjaga dirinya.” Juga seperti sabda Nabi, “Sesiapa yang Allah inginkan kebaikan untuknya, maka Allah akan memahamkannya tentang agama.”
Jelas sudah, sekadar tahu belumlah cukup. Harus pula paham yang mendalam atas pengetahuan itu. Katakanlah kita sudah tahu dalilnya, tapi sudahkah kita paham seluk-beluk dalil itu? Bukankah dalil ituterutama nas Alquran dan hadis berbahasa Arab? Seberapa paham kita bahasa Alquran ini? Sejauh mana telah mempelajari bahasa yang dipakai Nabi dalam menjelaskan titah Allah? Bahkan rata-rata rujukan dan referensi buah karya para ulama termaktub dalam bahasa ini.
Jangan pernah berpikir untuk berargumen dengan terjemahan-terjemahan yang telah ada. Selain terjemahan tak akan pernah seperti aslinya, sedikit sekali rujukan dan referensi tentang keilmuan Islam yang telah dialih bahasakan. Itupun, kebanyakan hanyalah ikhtisar semata, bukan buku-buku induk atau pokok. Tak jarang pula kesalahan interpretasi dari penerjemah dan kekeliruan percetakan semakin mengurangi bobot akurasi nilai dan isi buah pemikiran para ulama yang tertuang dalam buku-buku tersebut.
Duhai, jangan terlalu berbangga dulu bagi yang sudah bisa sedikit atau banyaknya berbahasa Arab. Memahami dalil sebagai pijakan dalam melakukan amalan tertentu membutuhkan kemampuan berbahasa yang lebih dari sekadar bisa. Sudahkah kita mengerti tentang kaidah-kaidah ushuuliyyah (pokok) kebahasaan? Abdul Wahhab Khallaf dalam‘Ilmu Ushul al-Fiqh pada pembahasan bagian ketiga di buku tersebut menjelaskan seluk beluk hal ini. Di antaranya; Jalan Dalalah Nas, dengan rincian bahasan tentang Ibarat Nas, Isyarat Nas, Dalalah nas, dan Iqtidha’ Nas.
Kemudian dilanjutkan tentang Mafhuum al-Mukhaalafah dengan subbahasan mengenai Mafhum Sifat, Mafhum Ghaayah (batasan), Mafhum Syarat, Mafhum Adad, dan Mafhum Lakab. Juga berkenaan dengan Nas yang Jelas dan yang Tidak Jelas Dalalahnya dan Tingkatan-tingkatannya, Nas yang Musytarak (banyak makna) dan Dalalahnya, Nas yang Am dan Dalalahnya, serta terakhir Nas yang Khas dan Dalalahnya. Kepakaran tentang kaidah ushuuliyyah kebahasaan itu pun belum lagi memadai tanpa penguasaan akan kaidah-kaidah ushuuliyyah tasyri’iyyah (pokok pensyariatan).
Itu baru dalam hal memahami bahasa dalil yang berupa nas Alquran dan hadis. Bagaimana pemahaman kita terhadap Alquran itu sendiri? Sudah berapa juz hafal Alquran? Telahkah mengkhatamkannya sekali sebulan? Membacanya dengan tajwid bukan?
Hal sama juga berlaku untuk sunah nabi. Berapa ribu hadis yang telah kita hafal? Atau paling tidak sudahkah hafal empat puluh hadis pilihan susunan Imam An-Nawawi lengkap dengan sanad, matan, dan rawinya? Nantilah menyinggung tentang takhrij sunah yang jauh lebih rumit di zaman ini. Cukup banyak yang melakukan takhrijsehingga acapkali membuat para penuntut ilmu kebingungan memilih penilaian atas suatu hadis. Satu ulama menyahihkannya, di lain pihak ada pula yang mendaifkan.
Tanpa perlu berpanjang-panjang lagi, sudilah kita mengaku ternyata diri ini belum berilmu sama sekali. Tak perlu malu, karena semua orang juga mulanya tidak tahu, tidak berilmu. Tugas kita hanyalah mecari tahu, sesuatu yang Satu, Sang Maha Berilmu. Inilah ilmu yang benar, ilmu yang mengantarkan kita kepada-Nya, mengetahui hak dan kewajiban, sebagai hamba yang patuh. “…dan katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.” (Q.S Thaha [20]: 114)
Sementara mencari tahu, sering-seringlah bertanya kepada orang yang telah dianugerahi pengetahuan. Mengambil pelajaran berharga dari pengalaman hidup mereka agar kita tak harus selalu memulai dari nol. Di samping, bimbingan mereka mempercepat sampainya kita pada tujuan, meminimalkan kita dari kekeliruan-keliruan pemula, dan mendidik kita untuk menghargai perjuangan mereka yang berpengaruh besar terhadap perjalanan hidup kita. Seperti firman Allah dalam dua tempat berbeda, yaitu pada surat An-Nahl [16] ayat 43 dan Al-Anbiya’ [21] ayat 7, “…maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui.”
WAHID MUNFARID
Tidak ada komentar:
Posting Komentar