Gempa bumi 8,5 SR terjadi sekitar pukul 15.38 WIB yang berpusat di perairan Pesisir Barat Aceh (Rabu, 14/4) terasa kuat di Sumatera Barat, disusul dengan gempa susulan 6,1 SR. Masyarakat panik tak karuan yang berhamburan keluar rumah dan mencari lokasi pengungsian ke tempat yang lebih tinggi. Di dalam informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang menyebutkan potensi tsunami juga terjadi di Padang atau pesisir pantai Sumatera dengan adanya bunyi sirene tsunami untuk evakuasi dini bagi masyarakat yang berada di bibir pantai. Namun, atas izin Allah tidak menimbulkan tsunami yang besar sebagaimana terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Aceh pada delapan tahun yang lalu.
Kita sebagai hamba Allah SWT tentu sadar bahwasanya musibah gempa bumi di Sumatra sangat rentan terjadi sebab kita berada di lempengan patahan gempa. Namun, musibah yang terjadi suatu peringatan Allah SWT kepada hambanya untuk selalu sadar akan apa yang diperbuatnya selama ini. Sejauhmana kita harus melakanakan amal ma’ruf nahi mungkar dan berlomba-lomba kepada kebaikan.
Di dalam surat az-Zalzalah: 1-5, Allah SWT berfirman: “Apabila bumi digoncangkan dengan goncangan yang dahsyat. Dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya. Dan manusia bertanya, “Apa yang terjadi pada bumi ini? Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya, karena sesungguhnya tuhan-mu telah memerintahkan ( yang demikian itu) padanya.”
Bumi, sebagai tempat kehidupan bagi makhluk hidup termasuk manusia untuk perlu kita pahami akan makna kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan untuk membawa manusia untuk selau berada di dalam kebenaran dan selalu dijalankan dengan penuh tawadlu’. Manusia, sebagai hamba Allah selalu berupaya untuk berjalan di jalan yang benar. Suatu hal yang sangat riskan bagi manusia yang ingkar kepada tuhannya, ketika bencana datang mereka kebingungan dan ketakutan yang sangat luar biasa entah apa yang dilakukannya. Mereka mengalami ketakutan bahkan sampai jatuh mendadak mati disebabkan jantungan akan berita yang sangat menakutkan dengan adanya tsunami.
Padahal, apabila kita telaah dengan baik justru kita sudah mulai jauh kepada Allah SWT bahkan ingkar terhadap Allah SWT disebabkan kita sudah mengingkari akan nikmat-nikmat Allah SWT. Negeri yang subur dan makmur yang merupakan kekayaan alam yang sangat berlimpah ruah untuk dipergunakan sebesar-besarnya kepada kemakmuran rakyat. Justru yang diperoleh hanya segelincir orang yang dekat dengan kekuasaan.
Anak bangsa yang mulai keropas akan akhlak dan prilakunya yang saling ado jotos diantara mereka lebih mementingkan kepentingan pribadinya dari pada kepentingan umum rela berupaya menjadi orang yang selalu menganggap dirinya yang paling benar sehingga membawa dampak yang tidak baik diantara mereka sendiri.
Perbuatan yang dilakukan bukannya untuk memberikan ketentraman justru menimbulkan berbagai masalah yang saling membenarkan antara yang satu dengan yang lainnya. Mereka, pada lupa akan nikmat yang diberikan Allah SWT sehingga tuhan memberikan azab kepada negeri yang selalu ditimpa bencana beruntun. Belum selesai masalah yang satu timbul pula masalah yang baru, terus berurutan kapan mau selesainya.
Padahal, Allah SWT telah mengingatkan kepada manusia apabila mereka sudah kufur nikmat maka bencana akan menghampirinya. Sebagaimana dalam firmannya yang berbunyi: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempa, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah melimpahkan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang mereka perbuat (Q.s an-Nahl (16): 112)
Suatu kaum atau bangsa/ daerah yang sudah mulai melupakan akan nikmat Allah yang diberikan kepadanya, sehingga semakin jauh akan tuhannya secara langsung mengundang bencana. Kita, apabila sudah tidak lagi mensyukuri akan nikmatnya maka memberikan harapan hidup selalu mengalami kesusahan dan selalu merasa tidak akan puasnya. Sebab, kepuasan yang hakiki menjadikan diri kita mendapatkan ketenangan lahir dan bathin.
Dalam hal ini mengabdi kepada Allah dalam mahabbah yang bertingkat-tingkat, Asy-syarraj sebagimana yang dikutip oleh Harun Nasution dengan mengatakan tiga tingkatan. Pertama, mahabbah orang biasa, yang mengambil bentuk selalu mengingat Allah dengan zikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan tuhan dan senantiasa memuji Tuhan.
Kedua, mahabbah orang shiddiq, yaitu cinta orang yang kenal pada tuhan, pada kebesarannya, kekuasaannya, ilmunya, dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seorang dari tuhan sehingga dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada tuhan.
Ia mengadakan dialog dengan tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifat sendiri, sedangkan hatinya penuh dengan perasaan cinta pada tuhan dan selalu rindu padaNya.
Ketiga, cinta yang arif, yaitu cinta orang yang benar-benar mengetahui tuhan. Cinta ini timbul karena benar-benar mengetahui tuhan, yang dilihat dan dirasakan bukan lagi cinta, melainkan diri yang dicintai dan akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang dicintai (Bachrun Rifa’I, dkk, 2010: 91)
Cinta yang abadi memberikan andil kepada manusia untuk selalu dekat kepada Allah SWT dalam keadaan dan kondisi apapun sehingga mereka sadar apapun yang terjadi karena iradat tuhannya. Terjadinya fenomena alam dimuka bumi ini menjadi perenungan bagi manusia agar mau berpikir dan mau memberikan andil yang baik dalam memahami akan alam semesta ini.
Manusia di muka bumi ini harus berupaya untuk selalu memikirkan akan kehidupan dengan selalu mematuhi akan perintah tuhannya dan menjauhi segala apa yang dilarangnya. Banyaknya terjadi berbagai kemungkaran dan kerusakan dimana-mana, tidak hanya lingkungan yang rusak juga pribadi yang rusak menandakan suatu zaman yang akan berakhir dengan azab tuhan yang sangat pedih pada nantinya. Apabila keadaan yang sudah jauh dari harapan yang ada maka menimbulkan berbagai kesengsaraan tidak hanya di dunia juga di akhirat kelak.
Sebagai renungan bagi kita firman Allah SWT dalam surat Ibrahim (14): 44 yang berbunyi: “Dan berikanlah peringatan (Muhammad) kepada manusia pada hari (ketika) azab datang kepada mereka, maka orang zalim berkata: “ Yaa, tuhan kami, berilah kami kesempatan (kembali ke dunia) walaupun sebentar, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti Rasul- Rasul (kepada mereka dikatakan). “Bukanlah dahulu (di dunia) kamu telah bersumpah bahwa sekali- kali kamu tidak akan binasa?”
Ketika bumi sudah hancur total maka tidak ada lagi ampunan dari tuhannya, manusia justru akan menerima balasan amal ibadahnya di dunia. Apabila disaat di dunia banyak melakukan kebaikan maka sorga yang diterima pada nantinya, tetapi sebaliknya banyak melakukan kejahatan akibat dari perbuatannya neraka yang dijanjikan pada nantinya.
Dengan demikian sebelum ajal dijemput oleh Allah SWT maka kita selayatnya bertaubat dengan taubatan nasuha dengan tidak akan melakukan kesalahan di muka bumi. Namun, alangkah baiknya kita sebagai hamba Allah yang nantinya akan dikembalikan padanya mempersiapkan diri untuk bekal hidup di akhirat kelak sebagai masa yang abadi pada nantinya. Sehingga jangan menjadikan diri tercebur ke dalam penyiksaan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Wallahu a’lam bisshowwab.
TASRIF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar