Pangkalbala penyimpangan konstitusi yang nyata adalah penyeragaman pemerintahan terendah dalam sistem pemerintahan desa di masa orde baru sampai sekarang. Undang-undang pemerintahan daerah dan undang-undang pemerintahan desa yang sudah ada sama sekali tidak mengakomodir status dan eksistensi satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pemberlakuaan Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa lebih ditujukan untuk mendukung desentralisasi secara administrasi belaka, seperti layaknya penyelenggaraan kota administratif, otorita dan kecamatan.
Sementara menurut konstitusi seharusnya terhadap satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa, dimungkin diadakan undang-undang tersendiri. Paling tidak, sekalipun dimuat dalam satu ketentuan undang-undang pokok, negara harus mengakomodir keistimewaan itu dalam konteks subtansi yang tidak menyeragamkan dengan pemerintahan desa.
Mengingat ketentuan undang-undang desa yang berlaku hari ini cenderung penyeragaman. Praktek tersebut jelas sebuah penyimpangan dari konstitusi. Apa lagi alasan penyeragaman didasari persepsi yang menyamakan negara dengan pemerintah.
Negara dalam konteks desentralisasi sebenarnya tidak boleh diartikan sebagai pemerintah melulu. Sebab desentralisasi adalah pendelegasian kekuasaan antara pusat kepada daerah-derah otonom, serupa propinsi yang selanjutnya dibagi pula kedalam daerah yang lebih kecil yang bersifat otonom (streek dan locale rechtsgemeenschappen). Termasuk mendelegasikan kekuasaannya kepada daerah-daerah yang bersifat istimewa.
Konstitusi memang mengakomodir pemberlakuan pemerintahan desa atau yang disebut dengan nama lain, sebatas menjalankan fungsi administrasi saja. Tidak salah, bila pemerintahan desa dalam konteks administratif yang demikian, diterapkan di daerah-daerah yang keistimewaannya sudah tidak ada. Seperti halnya pemerintahan desa yang diberlakukan di wilayah Pulau Jawa maupun di wilayah Indonesia lainnya.
Namun menjadi berbeda konteksnya, bila pemerintahan terendah itu merupakan daerah-daerah dengan satuan-satuan yang istimewa. Sebab secara prinsif bentuk pemerintahan satuan-satuan yang istimewa, dimaknai sebagai pemerintahan yang terintegrasi dengan kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, seperti nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan huta di Tapanuli.
Instrumen hukum terhadap pemerintahan terendah yang memiliki keistimewaan, tegasnya dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum diamandemen maupun setelah diamandemen. Seperti yang dirumuskan dalam Pasal 18B UUD 1945, yakni negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa dan selain itu negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI. Penjelasan UUD 1945, disebutkan pula ada 250 Zelfbesturende landchappen dan volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya yang mana daerah-daerah itu dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.
Ironisnya, sampai detik ini artikulasi hak istemewa telah dikaburkan. Bahkan pemaknaannya bergeser menjadi sangat sempit dan terbatas. Desa yang sebenarnya dulu bersifat istimewa, sekarang pemaknaannya bergeser menjadi pemerintahan administrasi belaka. Hak-hak istimewa yang dimiliki desa pun menjadi lenyap. Kepala Desa hanyalah pelayan administrasi belaka. Barang kali alasan ini pulalah, kenapa kepala desa di Jawa lebih menginginkan status pegawai negeri sipil (PNS) ketimbang kepala daerah otonom.
Bertitik-tolak dari berbagai sumber hukum di atas. Seharusnya pengakuan terhadap hak-hak tradisional komunitas masyarakat hukum adat, dijalankan secara berkeadilan (social justice) oleh negara. Tidak ada alasan bagi pembuat undang-undang maupun pemerintahan untuk mencederai hak-hak masyarakat lokal. Bahkan kalau ada undang-undang yang menghilangkan eksistensi hak-hak tradisional komunitas yang masih hidup, maka konsekuensi logisnya adalah undang-undang tersebut harus direvisi dan dicabut, karena jelas bertentangan dengan konstitusi negara yang lebih tinggi
Keistimewaaan dan Kebinnekaan
Beranjak dari pengakuan istimewa terhadap nagari di Minangkabau, seharusnya negara mengakomodir pemerintahan nagari secara berkeadilan dan proporsional, diluar ketentuan undang-undang desa sekarang yang cenderung mengatur pemerintahan secara administratif belaka. Khusus di Sumatera Barat, undang-undang desa patut dikesampingkan secara subtansi maupun formalitas, karena undang-undang desa yang berlaku dibuat dengan semangat penyeragaman yang salah kaprah.
Sementara dalam status yang berbeda, pemerintah nagari tergolong istimewa dalam kultur dan kebinnekaan Indonesia. Pemerintahan nagari sendiri bukanlah tergolong kedalam bentuk pemerintahan yang administratif belaka, melainkan adalah suatu pemerintahan yang terintegrasi dengan hukum adat, budaya dan ulayat (SDA).
Begitu pula secara prinsif, hukum adat Minangkabau adalah bagian yang terintegrasi dengan konstitusi Indonesia. Sehingga kententuan hukum adat yang menyatakan adat salingka nagari (adat selingkar nagari) misalnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi negara yang tidak tertulis. Termasuk ketentuan adat lainnya yang mendeskripsikan ulayat adalah berpemilik melalui istilah “tak sejengkal tanah yang tidak berpunya”. Begitu pula secara kewilayahan, ketentuan adat yang mengatakan bahwa nagari berbatasan dengan nagari lainnya.
Jadi secara konstitusional tidak ada ruang kosong bagi penyeragaman pemerintah desa di Sumatera Barat. Sebab begitulah hukum adat Minangkabau hidup dan berlaku secara turun-temurun, dari dahulu sampai sekarang.
Namun demikian, gayung bersambut legitimasi pemberlakuan pemerintahan nagari dengan peraturan daerah (perda) tentang Pemerintahan Nagari di Sumatera Barat, praktis menjadikan nagari-nagari berhak membuat regulasi-regulasi baru di tingkat nagari. Sementara disadari bahwa kemampuan eksekutif dan legislatif daerah maupun nagari untuk memahami hukum adat dan peraturan perundang-undangan masih sangat minim. Hal ini cukup berbahaya dan patut diwaspadai. Mengingat bisa menjadikan Wali Nagari raja-raja kecil yang polanya bisa tidak terkendali, akhirnya akan menjadi bumerang dan membuat kekacauan pengelolaan SDA dan otonomi daerah.
Apa lagi, kembali ke nagari selama ini masih terkesan pepesan kosong, sebatas persoalan bertukar baju. Pelaksanaan pemerintahan nagari nyatanya tidak jauh beda dengan sitem pemerintahan desa. Ibarat “batuka baruak jo cigak,”.
Bahkan pola menyeragamkam pemerintahan nagari dengan desa, justru sangat merugikan nagari. Sebab jumlah dana alaokasi umum (DAU) nagari sama dengan DAU desa di Jawa yang teritorialnya lebih kecil. Sementara luas wilayah nagari sendiri bisa 4 atau 5 desa. Tepatnya pemerintahan desa sama dengan keberadaan jorong dalam pemerintahan nagari. Akan tetapi apapun harapannya, jangan karena semangat mendapatkan DAU, nagari di dorong pula dimekarkan. Sekedar menjalankan prakmatisme perebutan kue DAU semata.
Akhirnya, apa boleh buat, kereta negara selalu keluar dari relnya. Negara selalu memonopoli dan menegasikan hak-hak rakyat. Sekalipun konstitusi mengakui hak komunitas masyarakat adat, pada saat yang bersamaan, justru dipertentangkan dengan kepentingan nasional yang tidak jelas batas-batasannya. Hingga yang terjadi adalah konsep kepentingan nasional itu direduksi menjadi kepentingan umum - yang juga tidak jelas batas-batasnya. Kemudian direduksi lagi menjadi kepentingan sekelompok kecil orang atau kepentingan kekuasaan dan kelompok bisnis tertentu. Sebab pemerintahlah yang boleh sewenang-wenang menetapkan batasan dari kepentingan umum tersebut.
Lagi pula, Selama ini kekuasaan telah merusak prinsip-prinsip dan asas-asas hukum dasar dan asli yang masih berlaku di masyarakat. Begitu pula pemerintah daerah, kepentingannya hanyalah mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), mendapatkan DAU dari pusat, akan tetapi lupa bahwa tugas mereka yang hakiki adalah membangun jiwa dan raga bangsa. Jiwa kebangsaan itu sendiri adalah kebinnekaan yang didalamnya termasuk keberagaman budaya dan keberagaman tatanan masyarakat hukum adat.
Inilah potret buram pemerintahan kita, tidak lebih baik dari pemerintahan kolonial. Tidak mampu mengelola kebinnekaan dengan baik. Justru Belanda lebih terkesan mampu menjaga kearifan lokal dan menghormati hukum lokal yang berlaku di nusantara. Mereka tidak mau terlalu mencampuri tatanan hukum adat yang masih hidup.
FAUZAN ZAKIR
(Advokat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar