Di kampung saya ada seorang kakek yang akrab dipanggil Gaek. Ia pejudi. Tidak hanya satu kedai atau lapau yang tahu kepiawaiannya dalam memainkan kartu dan mengocok mental lawan. Ia tidak akan beranjak jika kantong lawannya belum kering. Bringas, buas dan punya hoki tinggi. Saya sarankan jangan pernah bermain dengannya jika tidak bawa uang berkoper-koper dan mental bertruk-truk.
Pernah salah seorang pejudi dari kampung sebelah bernama Pulun bertandang ke lapau tempat Gaek biasa bermain. Niatnya mengalahkan Gaek. Kalaulah Gaek mendengar tantangan semacam itu pantang baginya untuk mengelak. Meja digelar, kartu dibagikan, orang-orang di lapau berkerumunan. Gaek dan Pulun seperti koboi yang bertarung di depan bar dan di bawah panas terik. Sengit dan menegangkan. Ia mampu membaca kartu-kartu Gaek. Telah sepuluh putaran berturut-turut, Gaek kalah. Hanya mental yang tersisa dalam kantong-kantong celana dan baju. Kalau sudah seperti itu Gaek akan mengocok mental lawannya. Dihamburkan nyawanya ke meja. Ruapanya lawan Gaek bukanlah orang yang lemah lutut, digertak langsung kecut. Pejudi-pejudi kacang ternganga melihat dua nyawa tertonggok di meja. Putaran sebelas dimulai. Hanya laron di lampu lapau yang tak diam. Rancak. Kartu Gaek rancak-rancak. Jelas nyawa-nyawa di meja telah berada di ujung jarinya. Kartu terkembang, kemenangan jadi nyata. Nyawa Gaek yang tertonggok di meja melompat ke kantongnya sedangkan nyawa satu lagi berada dalam genggaman. Pejudi-pejudi kacang semakin terngaga. Diaraklah pejudi itu ke halaman lapau. Diambilnya golok orang lapau, diacungkannya ke langit. Orang-orang berusaha melerai, namun tangan Gaek tak bermata bila telah membara. Dibiarkan saja ia seperti orang kerasukan dan haus menerima kemenangan. “Judi adalah dunia berbahaya, Anak Muda. Jangan asal melompatkan taruhan ke meja!” Gaek mengayunkan golok, orang-orang serentak berteriak ‘jangan’. “Darah di tanah akan jadi saksi atas kesejatian lelaki ini.” Ia lirik Pulun dengan tatapan tajam. “Kau benar-benar ingin membayarnya?” “Gaek kira taruhan itu main-main. Silahkan!” Jawabnya tegas. “Belum pernah ada lawan yang benar-benar laki. Aku akan mengenangmu dan menuliskannya di meja tempat kita bermain.” Disuruhnya salah seorang mengambil meja. “Berbaringlah!” Pulun menekurkan kepalanya. “Aku ingatkan kepada kalian yang mendengar dan menyaksikan, jangan hapus darah yang tercucur di meja ini!” Di tengah-tengah suara Gaek terdengar tangis yang lebih tajam dari golok yang digenggamnya. Tidak jauh dari lapau tempat ia mengeksekusi lawan mainnya. Tangis bayi, cucu yang paling ia sayangi. Ditinggalkannya kerumunan. Semua orang tercengang, apalagi si Pulun yang telah ditasbiskannya sebagai lelaki sejati. Ia panggil Gaek berulang-ulang. Namun Gaek tak menghiraukan, ia tetap berjalan menuju arah tangis. Orang-orang bisa bernafas lega setelah Gaek menghilang dalam kelam malam itu. *** Lapau lengang, subuh menjelang. Suara adzan berirama datar dan tak jelas panjang pendeknya, berkumandang. Orang-orang yang terbangun, kaget. Tak biasanya mereka mendengar adzan semacam itu. Sebagian jamaah berdatangan, sebagian lagi mengulang tidur. Adzan subuh itu jadi hidangan hangat di lapau-lapau. Kami mendapat kabar dari makmum yang ikut sembahyang bahwa muadzim subuh itu adalah Gaek. Bermacam-macam tanggapan datang. Ada yang bersyukur dan ada yang mencemooh, ada yang percaya dan ada yang tidak. Orang-orang tak sabar menunggu adzan subuh berikutnya. Dzuhur datang berbarengan dengan suara datar dan tak jelas panjang pendeknya. Semua orang penasaran, maka ramailah jamaah di dzuhur itu. Ternyata memang Gaek yang adzan. Kenyataan yang tak dapat diterima oleh masyarakat. Tapi itu benar-benar nyata dan tak dapat dipungkiri. Adzan berikutnya masih suara datar dan tak jelas panjang pendek itu. Hampir seminggu suara Gaek memenuhi rongga-rongga telinga kami. Seminggu itu pula masjid ramai. Tua-muda tak ingin meningalkan sholat berjamaah, sedapatnya mereka hadir. Lama-kelamaan orang jenuh mendengar adzan Gaek. Perlahan-lahan masjid lengang terkadang Gaek sendiri yang sembahyang. Kembali Gaek dihidangkan di lapau-lapau jadi santapan paling hangat. Berbeda dengan tetua kampung kami, ia lebih suka menyantap kami ketimbang Gaek. Ia mendengar aspirasi kami dan disampaikan langsung pada Gaek. Penyampaian itu tidak hanya sekali namun Gaek tetap bersikeras. “Kalau masih Gaek yang adzan biarlah kami sholat di rumah saja atau dirikan masjid baru.” Kata salah seorang dari kami kepada tetua kampung. Tidak lama keresahan tersebut, kurang lebih dua bulan. Pulanglah salah seoarang pemuda bernama Ambo dari pesantren. Ia telah menyelesaikan pendidikannya. Ambo berkerabat dekat dengan saya, ia adalah anak uni ibu saya. Ia disekolahkan dipesantren oleh datuak suku saya, dari dulu ia sering memenagkan lomba Tilawatil Qur’an. Kemampuan mengajinya tidak usah ditanya. Gaek sendiri tahu siapa Ambo, bahkan beliau adalah laki eteknya. Sesuai tujuan datuak suku saya bahwa setamat pesantren Ambo dimintak untuk mengajar ngaji. Gaek selaku urang sumando, mamak rumah meminta keponakannya untuk adzan dan mengaji terpaksa diturutinya. Maka adzanlah Ambo di hari itu. Suara merdunya membangkitkan gairah orang-orang untuk berjamaah. Pulangnya Ambo bak hujan sehari di kemarau panjang. Selama ia mengajar mengaji dan menjadi muadzim, masjid ramai. Tua-muda dan anak-anak telah menjadikan masjid sebagai tempat berkumpul paling damai. Apalagi mudi-mudi, mereka ingin belajar mengaji irama namun telah lama belajar dengan Ambo, irama kaji mereka tetap begitu-begitu juga, menang sedikitlah daripada Gaek. Pada suatu malam setelah sholat magrib, Ambo memberi pengajian, Gaek juga berada di masjid. “Dingin telinga mendengar Ambo mengaji, hati jadi sejuk pula.” Kata jamaah yang berada di samping Gaek. Ia seperti melihat tamparan besar melayang-layang dihadapannya. Tidak lama Gaek dalam masjid, ia keluar. Gaek berjalan di depan lapau tempat ia dulu sering bermain. Pemuda di lapau menyapanya, “Cepat pulang, Gaek?” Ia tersenyum, satu tamparan besar melekat di pipinya. “Ramai masjid, Gaek?” Dua tamparan lagi. Ia tetap berlalu menuju rumahnya yang tak jauh dari lapau itu. Gaek duduk bermenung di teras rumahnya sambil memikirkan perkataan jamaah tadi. Belum lama ia bermenung, datanglah Pulun. “Sudah lama Gaek saya cari. Orang bilang Gaek sudah berubah.” “Iya… Duduklah! “Perihal taruhan kita tempo lalu. Saya ingin membayarnya.” “Lupakan saja.” “Tidak bisa. Hutang tetaplah hutang.” “Benar-benar ingin mati kau di meja judi. Lupakan saja!” “Iya. Dari kecil saya hidup di meja judi, maka matipun haruslah di meja judi.” “Membunuh adalah dosa besar. Lupakan saja taruhan itu!” “Tidak.” “Kalau kau memaksa, bertangganglah tujuh hari tujuh malam di meja judi. Jangan tutup mata sepicingpun!” “Itu namanya saya tetap berhutang. Saya ingin mencoba dinginnya tangan Gaek.” “Kau keras kepala. Bagaimana kalau kita bermain lagi tapi dengan taruhan yang lain.” “Saya senang mendengarnya.” Berjalanlah mereka ke lapau. “Gaek kembali.” Sorak pemuda di lapau itu. “Tidak sembahyang isya dulu, Gaek?” Sambung pemuda lain. “Jangan bercanda. Tidak tahu kalian siapa yang saya bawa?” Mereka berpikir. “Pasang berapa, Gaek?” Kata lawan mainnya. “Nyawa.” Barulah mereka sadar bahwa lawan Gaek ialah orang yang hampir mati di meja judi. “Pemanasan dulu!” “Tidak perlu. Kocoklah!” Mainlah mereka. Gaek mengambil kartunya. Tidak angka besar yang didapat, balak satu dan kosong tiga. “Pasang tangan, Gaek.” “Ikut.” Dua pasang tangan di meja. Satu kartu lagi dibagikan. Mereka sama-sama membidik kartu. Pulun terlihat mendecas. Decas itu dimanfaatkan Gaek dengan semaksimal mungkin. Kartu yang datang ke tangan Gaek, kosong satu. “Sepasang mata.” Pulun ikut. “Saya akan menang. Sia-sia kau korbankan tangan dan mata. Lebih baik akhiri saja permainan ini, kita anggap podo.” “Gaek takut?! Sudah berubah prinsip Gaek rupanya. Saya bukan anak-anak. Sudah bertahun-tahun saya hidup di meja judi. Tak mungkinlah gertak sampah itu membuat saya takut. Di balik tangan, ghaib. Masih ada satu kartu lagi, siapa tahu rezeki ada di sana.” “Hahahaha… Kau benar-benar. Cabutlah rezekimu itu duluan!” Pulun mengambil kartu. Ia tertawa dan meminta sebatang rokok ke orang lapau. Gaek mengambil kartunya pula. Satu empat yang datang. Ia tertawa terpingkal-pingkal. Dipesannya segelas kopi dan sebatang rokok. “Kita habiskan dulu sebatang rokok ini. Meninggalkan risalah lah kita sebelum mati.” “Yuang, ke sini kalian!” Merapatlah mereka yang menonton pertarungan kematian itu. “Kalian dengarlah risalah kami. Jangan pernah duduk di lapau kalau orang sedang pengajian di masjid, mati akibatnya. Hahahaha… Tapi kalau mau berjudi sampai mati tidak apa-apa.” “Dengarkan kata Gaek kalian. jangan duduk di lapau kalau orang sedang pengajian. Paham?! Rajin-rajinlah sembahyang, jangan menekur-nekur di meja judi terus!” “Kalau tangan kau jadi milik saya, akan saya tampar anak-anak ini. Sekali tampar kena empat. Kalau mata saya empat, satu saya pasang di kamar si Ambo dan satu lagi saya pasang di tempat cucu saya tidur. Kalau dia menangis, saya bisa pulang. Tapi tak usahlah bicara cucu, jadi enggan saya berjudi.” “Saya pasang di kartu-kartu lawan sajalah. Tangan yang dua lagi saya letakkan di bawah meja. Kenapa dengan cucu Gaek?” “Tidak usahlah itu dibahas, jadi lemah tangan saya untuk membuka kartu terakhir ini. Lun, kalau saya kalah. Saya ingin mati di tusuk dari belakang ketika sembahyang.” “Belum tentu Gaek kalah.” Badan Gaek terasa dingin. Pengajian telah usai. “Bukalah!” Kartu-kartu mereka terlentang di meja. Balak satu, kosong tiga, kosong satu, balak dua. Balak kosong, lima empat, balak empat, kosong dua. “Saya menang, Gaek.” “Seperti pintaku tadi. Aku ingin mati ditusuk dari belakang ketika sembahyang.” “Aku turuti. Sembahyanglah!” “Mari kita ke masjid!” “Dululah! Tidak mencido namanya kalau tahu.” “Oh iya…” Berangkatlah Gaek ke masjid sendirian. Lima menit setelah Gaek berjalan disusullah oleh Pulun sambil membawa belati. Dilihatnya di masjid, tak nampak Gaek. Menyerapahlah ia di halaman masjid ketika orang sembahyang.
Cerpen Oleh : HALVIKA PADMA |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar