Orang-orang dusun (Melayu) memanggil mereka orang Kubu. Orang umum, menyebut Suku Anak Dalam, termasuk dalam statistik. Tapi, mereka ini senang disebut dirinya “kita” atau Orang Rimba. Populasi mereka tersebar di sepanjang jalur lingkar tengah Sumatera yang meliputi Sarolangun, Merangin, Bungo, Dharmasraya, dan di hutan-hutan perawan di Bukit Barisan.
Jumlah mereka tak terdata. Lokasi pemukimannya Orang Rimba sangat jauh dan tak terjangkau. Maka, jangan menyebut tentang pembangunan bagi mereka. Kini, kondisi mereka telah terdesak dari pemukimannya.
Kendati masih terlihat “primitif” namun teknologi informasi berupa handphone (HP) telah menyentuh Orang Rimba. Mereka kini seolah berada dalam dua dunia.
Marnis, salah seorang suku Orang Rimba yang bermukim di Sungai Jernih, Kecamatan Koto Besar Kabupaten Dharmasraya mengatakan, sampai detik ini mereka tidak pernah disentuh bantuan oleh pihak pemerintah maupun swasta, bahkan lebih sering dibodohi oleh orang-orang yang datang ke pemukimannya untuk mengambil barang-barang yang bernilai dipemukimannya.
Selain memanfaatkan hasil hutan, untuk mempertahankan hidup Orang Rimba juga melakukan aktivitas pertanian dan perkebunan. Namun setelah membuka lahan dan mempergunakannya, biasanya tidak bertahan lama karena diambil lagi atau diusir oleh pemilik lahan.
“Walaupun hidup di hutan, kami juga menginginkan tempat untuk mendirikan rumah serta lahan yang bisa digarap. Kejadian pengusiran yang sering dialami membuat kami sering berpindah-pindah dari satu hutan ke hutan lain,” kata Marnis.
Sementara itu, perkumpulan Peduli Suku Anak Dalam Dharmasraya, Rio Saputra mengatakan keterbelakangan dan ketidakpedulian pemerintah pada Orang Rimba SAD sudah berlangsung lama, bahkan telah berlangsung lebih dari setengah abad.
“Sebenarnya mereka telah berinteraksi dengan orang luar untuk menjual hasil hutan yang didapatnya, akan tetapi mereka sering dibodohi dan diancam, makanya mereka takut keluar hutan dan sedikit dari mereka yang memberanikan diri untuk keluar dari hutan,” kata Rio.
Ditambahkannya, jika pendidikan tetap tidak masuk ke Orang Rimba, maka dapat dibayangkan angka kemiskinan dan kebodohan akan terus bertambah. Karena semakin lama, populasi mereka juga makin bertambah. Selain itu, persoalan kesehatan juga perlu menjadi perhatian semua kalangan untuk SAD ini. Mereka yang awalnya bergantung kepada hasil hutan untuk mencari biji-bijian dan dedaunan untuk obat, sekarang telah mengalami kesulitan karena kuantitas hutan semakin sedikit akhir-akhir ini.
“Asal diketahui, ibu-ibu Orang Rimba pada saat melahirkan hanya seorang diri alias tidak ada seorangpun yang membantu persalinannya. Untuk mengeluarkan bayi di dalam rahimnya, ia berusaha sendiri mendorong anaknya keluar. Setelah keluar, baru ada yang membantu memotong tali pusar sang anak dan membalutnya dengan kain,” kata Rio.
Menurut, Pandong Spenra, Direktur Perkumpulan Peduli Orang Rimba di Dhasmasraya, kini hutan-hutan tempat Orang Rimba, berburu dan bersosialisasi sudah berubah menjadi perkebunan maha luas, sebagian menjadi area transmigrasi.
“Beberapa kelompok tinggal di antara perkebunan kelapa sawit atau karet, tinggal di gubuk-gubuk beratap plastik, sebagian menempel di lahan transmigran,” kata Pandong.
Sementara itu, Ade Siti Barokah, dari Sumatera Sustainability Support (SSS) Jambi dalam catatannya di laman Facebooknya menulis, Orang Rimba sering tertangkap tangan mencuri ayam atau jengkol. Sungguh mengenaskan, saat tertangkap dan dipukuli warga, mereke berkilah. “Ini tanah moyang kami.”
Mereka bagai hidup di dua dunia. Di satu sisi, mereka masih lekat dengan tradisi dengan banyak pantangan dan tabu, namun di sisi lain mereka telah hidup bersama masyarakat di desa-desa (perkebunan atau transmigran). Mereka makan nasi, tapi masih hidup dengan berburu babi, mencari jernang dan labi-labi (penyu).
“Mereka tak percaya dokter, tapi sudah mengenal hand phone (meski sebatas didengar suara radionya). Mereka jarang mandi tapi sebagian sudah bisa mengendarai motor. Mereka tak berpendidikan, buta huruf, buta angka, dan kerap ditipu dalam jual beli,” tulis Ade Siti Barokah.
Diskriminasi masih kerap mereka alami. Tak ada data pasti mengenai jumlah mereka, karena sensus kependudukan tak pernah serius menjangkau mereka. Mereka tak punya KTP, tak bisa mengakses Jamkesmas, BLT, Raskin dan semacamnya. (Laporan Hajrafiv Satya Nugraha)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar