ShutterstockIlustrasi
Oleh L Sastra Wijaya
Bulu tangkis Indonesia tidak akan bangkit lagi. Ini pernyataan berani.
Setelah mengikuti dari dekat dan jauh perkembangan bulu tangkis Indonesia dalam 20 tahun terakhir, inilah beberapa alasan mengapa setelah kita terpuruk dari segi prestasi, bukan hal yang gampang untuk bisa bangkit kembali. Membenahi diri sendiri bukan yang mudah dilakukan, sedangkan dalam waktu bersamaan lawan-lawan juga tidak tinggal diam.
Kekalahan dari Jepang di perempat final Piala Thomas di Wuhan 2012 mengagetkan banyak orang karena Indonesia sebelumnya hanya kalah dari tim seperti China, Denmark, atau Malaysia.
Sebenarnya, Jepang dan juga Amerika Serikat di tahun 1950-an adalah kekuatan bulu tangkis utama dunia, di saat Korea Selatan dan China belum memiliki prestasi apa pun.
Di tahun 1960-an dan 1970-an, Malaysia, Denmark, dan Indonesia mulai unjuk gigi, disusul China dan Korea Selatan di tahun 1970-an dan 1980-an.
Di Eropa, Swedia pernah menjadi pemasok pemain tingkat dunia, sekarang sudah tidak terdengar lagi namanya. Apakah ini siklus 40-tahunan sehingga sekarang Indonesia menurun karena siklus alamiah tersebut?
Indonesia juga tidak memiliki pelatih kepala seperti mantan pemain China, Li Yongbo, dan dalam sistem yang ada sekarang PBSI tidak akan bisa memiliki karakter seperti Li Yongbo.
Sebagai pemain ganda putra bersama Tian Bingyi, Li Yongbo banyak merebut gelar internasional dan bersaing ketat dengan pasangan Korea Selatan, Park Joo-bong/Kim Moon-soo. Setelah berhenti bermain, dia menjadi kepala pelatih dalam sistem pelatnas China.
Li Yongbo menjalankan pelatnas dengan "tangan besi", memiliki kuasa besar untuk memutuskan hal-hal yang penting. Ditambah dengan sistem perekrutan pemain yang jelas dan ekonomi China yang terus membaik dalam 20 tahun terakhir, China terus menelurkan pemain-pemain hebat.
Pengurus PBSI tidak dari kalangan profesional, sementara China menganut sistem satu tangan dengan komando yang jelas. Indonesia memang tidak bisa mengikuti sistem tersebut, tetapi PBSI belum beranjak dari sistem pemilihan pengurus yang dilakukan secara "amatir" dalam arti pengurus dipilih oleh pengda yang semuanya dilandaskan pada sistem amatir, yang sudah banyak ditinggalkan oleh negara-negara yang maju olahraganya.
Sebagai sebuah organisasi dengan omzet miliaran rupiah yang dikelola setiap tahun, PBSI harus ditangani oleh manajer profesional, yang diangkat, dengan gaji teratur, dan sistem manajemen yang jelas.
Dengan sistem seperti ini, di mana pengurusnya mencurahkan seluruh waktu untuk mengelola, jaminan berprestasi belum tentu ada. Apalagi dengan sistem sekarang, dengan sistem ketua umum, yang belum tentu cukup mencurahkan waktu untuk memikirkan bulu tangkis.
Bulu tangkis selalu disebut sebagai olahraga utama di Indonesia, tetapi perhatian media masih sangat kurang, seperti tecermin dalam pemberitaan media.
Di Malaysia, liputan bulu tangkis selalu gencar. Di Australia, di mana sepak bola Australia (Aussie rules football) adalah olahraga utama, media bisa menurunkan tulisan berhalaman-halaman soal ini.
Berapa banyak media yang mengirimkan reporter meliput langsung Piala Thomas di Wuhan dan berapa banyak halaman yang dihabiskan untuk meliput cabang lain, seperti misalnya Euro2012, bisa menjadi pertanyaan kritis apakah media massa di Indonesia menjalankan tanggung jawab sosial mereka untuk memperhatikan hal-hal yang menjadi kepentingan bersama seperti menjayakan kembali bulu tangkis Indonesia ke panggung dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar